Pejuang Literasi

Fajar yang Tak Kunjung Temukan Pagi

Pra Mula

Ilmu pengetahuan layaknya berkas sinar matahari yang selalu ditunggu kedatangannya setiap pagi. Berkas cahaya akan menuntun kaki para petani menemukan jalan di sela-sela rerumputan pematang sawah di setiap pelosok negeri. Dengan pengetahuan pula para petani mampu teredukasi tentang cara menanam padi agar lumbungnya tetap terisi.

Pada langkah berikutnya, ilmu pengetahuan juga tidak hanya sebagai penuntun kaki menemukan dan melewati jalan menuju kemudahan dalam menjalani kehidupan, tetapi juga sebagai energi yang luar biasa kuat untuk mendorong semangat memperbaiki kualitas hidup serta kemajuan untuk meningkatkan pola berpikir yang lebih kreatif dan mengerti cara berinovasi sehingga terentas dari pola ‘kejadulan’ yang mengakibatkan kelompok masyarakat di wilayah tertentu akan tertinggal dari kelompok yang lain.

Tentunya sudah kita sepakati bersama bahwa pintu ilmu pengetahuan yang paling utama adalah bangku sekolah. Dari bangku sekolah inilah para petani yang membajak dengan sapi berpikir untuk lebih menghemat waktu dan energi sehingga mereka mulai beralih pada mesin agar lebih cepat dalam menuai padi. Namun, kita juga pasti sependapat bahwa sumber utama dari ilmu pengetahuan yang didapatkan di bangku sekolah adalah buku.

Di sinilah pra mula dari semuanya. Kesadaran serta kebiasaan akan pentingnya membaca menjadi masalah tersendiri di negeri ini. Permasalahan yang sudah mengakar pada setiap generasi tak kunjung menemukan solusi. Ibarat sinar matahari yang ditunggu selalu tertutup mendung sehingga tak mampu untuk memberikan nutrisi batang padi.

Pada keadaan seperti inilah para pejuang literasi sangat dibutuhkan untuk beraksi di setiap lini dan sudut-sudut negeri ini. Upaya keras mereka adalah salah satu cahaya harapan yang sangat dinanti untuk menghangatkan semangat para ‘kaum petani’ untuk belajar mencintai dunia literasi.

Dua ‘Kumala’ di Dusun Kumalabaru

Kumalabaru adalah sebuah dusun kecil yang terdapat di Pulau Bawean. Sebuah pulau kecil yang hanya memiliki dua kecamatan dan letaknya jauh terdampar di tengah lautan sebelah utara Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Sebagai sebuah dusun kecil di kepulauan yang jauh dari hingar bingar perindustrian tentunya kita sudah bisa menebak bagaimana pola kehidupan masyarakat di sana.

Masyarakat Kumalabaru mayoritas bekerja sebagai petani yang hasil sawahnya bukan dijual dalam kuantitas besar pada cukong-cukong atau pengepul yang punya gudang-gudang raksasa, para petani di sana hanya menjual hasil panennya sesuai kebutuhan harian untuk keluarga sendiri. Namun demikian, jangan dibayangkan bahwa kehidupan masyarakat di dusun ini dan seluruh kehidupan di Pulau Bawean pada umumnya adalah kehidupan yang primitif. Masyarakat di sana sangat dekat dengan kemajuan teknologi yang berkembang. Sepeda motor, mobil, televisi, komputer, laptop, gadget dan simbol-simbol alat-alat modern lainnya merupakan hal yang biasa di Pulau Bawean dan tentunya begitu pula untuk masyarakat Kumalabaru.

Satu hal yang spesial dari dusun Kumalabaru yaitu banyaknya sarjana dari berbagai perguruan tinggi di daratan Jawa. Banyak pemuda dan pemudi lulusan SMA atau Madrasah Aliyah yang kemudian melanjutkan pendidikan tinggi ke Pulau Jawa. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya banyak cendekiawan yang lahir dari Dusun Kumalabaru. Tapi pertanyaannya, apakah mereka mampu membangun dusun mereka? Pada umumnya, orang-orang terpelajar itu enggan untuk kembali dan membangun tanah kelahiran mereka.

