Bilik Pustaka

Membangun Transformasi Budaya Baca Masyarakat Pesisir Padang Padangeng melalui “Adego-Dego“

Beberapa riset dan survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki budaya membaca sangat rendah bahkan terendah di Asia. Hal ini terjadi bukan hanya pada masyarakat biasa tapi juga dari kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen serta sebagian dari para akademisi yang semestinya aktivitas mereka dekat dengan suasana membaca.

Data ini diperkuat oleh laporan Bank Dunia dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia hanya 30 % dalam menguasai bahan bacaan. Human Report oleh UNDP tahun 2000 angka melek huruf orang Indonesia ( 65,5 %) sedangkan Malaysia mencapai angka (86,4 %), hal ini pun jika dibandingkan dengan Jepang, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat telah berada pada angka (99,0 %).

Hal tersebut di atas tentu banyak dipengaruhi oleh beberapa indicator salah satunya adalah jumlah penerbitan buku di negara kita ini hanya sekitar 8000 judul setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga kita Malaysia menerbitkan 15.000 judul buku setiap tahun, Vietnam mampu menerbitkan buku 45.000 setiap tahunnya, Inggris 100.000 judul bu ku setiap tahun. Kesenjangan antara buku dan jumlah penduduk sangatlah mempengaruhi kultur budaya membaca setiap negara.

Pengalaman keseharian kita telah menjadi fakta menarik, di setiap tempat, mulai café, halte bus, stasiun kereta , bandara, taman dan area public lainnya, jarang kita melihat orang membaca, mereka lebih banyak mengobrol, memainkan HP atau hanya duduk-duduk saja. Berdasarkan informasi salah seorang teman yang pernah menjadi tenaga kerja di Jepang, mengatakan budaya baca negeri matahari tersebut sangat tinggi, begitu mudahnya kita melihat dan menemukan orang membaca di berbagai tempat termasuk halte bus, stasiun kereta api, bandara, bahkan terlihat beberpa orang tetap membaca sambil berjalan dengan Langkah-langkah cepat. Namun demikian hal-hal itu menjadi pendorong dan penyemangat bagi kita untuk memulainya karena tidak ada kata terlambat untuk kebaikan demikian ungkapan bijak. Budaya atau culutur harus diubah jika kita ingin meraih sebuah peradaban.

Karakteristik Masyarakat Pesisir

Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah pulau mencapai kurang lebih 17.500 buah. Sebagai negara kepulauan, tidaklah mengherankan jika lebih kurang dua pertiga dari teritirial negara kesatuan Indonesia merupakan perairan dengan luas kurang lebih 5,8 juta kilo meter persegi serta negara dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada mencapai 81.000 kilo meter.

Demikian luasnya wilayah laut dan garis pantai negara kita sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber dan potensi kekayaan laut sebagai bagian dari tumpuan hidup mereka, ketergantungan masyarakat terhadap sector kelautan ini memberikan corak serta identitas tersendiri dengan pola hidup dan karakteristik tersendiri sebagai masyarakat pesisir.

Penulis yang lebih dari empat tahun lamanya mengabdi sebagai tenaga kependidikan di wilayah pesisir atau lebih tepatnya di desa pesisir memberikan gambaran nyata dan jelas tentang pola kehidupang masyarakat yang sangat monoton artinya dari rumah ke tempat kerja demikian pula sebaliknya. Desa pesisir merupakan entitas social, ekonomi, ekologi dan budaya, yang menjadi batas antara daratan dan lautan, pun didalamnya terdapat sekumpulan manusia yang memiliki pola hidup dan tingkah laku serta karakteristik tertentu.

Masyarakat pesisir secara teoritis merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas social ekonomi yang terkait dengan sumber daya wilayah pesisir dab lautan. Dalam arti sempit masyarakat pesisir sangat memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan dengan potensi sumber daya pesisir dan lautan tersebut. Namun demikian dalam arti yang luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasila di wilayah pesisir tanpa adanya pertimbangan tentang kondisi social ekonomi serta potensi dan kondisi pesisir dan lautan.

Masyarakat pesisir ini menjadi tuann rumah di wilayahnya sendiri, mereka menjadi pelaku utama dalam pembangunan kelautan dan perikanan, serta pembentuk identitas budaya dalam kehidupan masyarakat pesisir. Terkadang Sebagian dari mereka menyatakan dirinya sebagai masyarakat yang terisolasi serta terbelakang, dari aspek internal kehidupan masyarakat dayanya hanya berfokus pada kulutur masaya tidak terlalu paham akan perkembangan pengetahuan dan teknologi, sehingga mereka merasa masih jauh dari kata sejahtera. Pada aspek internal, masyarakat pesisir kurang terbuka terhadap teknologi dan tidak cocoknya pengelolaan sumber daya dengan kultur masyarakat setempat.

