Dimas Indianto S.
(Ketua Instruktur Literasi Jawa Tengah)
Keberangsungan sebuah komunitas bergantung pada pola manajemen yang diterapkan di dalamnya. Jika manajemennya opend mind terhadap perubahan dan dinamika yang terjadi di luar tubuh komunitas, maka akan terjadi perkembangan yang signifikan. Begitu pula yang terjadi di dalam sebuah komunitas literasi. Napas panjang komunitas literasi ada di dalam kreativitas pengelolaan yang dijalankan.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan fundraising, atau kita mengenalnya dengan penggalangan dana. Langkah ini merupakan upaya dalam rangka menambah dukungan sumber daya bagi keberlangsungan sebuah komunitas. Dalam istilah jawa ada yang dikenal dengan jer basuki mawa bea, yang berarti segala sesuatu membutuhkan biaya, membutuhkan dana. Untuk itulah faundraising menjadi salah satu senjata paling ampuh yang kerap dilakukan oleh komunitas.
Bentuk fundraising pun macam-macam, ada yang secara konvensional dengan meminta langsung melalui proposal pengajuan bantuan, atau juga bisa menggunakan konsep ekonomi kratif. Misalnya dengan membuat sebuah produk yang kemudian dipasarkan kepada khalayak. Keuntungan dari penjualan itu kemudian untuk menjalankan roda komunitas. Pemandangan ini sudah sangat sering kita saksikan di banyak komunitas.
Namun, sebenarnya, sejauh ini, fundraising masih disempitkan maknanya hanya sekadar mencari bantuan dana. Padahal, jika diresapi, fundraising tidak terbatas pada persoalan uang atau dana, melainkan juga suber daya lain, atau hal-hal yang bisa mendukung jalannya kegiatan komunitas. Seperti dukungan publikasi, bantuan sarana prasarana, dan juga hal-hal teknis lainnya.
Ruang ini yang masih belum banyak disentuh oleh komunitas, khususnya komunitas literasi. Maka perlu ada pemaknaan ulang mengenai konsep fundraising ini, agar nantinya tidak sekadar berkutat pada penggalian dana semata, tetapi juga sumber daya yang lain.
Literasi Kafe
Salah satu bentuk fundraising yang dilakukan oleh Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF (Bumiayu Creative City Forum) adalah dengan mengajak kerjasama dengan beberapa kafe di Bumiayu. Kerjasama itu dengan pengadaan bahan bacaan untuk pengunjung kafe, yang kemudian dinamakan literasi kafe. Melalui kegiatan ini, kafe hanya menyediakan rak buku, lalu Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF menyediakan bahan bacaan.
Buku-buku bacaan ini pun bervariasi, dari novel ringan, buku-buku how to hingga buku-buku pemikiran. Semua disajikan secara gratis kepada pengunjung, sehingga mereka bisa membaca buku sembari menunggu pesanan datang atau juga sembari menghabiskan makanan.
Selain sekadar menyediakan buku, literasi kafe juga menjadi ruang bagi kegiatan literasi di kafe yang meliputi pembacaan dan atau pementasan karya, bedah buku, workshop pengkaryaan. Hal menjadikan kafe lebih berwarna dan progresif. Sebab tidak sekadar menyajikan makanan dan minuman, tetapi juga wacana sekaligus wawasan literasi.
Melalui literasi kafe ini, Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF secara tidak langsung menjalin simbiosis mutualisme dengan kafe-kafe. Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF bisa menyelenggarakan acara secara gratis di kafe, sementara kafe akan mendapatkan kebaruan konsep yang lebih literat yang dapat mengundang pengunjung untuk datang.
Literasi kafe ini pada akhirnya menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara generasi milenial dengan literasi. Sebab jika menunggu mereka untuk datang ke perpustakaan sekadar membaca buku, membutuhkan waktu yang lama karena kesadaran literat yang cenderung rendah. Pola-pola kreatif seperti ini yang semestinya diterapkan komunitas literasi di manapun. Yakni meredefinisi makna fundraising, sehingga tidak semata orientasi finansial melainkan juga dukungan lainnya.
Halaman Indonesia, 2020
Kenapa keren sekali….
thanks