Dari kenyataan itulah muncul dua “Kumala” (permata) yang berusaha memperbaikinya. Fatimah (43 tahun) adalah seorang guru honorer salah satu Madrasah Tsanawiyah Swasta milik sebuah yayasan pondok pesantren desa sebelah yang cukup ternama di Pulau Bawean. Sebagai guru honorer di Madrasah Tsanawiyah Swasta dan letaknya di kepulauan tentunya tidak ada yang tampak istimewa darinya khususnya dari segi finansial. Suami Bu Guru Fatimah juga hanya seorang petani biasa. Hidup mereka sederhana tampak dari model rumah yang tak terkesan mewah. Meski demikian Bu Guru alumni pesantren tempat mengajarnya saat ini adalah lulusan Sekolah Tinggi ternama di Kota Malang Jawa Timur yaitu STAIN Malang (kini telah berubah menjadi UIN Malang). Beliau lulus dari kampus tersebut pada tahun 1999 bergelar Sarjana Agama.

Tak ubahnya Bu Guru Fatimah, sosok “Kumala” yang kedua juga seorang guru. Beliau adalah Bu Guru Ainun Jariyah (34 tahun, selanjutnya kita sebut Bu Anjar). Beliau mengajar di madrasah yang sama dengan Bu Guru Fatimah, seniornya. Beliau juga lulus di universitas yang sama yakni UIN Malang pada tahun 2007 dengan gelar Sarjana Sains. Sosok “Kumala” yang kedua ini juga tak tampak terlalu istimewa tentunya jika dilihat dari sudut pandang ekonomi keluarga. Suaminya hanya seorang ustad dan guru honorer di madrasah swasta yang sama.

Layaknya sebuah permata, hal yang membuat keduanya bersinar indah adalah buah pikiran mereka yang ingin memajukan generasi muda di dusun tempat mereka tinggal. Mereka berdua berinisiatif untuk melakukan sesuatu untuk kemajuan generasi muda dusunnya.

Terbitnya Fajar di Dusun Kumalabaru

Berasal dari sebuah dusun yang sama serta mengajar di madrasah yang juga sama membuat intensitas pertemuan Bu Guru Fatimah dan Bu Guru Anjar sangat rapat. Intensitas pertemuan ini sering menghasilkan dialog-dialog serius yang tidak hanya bertemakan kegiatan mengajar mereka di Madrasah Tsanawiyah tempat mereka bekerja tetapi juga hal-hal yang berada di lingkungan tempat mereka tinggal.

Pada suatu ketika, tepatnya pada tahun 2012 lalu terjadi dialog penting antara keduanya. Dialog itu tentang keresahan mereka pada keadaan Madrasah Ibtidaiyah di dusun mereka yang berjalan di tempat. Menurutnya tidak ada hal yang istimewa dari madrasah itu, terutama cara pengajar di sana untuk mencetak siswa-siswa yang lebih berkualitas. Metode belajar yang belum inovatif, manajemen yang tidak rapi serta hal-hal lain yang seharusnya bisa dilakukan tak pernah diterapkan.

Situasi semacam itu sangat mengusik pandangan dan pikiran mereka berdua sebagai seorang akademisi. Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk merespon hal tersebut, mulai dari memberikan masukan personal pada para pengajar hingga duduk melingkar untuk diskusi dengan pengurus yayasan pengelola Madrasah Ibtidaiyah tersebut, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil.

Setelah mencoba berbagai upaya yang tidak membuahkan hasil tersebut akhirnya mengerucut pada sebuah kesimpulan bahwa mereka harus terjun sendiri dengan segala sumber daya terbatas yang mereka miliki. Diskusi panjang pun dilakukan dan pada akhirnya mereka menetapkan untuk membuat sebuah taman baca yang mereka kelola sendiri. Lalu, apa nama taman baca itu?.

Meski hanya memberikan sebuah nama untuk bakal taman baca tidaklah mudah bagi mereka berdua, mereka harus berpikir keras agar nama itu dapat menginterpretasikan tujuan mereka sekaligus dapat memacu semangat para penduduk untuk mengunjunginya. Setelah berpikir berhari-hari, tersiratlah dalam benak Bu Guru Fatimah kata “Fajar”. Selain menyiratkan sebuah semangat, kata tersebut juga merupakan akronim dari kedua nama Bu Guru sederhana itu; Fatimah-Anjar. Nama Fajar kemudian diusulkan pada Bu Guru Anjar hingga kemudian mereka berdua sepakat untuk memberi nama bakal taman baca milik mereka ‘Taman Baca Fajar’.