Menurut Fahmi, masyarakat pesisir itu sendiri didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya secara langsung bergantung pada pemanfaatn sumber daya laut dan pesisir. Mereka itu terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, serta pengelolah ikan. Dalam bidang non perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa transportasi dan lainnya. Namun intinya setiap komunitas memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda-beda.

Pada dasarnya secara umum masyarakat yang hidup dalam wilayah pesisir Sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian dan atau penghasilan dalam sekor yang memanfaatkan sumber daya kelautan (marine resource based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut, di kampung pesisir Padangpadangeng, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan 65 % penduduknya merupakan nelayan, 25 % sebagai pekerja tambak, 5 % bekerja sebagai petani rumput laut serta 5 % serta ada sekitar 0,05 % berprofesi sebagai PNS selebihnya bekerja pada sector lainnya.

Dalam hal tingkat pendidikan penduduk masyarakat pesisir juga masuk dalam kategori rendah, sekitar 30 % buta huruf (tuna aksara), 45 % tamatan Sekolah Dasar (SD), 5 % tamat SMP, 2 % tamat SMA selebihnya ada yang sempat tamat di perguruan tinggi. Pada hal pada sector pendidikan inilah sebuah proses kemajuan masyarakat akan bisa tercapai, artinya kemajuan suatu masyarakat sangatlah ditentukan oleh tingkat pendidikannya.

Kemudian perlu juga kita memahami secara sosiologis bahwa masyarakat pesisir merupakan bagian masyarakat yang pluralistik namun tetap memiliki jiwa kebersamaan. Dapat di artikan bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena plurar, sehingga mampu membentuk system dan nilai budaya yang merupakan akulturasi dari masing-masing komponen yang melahirkan sebuah struktur masyarakat secara utuh.

Khususnya dalam ruang lingkup wilayah Indonesia, masyarakat pesisir memiliki serta mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik, sifat dan karakteristik ini sangat erat kaitannya dengan usaha di bidang perikanan itu sendiri, yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga sangat dipengaruhi oleh faktor serta factor lainnya.

Walaupun demikian dari beberapa hal tersebut di atas yang menjadi gambaran umum kehidupan masyarakat pesisir maka dalam tulisan ini akan di uraikan terkait budaya baca masyarakat pesisir. Sumber daya dan potensi yang terdapat dalam wilayah pesisir sesungguhnya telah diolah dengan baik namun sebagian besar masih dikerjakan dalam model tradisional. Untuk itu budaya baca harus dibangun sedini mungkin agar mereka yang melek huruf dapat membaca serta yang lainnya dapat memiliki pengetahuan yang cukup dengan mengupayakan aktivitas membaca.

Tentu kita semua sangat mengenal negara tetangga terdekat kita yakni Singapura yang umur negara tersebut sangat muda jika dibandingkan dengan Indonesia, mampu bangkit begitu cepat pada hal jika kita melihat negara tersebut sangatlah kecil jika terlihat pada peta, kini mampu menyaingi kemajuan di segala bidang ilmu pengetahuan dan teknologinya dengan negara-negara sekitarnya bahkan negara lainnya di dunia. Kemajuan tersebut tidak terlepas dari pembangunan dan penyediaan perpustakaan yang tersebar hampir di seluruh wilayah negara ini, yang kita tahu perpustakaan sebagai penunjang utama dan pemacu kemajuan dunia pendidikan. Jadi kemajuan suatu bangsa bisa dilihat dari aktivitas rakyatnya yang gemar membaca, karena aktivitas ini bisa berdampak terhadap kemajuan serta perkembangan sumber daya manusianya.

Namun kita Kembali kepada kondisi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dengan tingkat pendidikan yang umumnya sangat rendah bahkan sebagian dari mereka masih buta huruf (aksara) tentu merupakan tantangan besar, dengan kondisi seperti ini membutuhkan energi besar untuk membangun sebuah budaya baca masyarakat terlebih wilayah pesisir. Kemudian infrastruktur pendukung tidak ada, ketika masyarakat butuh bacaan satu-satunya yang tempat adalah di salah satu Sekolah Dasar (SD) setempat yang juga tidak memiliki perpustakaan buku-buku yang merupakan bantuan untuk perpustakaan sekolah hanya ditampung pada masing-masing lemari kelas.

Dalam kesempatan ini pula sebelum jauh kita membahas terkait budaya baca tentu kita akan sedikit memahami apa itu kebudayaan? hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik mengenai kebudayaan. Ada tiga hal yang terkait dengan kebudayaan; Pertama adalah manusia, kebudayaan adalah produk manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, kebudayaan bukan sesuatu yang berada di ruang hampa atau eksistensinya secara spontan, tetapi kebudyaan ada dan terbentuk melalui proses lama. Ketiga, hubungan manusia dengan kebudayaan adalah sesuatu yang timbal balik (reversible). Jadi pada suatu titik tertentu pada dasarnya manusia dibentuk oleh kebudayaan yang melingkupinya, namun pada kondisi dan titik tertentu lainnya manusia bisa menjadi agen untuk melakukan perubahan dan paradigma yang ada dalam lembaga dan struktur masyarakat di sekitarnya termasuk dalam hal perubahan terkait minat dan budaya baca masyarakat.

Jika kita melihat dan memandang secara historis, masyarakat kita bukanlah masyarakat yang memiliki budaya baca konstruksi social masyarakat kita lebih banyak pada hal transfer nilai dan kebudayaan melalui budaya lisan (tutur) seperti dongeng, tembang, kidung dan sejenisnya hal tersebut kita rasakan sendiri saat masih kecil, d an hal tersebut sudah termaktub dan tertulis dalam kitab-kitab klasik yang biasanya bertuliskan huruf-huruf berbahasa daerah masing-masing. Namun secara praktis bukan untuk dibaca, tetapi disampaikan melalui tembang atau kidung. Selain ajaran etik dan moral lebih banyak disampaikan melalui dongeng itu pun sebagai bagian dari pengantar tidur atau cerita-cerita tutur lepas di waktu senggang. Bahkan cerita tutur itu disampaikan langsung oleh para sesepuh namun bukan dalam bentuk kodivikasi etik tertulis. Semua ini menunjukkan bahwa transfer kebudayaan lebih dominan melalui budaya lisan Semua ini menunjukkan bahwa transfer kebudayaan masyarakat Indonesia lebih banyak dilakukan melalui budaya lisan, inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak memiliki kebiasaan (habituasi) membaca.

Hal tersebut merupaka akar kultural masyarakat kita dalam perspektif sosiologis, olehnya itu perlu ada strategi kulutural lainnya untuk mentransformasi budaya lisan atau tutur ke dalam budaya baca, agar prosesnya bisa berjalan dengan baik dan cepat, maka perlu bagi kita mencermati hal-hal yang bisa mendorong terjadinya percepatan transformasi itu, artinya upaya meningkatkan budaya baca merupakan bagian dari proses vital dan penting yang harus dan segera kita lakukan.

Dalam sebuah proses transformasi budaya baca, jika hal ini dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pesisir yang sebagian besar masyarakatnya berada dalam kondisi melek huruf serta tingkat pendidikan yang rendah memerlukan strategi dan cara tersendiri, penulis telah memulai itu sekitar empat tahun silam namun hasilnya sungguh jauh dari harapan, karena hal itu terkait dengan mengubah kebiasaan.

Menurut Koentjoroningrat beliau membedakan 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “ mata bajak “ kebudayaan, yakni; Pertama, system kepercayaan, Kedua, system kekerabatan, Ketiga, system mata pencaharian atau ekonomi, Keempat, bahasa, Kelima, ilmu pengetahuan, Keenam, kesenian, serta Ketujuh, peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi). Selanjutnya Koentjoroningrat menjelaskan bahwa urutan unsur budaya tersebut, juga menunjukkan urutan kesulitan dalam perubahan budaya, unsur yang pertama, yakni system kepercayaan adalah sesuatu yang paling sulit berubah, sedangkan unsur yang ketujuh, yakni peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) adalah yang paling mudah dalam keterkaitannya ketujuh unsur atau faset kebudayaan tersebut, budaya lebih dekat dengan unsur bahasa atau system ilmu pengetahuan, karena mambaca merupakan prasyarat penting yang diperlukan dalam menguasai ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu ketujuh faset kebudayaan itu kita bisa membangun startegi kebudayaan untuk dapat menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat. Dari ketujuh faset kebudayaan tersebut dapat dibagi ke dalam dua lapis kebudayaan; Pertama, kebudayaan halus dalam hal ini dapat dikatakan sebagai budaya lembut (soft culture) yaitu kebudayaan yang tak terbentuk yang terkait dengan pemikiran, norma, nilai, ajaran, system keyakinan dan sebagainya yang dapat memberikan pengaruh pada prilaku dan cara hidup manusia. Kedua, kebudayaan material, berbentk dan dapat dilihat atau dapat dikatakan sebagai materi (hard culture) seperti produk teknologi, benda-benda seni atau peralatan yang menjadi alat dalam kehidupan.

Dengan model atau sistim seperti itu, menjadi sebuah harapan besar untuk dapat menumbuhkan budaya membaca karena hal itu merupakan salah satu bentuk strategi budaya yang perlu kita lakukan. Dalam hal soft cultur penumbuhan budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah kebiasaan (habituasi) masyarakat melalui tranformasi kesadaran, ini berkaitan langsung dengan cara pengembangannya melalui ajaran dan nilai-nilai agama, adat, petuah dan atau tradisi yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca. Hal ini berbanding lurus dengan aspek sosiologis masyarakat yang terkesan rilegius, namun religiusitas masyarakat kita masih bersifat simbolik formal sehingga sebagian dari masyarakat kita belum bisa menyerap dan mengamalkan ajaran-ajaran yang sifatnya substansial secara utuh.

Dalam ajaran islam soal membaca, jelas ditegaskan bahwa ayat atau wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca, artinya agama islam sangat menginginkan ummatnya untuk membangun budaya baca, hal ini penting agar budaya membaca ini menjadi kesadaran kolektif masyarakat khsusnya ummat islam itu sendiri, oleh karena itu perlu ada kesadaran dan tanggungjawab pribadi bahwa adalah bagian dari tugas ummat beragama, selain kewajiban formal yang telah ditentukan oleh agama. Artinya berbagai nilai, norma, ajaran, dan pemikiran yang bisa mendorong dan memacu tumbuhnya budaya baca untuk dijadikan sebagai capital social dan capital cultural dalam membangun strategi kebudayaan dan hal ini pula perlu dieksplorasi secara mendalam.

Penyebaran kesadaran bisa kita upayakan agar dapat berlangsung serta adanya proses transformasi kebiasaan maka sangat perlu wadah seperti Lembaga atau komunitas agara segala pergerakannya bisa membentuk sebuah produk cultural. Wadah atau ranah untuk membentuk dan mentransformasikan budaya baca dapat melalui proses dari aspek politik, ekonomi, pendidikan, agama, serta adat/tradisi masyarakat, hal ini merupakan agen-agen yang dapat kita gerakkan dalam menyemaikan kesadaran-kesadaran baik secara eksternal maupun internal.

Secara teknis wadah atau agen-agen tersebu dapat menciptakan semangat dan kesadaran untuk berkompetisi dengan memanfaatkan berbagai macam kekuatan yang dimilikinya, bisa saja memperbesar kekuatan cultural, social , serta simbolik. Dengan cara dan teknis seperti ini secara tidak langsung dapat membangun dan mendorong kesadaran budaya baca karena pada esensinya setiap wadah atau agen-agen tersebut akan memberikan konstribusi dan pada akhirnya masyarakat akan membutuhkannya.

Sungguh sesuatu pekerjaan yang tidaklah mudah ketika merubah paradigma dan kebiasaan masyarakat terlebih saat kita dihadapkan pada kondisi tingkat pendidikan yang cukup rendah serta adanya hampir setengah dari masyarakat itu mengalami kondisi buta huruf (aksara), dan hal tersebut harus diakui mambangun budaya baca tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena itu berkaitan dengan habituasi yang telah mengakar jauh ke dalam. Perubahan budaya lisan menjadi budaya baca lebih sulit jika perubahan itu pada unsur peralatan hidup (teknologi).

Dalam keseharian kita dan ini merupakan sebuah contoh dan pengalaman terkait perubahan, seperti mengubah cara menulis pensil atau pulpen menjadi laptop atau computer lebih mudah jika dibandingkan mengubah budaya “ngerumpi” menjadi budaya baca, diperlukan kesabaran tingkat tinggi, keuletan, ketekunan, komitmen, dan konsistensi tinggi untuk melakukan proses perubahan budaya, namun kita jangan pesimis dengan kondisi seperti itu, perubahan itu akan segera terjadi jika cara dan pendekatan yang kita lakukan secara efektif dan memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai sarana dan prasarana transformasi budaya untuk membangun budaya baca di kalangan masyarakat khususnya masyarakat pesisir.

Tranformasi Budaya Baca “Adego-Dego“

Seperti yang telah uraikan sebelumnya bahwa harus diakui membangun budaya baca adalah sebuah proses transformasi kebiasaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan inilah harus diubah dengan berbagai pendekatan yang efektif, baik melalui pendekatan politik, ekonomi, social, agama, bahkan adat istiadat masyarakat. Namun demikian dukungan sarana menjadi salah satu factor utama yang cukup signifikan seperti adanya fasilitas perpustakaan, ruang baca, serta buku-buku bacaan yang menunjang.

Kepala Perpustakaan Nasional, M Syarif Bando menegaskan, menumbuhkan budaya literasi pada anak merupakan tugas semua pihak. Menurutnya, rendahnya budaya baca anak Indonesia, tidak lepas dari dukungan infrastruktur di masing-masing daerah. Bahkan beliau berpesan “Jangan hanya berhenti mengkritisi budaya baca di Indonesia rendah, rendah, rendah, tapi tidak melihat infrastrukturnya”.

Orang Indonesia menurut data Perpusnas memiliki budaya baca yang tinggi, hal ini terkait dengan program Perpustakaan Nasional tentang peminjaman buku secara daring, ada satu buku mempunyai jumlah antrian peminjam sampai 500 orang, pihak Perpusnas sendiri melalui meyakini dan memastikan budaya baca masyarakat Indonesi tinggi alasannya karena Indonesia merupakan negara dengan aksara terbanyak di dunia.

Pemerintah dalam hal Perpustakaan Nasional telah berupaya dan mendorong pendirian perpustakaan, ketersediaan toko buku, serta kesediaan buku setara dengan jumlah penduduk. Selama ini yang dituding dan menjadi kambing hitam rendahnya budaya baca masyarakat adalah pemerintah tentunya tak lain adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang tidak mampu menyediakan buku dan infrastruktur lainnya.

Tapi karena faktor geografis kita harus menyadari bahwa ada kesenjangan antarwilayah dan hal ini tidak bisa dihindari, sekarang ini ada perpustakaan berstatus sangat baik di Pulau Jawa sekitar 74 perpustakaan, akan tetapi ada sekitar 26 persen lainnya yang berada di luar Pulau Jawa dalam kondisi di bawah akreditasi C. Namun apakah dengan adanya infarstruktur perpustakaan yang baik dapat mendorong dan meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat? Jawaban dari pertanyaan ini adalah tentu kemampuan kita semua mentransformasi kebiasaan (habituasi) masyarakat tentang esensi dari membaca, pun harus melalui kesadaran strategi yang baik.

Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007 tentang Perpustakaan terus disosialisasikan, namun demikian anggaran perpustakaan sangat terbatas, namun usaha lainnya telah dilakukan dengan menyediakan mobil untuk perpustakaan keliling, membagikan buku-buku ke seluruh pelosok kecamatan, mengadakan buku-buku untuk pondok pesantren, ormas, komunitas tapi jumlahnya tak terjangkau. Juga melakukan sinergi dengan berbagai Lembaga seperti kementrian, pemerintah daerah, komunitas LSM, serta para penggiat literasi untuk mendorong peningkatan budaya membaca mesyarakat agar tercipta kesadaran yang tinggi akan pentingnya membaca demi proses ke arah kemajuan masyarakat itu sendiri secara mandiri dan berkesinambungan.

Transformasi budaya baca dengan pendekatan “Addego-Dego” adalah sesuatu hal yang tak lazim dalam pandangan penulis, dego-dego merupakan beranda rumah panggung suku Bugis/Makassar, dego-dego (beranda) merupakan garda terdepan dan biasanya di saat senggang para perempuan Bugis/Makassar digunakan atau dimanfaatkan untuk bersendah gurau saat selesai mengerjakan pekerjaan rumah atau kegiatan lainnya yang terkait urusan rumah tangga.

Ide dan gagasan ini muncul secara spontan dan butuh waktu berhari-hari untuk menyampaikannya kepada teman-teman guru, hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan buku-buku, sementara satu-satunya Lembaga pendidikan di Padangpadangeng hanya sebuah Sekolah Dasar tempat penulis diamanahi sebagai Kepala Sekolah. Bangunannya pun hanya tiga local dengan jumlah rombongan belajar enam kelas, dengan terpaksa kelas harus disekat, untung saja jumlah siswa tidaklah terlalu banyak sehingga segalanya bisa berjalan dengan baik.

Pendekatan ini sesungguhnya dihadang oleh berbagai permasalahan diantaranya; Pertama, kurangnya ketersediaan buku, Kedua, tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah, Ketiga, kesempatan dan waktu yang tersita oleh pekerjaan, Keempat, dukungan dari tokoh pemuda dan masyarakat agak kurang, Kelima sosialisasi yang tidak intens dilakukan, serta Keenam, koordinasi dengan pemerintahan desa tidak optimal, serta Ketujuh, jauh jarak tempuh ke tempat tersebut.

Pada akhirnya program ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan namun penulis akan tetap berusaha merintis Kembali jalan yang sudah ada, dengan tetap mengedepankan optimism dan Kerjasama dengan pihak-pihak terkait atau steakholder kampung pesisir Padangpadangeng tersebut. Teknis pelaksanaan dari pendekatan Addego-dego itu cukup sederhana meminjam buku-buku dari sekolah dan memilah-milah buku yang cocok dengan kondisi yang dibutuhkan yang dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat tentang pekerjaannya seperti, buku perikanan, pertambakan, mengelolah rumput laut, kelestarian mangrove serta buku-buku lainnya yang terkait tentang agama, cerita-cerita rakyat dan lainnya.

Dalam pelaksanaanya melibatkan beberapa pemuda serta pelajara untuk mengantarkan buku-buku tersebut sesuai jadwal yang telah disepakati dengan masyarakat, intinya jangan sampai mengganggu pekerjaan mereka. Awalnya memang berjalan dengan baik bahkan mendapatkan tanggapan positif, namun karena beberapa hal juga karena factor keterbatasan buku, disamping itu pula pelanggannya sebagaian para perempuan yang sudah diatas paruh baya bahkan ternyata ada sebagian dari anggota itu masih berstatus buta huruf (aksara) sehingga teman-teman sedikit bosan dengan kondisi seperti itu, karena mereka terpaksa mengajar tentang huruf-huruf pada hal kegiatan ini bukan dalam bentuk keaksaraan.

Seiring waktu akhirnya kegiatan Addego-Dego tersebut tidak beroperasi sesuai rencana sebelumnya, namun kini penulis berusaha untuk merintisnya kembali, sekarang ini telah menjalin komunikasi dengan Pemerintah Desa Bulu Cindea, Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan dengan sebuah lembaga Taman Baca Masyarakat (TBM) setempat, upaya ini dilakukan kembali yang terkesan sebuah rintisan baru. Harapan penulis agar nantinya dari pihak Pemerintah Desa dapat mengalokasikan anggaran melalui Anggaran Dana Desa (ADD) artinya sekarang ini telah disiapkan sebuah risalah kesepakatan atau MOU.

Dari hasil pantauan di salah satu sudut ruangan kantor desa terdapat rak buku, sesuai informasi buku-buku yang ada disitu merupakan salah satu bagian dari pojok baca sementara buku-bukunya adalah sumbangan dari Dinas Perpustakaan dan para mahasiswa pada saat mereka melaksanakan Kuliha Kerja Nyata (KKN)/KKLP. Namun sepertinya buku-buku tersebut jarang di manfaatkan, inilah salah satu gambaran nyata betapa lemahnya minat dan budaya baca masyarakat termasuk para aparat desa tersebut.

Demikian pula Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang berdekatan dengan kantor desa sesuai informasi Sekretaris Desa Bulu Cindea jarang yang berkunjung ke sana terlebih lagi kondisi pandemic covid-19 ini semakin merana dan sunyi TBM tersebut, asumsi penulis bahwa pengelolaannya tidak sesuai dengan kaidah profesionalitas artinya orang-orang yang menjadi pengelolah TBM tersebut tidak memahami teknis pengelolaannya. Jadi seharusnya pihak terkait yang menjadi bagian dari lembaga Taman Bacaan Masyarakat dapat bekerjasama dan berkoordinasi dengan Dinas Perpustakaan Kabupaten agar dalam pengelolannya bisa lebih professional minimal dengan itu dapat mendorong minat dan budaya baca masyarakat setempat agar mereka memahami pentingnya membaca.

Padahal dengan bertumbuhnya budaya baca masyarakat khususnya wilayah pesisir, akan memberikan dampak yang luas terkait pengembangan sumber daya manusianya, antara lain :

  • Berdampak pada kemampuan berpikir.
    Ibarat piasu jika sering diasah akan semakin tajam, bacalah buku sesuai pilihannya sehingga otak dapat merekam begitu banyak informasi sesuai banyaknya jenis bacaan yang kita baca. Kata para ahli membaca memberi keuntungan bagi otak, meningkatkan keahlian kognitif serta menambah perbendaharaan kosa kata kita.
  • Berdampak meningkatkan pemahaman.
    Kebiasaan membaca baik itu siswa, mahasiswa, masyarakat dan berbagai kalangan lainnya, karena membaca dapat meningkatkan pemahaman dan memori otak, yang semula tidak mengerti menjadi jelas setelah membaca. Logika sederhana saja tidak mungkin pelajar/mahasiswa memahami materi jika tidak membaca. Dari sini dengan membaca sangat membantu seseorang untuk memahami sesuatu termasuk materi pelajaran bagi seorang pelajara dan mahasiswa.
  • Berdampak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
    Manfaat ini sering kita mendengar semenjak kita kecil, hal ini terkait dengan pesan guru bahwa dengan membaca menjadi sarana dalam membuka cakrawala dunia. Dengan wawasan dan pengetahuan luas yang kita miliki akan lebih percaya diri, mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan.
  • Berdampak menambah kemampuan menulis selain menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
    Membaca juga menambah kemampuan kita dalam menulis jika memang kita punya hobi menulis, disamping itu kita dapat mempelajari gaya-gaya menulis orang dengan sering membaca tulisan mereka, kita akan kaya dengan ide dan gagasan dengan membaca.
  • Berdampak kemampuan berbicara di depan umum.
    Membaca akan membuka cakrawala dan pengetahuan kita tentang dunia, keterbatasan kita terhadap suatu peristiwa didunia akan bisa dijangkau dengan membaca selain informasi tersebut juga akan memberikan pola piker yang baik, kreatifitas dan kemampuan verbal akan sangat mendukung untuk dapat berbicara di depan umum.

Dampak yang telah diuraikan diatas merupakan dampak dari kegemaran dan kebiasaan membaca, kemampuan ini akan membuat kita focus untuk memiliki perhatian penuh dan praktis dalam kehidupan, hal seperti inilah yang ingin kita capai dalam kehidupan masyarakat pesisir Padangpadangeng, walau hidup pesisir namun mereka tidak merasa terkurung ibarat “katak dalam tempurung”, budaya membaca ketika mereka memilikinya mampu melihat dunia luar dengan jangkauan yang luas melalui jendela buku yang mereka baca.

Salah satu hal yang berperan dalam mengukur budaya baca masyarakat setempat atau suatu daerah, kata M. Syarif Bando, percaya atau tidak, budaya baca harus dimulai dari koran. Semakin tinggi budaya baca masyarakat maka yang cepat laris adalah oplah penjualan koran.

Pernyataan diatas menurut penulis ada benarnya, namun kenyataan sekarang ini sudah jaran kita melihat orang membaca koran/surat kabar, terlebih di daerah pesisir memang sejak dulu koran atau surat kabar tidak pernah ada, kalau pun ada dan mereka punya itu karena hanya dijadikan pembungkus saja. Tapi handphone begitu banyak terlihat di wilayah pesisir baik yang biasa maupun sejenis android, dan hal itu hampir seluruh masyarakat memilikinya walaupun itu sebenarnya milik anaknya saja.

Salah satu wilayah pesisir didaerah Kalimantan Tengah Dinas Perpustakaan dan Dokumentasi Daerah melakukan Kerjasama dengan Ditpolair Polda Kalteng, Kerjasama itu dalam bentuk peminjaman 500 buku berbagai jenis yang akan dibawa ke wilayah pesisir agar masyarakat disana bisa membacanya. Program ini bersinergi dengan program Dinas Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kotim yakni program perpustakaan keliling, namun karena tidak bisa menjangkau wilayah pesisir yang berada jauh dibalik hutan mangrove dengan Kerjasama ini dapat meningkatkan budaya baca masyarakat pesisir disana.

Hal tersebut diatas merupakan salah satu bentuk ide dan gagasan yang bisa dijadikan contoh karena gambaran lokasi tersebut juga berada di daerah pesisir yang justru tingkat kesulitan dan tantangannya sangat berisiko, selain dengan pendekatan “Addego-dego” yang akan terus dikembangkan tidak menutup kemungkinan gagasan dan ide penulis ini akan di sinergikan dengan pihak-pihak terkait jika itu memungkinkan pihak Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dan bekerja sama denga Polairud Polres setempat.

Namun karena pada saat ini masih dalam situasi merebaknya pandemic covid-19 maka semua program menjadi terhambat jika dilaksanakan harus memenuhi standar protocol kesehatan yang sangat ketat. Tapi tetap penulis upayakan agar transformasi budaya baca masyarakat dengan pendekatan “addego-dego” tersebut akan segera terwujud kembali seperti yang telah dirintis beberapa tahun lalu.

Untuk mewujudkannya ada beberapa hal yang telah dipersiapkan sesuai rencana dan target, diantaranya :

  • Merencanakan rapat/pertemuan dengan steakholder masyarakat pesisir Padangpadangeng
  • Mengkordinasikan dengan pihak-pihak terkait khususnya Pemerintahan Desa Bulu Cindea.
  • Merencanakan melakukan kunjungan ke salah satu Taman Baca Masyarakat (TBM) yang ada di Desa Bulu Cindea.
  • Melibatkan kembali pemuda, pelajar, tokoh agama, tokoh masyarakat serta tokoh perempuan serta steakholder lainnya.
  • Merencanakan kerja sama dengan pihak Pemda dalam hal ini Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah khusunya dalam hal pengadaan buku-buku.

Perencanaan dan target diatas merupaka sebuah langkah awal untuk dapat mewujudkan kembali impian yang pernah hampir pupus, ide dan gagasan untuk membangun budaya baca masyarakat pesisir Kampung Padangpadangeng melalui salah satu pendekatan kearifan local yakni “Adego-Dego” karena model ini digunakan untuk lebih mendekatkan diri penulis dalam kehidupan masyarakat, sekaligus sebagai upaya untuk membangun komunikasi, salah satunya ikut dengan tradisi dan kebiasaan mereka tersebut.

Addego-Dego, sebagai salah satu bahasa local suku Makassar tentunya lebih efektif karena nantinya buku-buku diantarkan langsung saat mereka berkumpul, walau beberapa tahun lalu penulis menganggap pendekatan ini gagal semoga dalam proses yang akan segera dilakukan semoga berhasil. Keberhasilan yang penulis harapkan ini tentunya tidaklah semudah yang kita bayangkan, namun dengan semangat dan kerja keras serta kolaborasi yang baik semuanya akan berbuah manis, mungkin saja ada program dari pihak lain yang bisa berdampingan dengan pendekatan ini.

Sebenarnya harapan untuk memajukan dan membangun budaya baca di masyarakat pedesaan ataupun pesisir telah ada nota kesepahaman antara Kemendes PDTT dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) penandatanganan ini bertujuan untuk mengatasi rendahnya tingkat literasi di perdesaan termasuk masyarakat yang berada di pesisir, dana desa agar bisa digunakan untuk membeli koleksi buku-buku untuk keberadaan perpustakaan desa ini membuka ruang bahwa desa-desa di pelosok bisa memiliki buku yang bisa dinikmati penduduknya. Di Indonesia ada 74.754 desa (Permendagri No 56 Tahun 2015), hal ini sesuatu hal yang baik jika semua desa bisa berperan aktif dalam membangun budaya membaca.

Pada akhirnya kita semua berharap bahwa membangun budaya baca bagi masyarakat khususnya wilayah pesisir adalah sesuatu hal yang mesti kita perjuangkan agar mereka mampu membangun peradabannya menuju masyarakat yang berwawasan jauh ke depan. Pada dasarnya orang yang bermanfaat itu akan selalu bermula dari seberapa banyak bacaan yang diserapnya seiring waktu, mengutip kata Ki Hajar Dewantara “ Lawan sastra ngesti mulya “, dengan ilmu kita menuju kemuliaan.

Referensi:

  • Dahuri, dkk. 1996.Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta, PT.Pradnya Paramita.
  • Fahmi.2020.Masyarakat Pesisir, Jakarta, Grasindo
  • Koentjoningrat.1998. Manusia dan Budaya Indonesia. Jakarta, Rineka Cipta
  • https://zafiraafriza.blogspot.com/2013/karakteristik masyarakat pesisir-di.html
  • https://kumparan.com/asep-totoh/kualitas-budaya-membaca-1tqgSIqzGip/full https://gpmb.perpusnas.go.id/2016/membangun bangsa lewat gemar baca-d.html
  • https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/17/03/12/ompcla335-budaya-baca-masyarakat-indonesia
    www.keminfo.go.id/content/detail/1086/ teknologi-masyarakat-malas-baca/id
  • Semua/sebagian isi dari tulisan esai adalah ide dan pendapat pribadi penulis

TENTANG PENULIS

Nama : Muhammad Nurdin, S.Pd
TTL : Bungoro, 8 Desember 1971
Pekerjaan : ASN ( Kepala Sekolah SDN 26 Jollo, Desa Bulu Cindea, Pangkep)
Alamat : Jalan Kapten Pahlawan Laut, Lejang Rt 002/Rw 002 Kelurahan Samalewa Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan
Kode Pos : 90651

 

 

 

 

 

 

 

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *