Gondo berada di lorong hening. Ia tak melihat ujung, tak juga melihat kebuntuan.
Yang ia lihat hanyalah dinding yang menghimpit. Mengepungnya dan memberi pesan
yang sangat jelas: geraknya terbatas. Ia memang masih bisa berjalan. Menapaki
harapan. Melangkah lurus menyusuri lorong yang tak pernah ia tahu ujungnya. Akan
tetapi ia tak bisa mengambil arah yang berbeda. Tak bisa berkelit. Tak bisa
memutar. Berjalan saja ke depan, bersekutu dengan harapan. Satu-satunya yang ia
yakini masih ada, kepercayaan bahwa Tuhan sedang mendengarnya.
Itu yang ia rasakan ketika menatap perempuan yang paling dicintainya, Lili.
Istrinya bukan lagi berupa perempuan dengan senyum penuh dan mata yang berkerjab
indah. Lili tertidur. Atau lebih tepatnya tak sadarkan diri. Selang-selang medis
menancap di tubuhnya. Peralatan kedokteran menghasilkan satu-satunya bunyi di
ruang ICU. Selebihnya hanya bunyi napas perempuan itu. Amoniak telah meracuni
tubuhnya dan mencabiknya dengan kekuatan yang tak terlihat. Seluruh organ tubuh
dibuat tak berdaya. Kekuatan otak dilumat. Begitu dahsyatnya siksaan itu hingga
perempuan indah yang begitu hidup itu kemudian lunglai. Tak menyentuh lagi
dunia. Tidak tatapannya. Tidak kesadarannya. Ia telah sangat berjarak dengan
dunia. Dokter mengatakan, istrinya koma.
Gondo kini mematung. Ia dihadapkan pada kenyataan, waktunya bukan lagi sesuatu
yang powerful. Waktu yang ia miliki untuk merentangkan harapan begitu lemah.
Bahkan ia tak bisa banyak berbuat di tengah waktu yang sempit itu. Ia hanya bisa
berharap. Dokter mengatakan sesuatu yang sangat pahit. Kemungkinan hidup
istrinya tinggal beberapa persen saja. Amoniak dengan keji terus
meluluhlantakkan semua oragn karena fungsi hati yang telah lumpuh. Di dalam
waktu yang sempit itu satu-satunya senjata yang bisa ia kerahkan
hanyalahharapan.
Ulasan
Belum ada ulasan.