Dari Koleksi Pribadi Hingga Galang Donasi Buku

Bergerak dalam bidang literasi bukan hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Hal yang paling utama dan harus didahulukan tentunya tersedianya buku. Sebagai langkah awal, Bu Guru Fatimah dan Bu Guru Anjar memeriksa kembali rak-rak buku koleksi pribadi beliau berdua. Bahkan mereka membuka kembali buku-buku yang sudah dirapikan dan disimpan dalam kardus dan tidak terpakai lagi. Mereka memilah dan memilih satu persatu buku yang layak dan menarik untuk dikonsumsi anak-anak dan remaja di dusunnya. Sambil memilih mereka juga mengukur kapasitas calon pembacanya yang merupakan anak dan remaja kampung yang sangat erat dengan lumpur sawah dan bertani.

Buku-buku seperti novel, komik, kumpulan dongeng, majalah religi, bahkan buku-buku paket pelajaran bekas mereka ketika sekolah di Madrasah Ibtidaiyah pun mereka keluarkan. Di sinilah Bu Guru Fatimah sempat mengenang masa kecilnya. Tentang bagaimana beliau sangat ingin membaca seperti teman-temannya yang lain di sebuah Perpustakaan Masjid waktu itu namun tidak bisa. Karena untuk membaca harus membayar Rp50,-(lima puluh rupiah) dan beliau tidak punya cukup uang untuk itu. Tiap hari, beliau hanya mengintip dari balik pintu atau menunggu temannya yang mau berbaik hati untuk berbagi dengannya. Perpustakaan Masjid itupun sekarang sudah mati tidak ada kelanjutannya. Mata Bu Guru Fatimah berkaca-kaca saat mengingat kenangan itu dan dirinya semakin bersemangat untuk segera membuka taman bacanya.

Di satu sisi, selain menyisihkan koleksi pribadi miliknya, Bu Guru Anjar menghubungi kenalan-kenalannya di daratan Jawa dibantu oleh suaminya Ustad Fauzi. Pengalaman Ustad Fauzi yang pernah tinggal di Jakarta sangat membantu dalam menggalang donasi buku. Selain suami Bu Guru Anjar, ada nama Ibnu Anshori salah satu pemuda asal Dusun Kumalabaru yang sedang bekerja di sebuah Travel di Surabaya waktu itu juga membantu menggalang dana untuk donasi buku. Ada nama lain yang tak kalah penting dalam upaya penggalangan buku, yaitu Farhan Qolib adik dari Bu Guru Fatimah sendiri yang sedang menempuh studinya di daratan Jawa. Dari usaha keras mereka semua, akhirnya terkumpul sejumlah buku yang dianggap sudah layak untuk sebuah taman baca sederhana.

Launching, Tantangan, dan Ikhtiar

Semua persiapan dianggap selesai, tahap selanjutnya yang dilakukan mereka berdua adalah mencari tempat yang cocok untuk taman bacanya. Tempat yang dibidik adalah sebuah TK Syamsul Qura’ yang juga berada di dusunnya. TK tersebut dipilih karena terdapat gudang kosong yang hanya berisi meja dan kursi bekas yang tak terpakai lagi.

Bu Guru Fatimah dan Bu Guru Anjar mendatangi kepala TK untuk meminta ijin menggunakan gudangnya untuk dijadikan taman baca agar lebih bermanfaat. Keduanya pun mendapatkan ijin dari kepala TK. Mereka semakin bersemangat dan langsung merapikan gudang itu. Bahkan, dengan menggendong anaknya yang masih balita Bu Guru Fatimah tetap turun tangan untuk ikut membantu bekerja.

Satu persatu meja dan bangku bekas ditata agar tampak lebih rapi dan kemudian di atasnya disusun buku-buku yang sudah dipilah terlebih dahulu sesuai genrenya. Mereka senang melihat ratusan buku tertata rapi. Mereka juga optimis usaha keras yang telah mereka lakukan akan disambut baik oleh semua warga di dusunnya. Papan nama Taman Baca Fajar pun hanya di-print pada sebuah kertas yang ditempel di tembok sebelah pintu gudang. Semua tampak sederhana tapi berasa sangat istimewa.

Tepat pada tanggal 12 Juli 2012, Taman Baca Fajar di-launching. Ramai anak-anak kecil menyerbu tempat itu untuk membaca buku yang tak mereka temui di Madrasah mereka. Bahkan pada beberapa minggu pertamanya, banyak remaja SMP/MTs dan SMA/MA bahkan ibu-ibu yang berkunjung ke taman baca itu. Sepertinya semua berjalan lancar sesuai harapan.

Seiring dengan waktu, setelah berjalan beberapa bulan pertamanya, perlahan pengunjung taman baca itu semakin sepi. Di sinilah tantangan yang sebenarnya para penggiat literasi diuji tentang kosistensi.

Melihat keadaan yang demikian, berbagai ikhtiar dilakukan oleh kedua “Kumala” ini. Mulai dari bekerjasama dengan guru Madrasah Ibtidaiyah agar memberikan tugas yang mengharuskan siswanya berkunjung ke Taman Baca Fajar, hingga gencar bersosialisasi di Forum Ibu-Ibu Yasinan di dusunnya. Cara itu cukup efektif, pengunjung kembali ramai untuk waktu yang cukup lama.

Tantangan selanjutnya kembali terjadi. Tantangan ini cukup memukul dan hampir mematahkan semangat kedua “Kumala” pejuang literasi ini. TK Syamsul Qura sedang membutuhkan tambahan ruangan. Artinya dengan sangat terpaksa Taman Baca Fajar harus dipindahkan dari sana. Dengan perasaan terpukul dan kebingungan mereka mengambil buku-buku itu dan masih belum tahu harus dipindahkan ke mana.

Kedua pejuang literasi ini pun kembali memutar otak dan berdiskusi. Sempat ingin untuk dipindah ke masjid, namun pengalaman perpustakan masjid yang tidak bertahan lama puluhan tahun yang lalu membuat mereka khawatir. Kemudian mereka memindahkan opsi ke Madrasah Ibtidaiyah sekaligus menyerahkan pengelolaanya ke Madrasah tersebut. Namun opsi ini pun tidak direalisasikan karena mengingat manajemen mereka yang belum rapi serta SDM yang dipandang belum ideal. Padahal, banyak buku yang merupakan koleksi pribadi mereka berdua di antara koleksi buku Taman Baca Fajar. Mereka khawatir nantinya justru buku-buku koleksi pribadinya itu akan hilang atau rusak jika tidak dikelola dengan baik. Opsi terakhir yang mereka ambil adalah memajang buku-buku tersebut di rumah Ibu Guru Fatimah.

Opsi memindahkan buku-buku tersebut ke rumah Ibu Guru Fatimah sangat berpengaruh pada pengunjung Taman Baca Fajar. Dengan dipindahkannya buku-buku itu ke sana, jumlah pengunjung berkurang drastis. Bahkan hanya tamu-tamu beliaulah yang membaca dan meminjam buku-buku itu.

Kejadian ini tak lantas meredupkan semangat mereka berdua. Dengan bantuan penggalangan dana Ibnu Ansori dari Surabaya, mereka mencoba untuk menambahkan buku-buku baru untuk memantik lagi semangat pengunjung. Selain itu Bu Guru Fatimah dan Bu Guru Anjar mensosialisasikan keberadaan Taman Baca Fajar pada siswa-siswa di Madrasah Tsanawiyah tempat mereka mengajar. Upaya lain yang mereka berdua lakukan adalah menyisihkan sedikit honornya yang didapat dari Madrasah Tsanawiyah tempatnya mengajar untuk membeli reward pada pengunjung yang paling sering dan paling banyak membaca buku-buku di sana setiap bulannya.

Ikhtiar ini cukup baik. Sekalipun tidak tiap hari dan tidak seramai pada awal peluncuran, Taman Baca Fajar selalu didatangi pengunjung untuk mencari referensi tambahan para pelajar sekitar dan juga siswa-siswa mereka berdua sendiri hingga saat ini.

Harapan

Setelah sekian banyak tantangan dan ikhtiar yang dilakukan, kedua “Kumala” pejuang literasi ini hanya bisa berharap agar taman baca yang digagas dan dijalankan oleh mereka akan terus berlanjut dan tak pernah mati. Mereka sadar betul bahwa tantangan saat ini justru lebih berat dengan masifnya perkembangan gadget yang mengalihkan minat para generasi penerus di dusunnya.

“Sebenarnya tantangan yang sesungguhnya bukan di kami, tapi justru pada mereka agar tidak terlena dengan asyiknya bermain gadget yang ada di tangan mereka,” ucap Bu Guru Anjar.

“Saya berupaya keras mewujudkan Taman Baca Fajar ini, dengan harapan agar anak-anak di sini (Dusun Kumalabaru) tidak bernasib sama seperti saya dulu. Ingin sekali membaca buku tapi tak punya uang untuk menyewanya. Di Taman Baca Fajar mereka tidak perlu membayar untuk membacanya,” tambah Bu Guru Fatimah dengan suara gemetar dan mata berkaca-kaca.

Semoga apa yang menjadi harapan dan perjuangan kedua “Kumala” pejuang literasi dari dusun kecil di sebuah pulau terpencil ini menjadi sebuah cahaya penerang bagi generasi saat ini, layaknya seberkas sinar mentari saat fajar yang menebar energi bagi para petani untuk menyambut pagi.

CURRICULUM VITAE PENULIS

Data Pribadi
Nama Lengkap : Muhammad Wasni
Tempat, Tangal lahir : Gresik, 15 September 1988
Alamat : RT 002 / RW 001 Desa Lebak, Kecamatan Sangkapura, Kab. Gresik
Pendidikan Terakhir : S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pasuruan
Pengalaman Organisasi :

  • Sekretaris Umum OSIM MTs Hasan Jufri (2003/2004)
  • Sekretaris Umum OSIM MA Hasan Jufri (2006/2007)
  • Sekretaris Umum IPNU Desa Lebak (2006/2007)
  • Sekretaris Umum UKM Teater Manunggal STKIP PGRI Pasuruan (2010/2011)
  • Sekretaris Umum Musholla Darus Tsawab (2018-sekarang)
  • Guru SMP YPBB Indonesia Kota Pasuruan (2012 – 2015)
  • Guru MA Hasan Jufri Bawean (2015- sekarang)

Email : [email protected]
Fb : Al Wayzny
IG : alwayzny

CURRICULUM VITAE TOKOH 1

Nama Lengkap : Fatimah
Tempat, Tangal lahir : Gresik, 11 Juni 1977
Domisili : Dsn. Kumalabaru, Desa Kumalasa, Kecamatan Sangkapura, Kab. Gresik
Pendidikan Terakhir : S-1 Kependidikan Islam STAIN Malang
Pengalaman Organisasi :

  • Pengurus Pondok Pesantren Putri Hasan Jufri (1992-1995)
  • Pengurus OSIM MA Hasan Jufri (1993-1995)
  • Pengurus Kohati Komisariat HMI 1996
  • Bendahara yayasan Syamsul Qura Kumalabaru (2008-2013)
  • Guru MTs Hasan Jufri (2000-sekarang)

E-mail : [email protected]
FB : Fatimah Sudar

CURRICULUM VITAE TOKOH 2

Nama Lengkap : Ainun Jariyah
Tempat, Tangal lahir : Gresik, 28 Maret 1986
Domisili : Dsn. Kumalabaru, Desa Kumalasa, Kecamatan Sangkapura, Kab. Gresik
Pendidikan Terakhir : S-1 Matematika UIN Malang
Pengalaman Organisasi :

  • Ketua Umum HMI Komisariat Saintek UIN Malang (2004-2005)
  • Sekretaris UMUM HMJ Matematika UIN Malang (2005- 2006)
  • LPBHNU Bawean/Bidang Perempuan dan Anak (2018-sekarang)
  • Guru MTs Hasan Jufri (2009-Sekarang)

E-mail : [email protected]
FB : Anjar-Ku Baru

 

Related Posts

2 thoughts on “Fajar yang Tak Kunjung Temukan Pagi

  1. Candra Abdulloh berkata:

    Realisasi gerakan literasi memang sulit ketika dihadapkan dengan memancing minat dalam membaca. Namun problem tersebut akan terselesaikan dengan membaca cerita pegiat literasi yang satu ini. Konon izin mengambil ilmunya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *