Pepatah lama yang lazim diungkapkan “buku adalah jendela dunia”, kiranya masih amat relevan dengan kehidupan kita di era Revolusi Industri 4.0 yang segala sesuatu serba digital. Industri 4.0 sungguh membawa perubahan yang sangat signifikan di seluruh pelosok Tanah Air. Namun sayangnya tidak semua daerah di Indonesia merasakan adanya perubahan perihal industri 4.0. Ada istilah “universal sufferage” yang menggambarkan rasa senasib wilayah pedalaman di Indonesia. Sebut saja pedalaman di Papua yang mungkin tidak jauh berbeda dengan situasi pedalaman di Indonesia bagian Timur ataupun daerah-daerah lain di Indonesia, yang hingga kini yang tidak merasakan dampak perubahan industri 4.0. Salah-satu contoh, Daerah pedalaman Papua tidak memiliki listrik dan jaringan telepon dan internet.
Alasan di atas menjadi bukti bahwa “buku adalah jendala dunia” masih sangat relevan dengan situasi kami di pedalaman Papua. Tak ada jaringan telepon dan internet serta listrik bahkan akses jalan yang sulit menunut kami untuk berpikir tentang cara menyalurkan ilmu pengetahuan kepada semua anak-anak di pedalaman Papua. Maka jelas-lah bahwa Pendidikan menjadi unsur fundamental dalam menunjang perkembangan ilmu pengetahuan. Sarana penting yang tak dapat dilepaskan dalam dunia pendidikan adalah buku. Melalui buku bahkan naskah-naskah “lepas” merupakan “makanan” untuk anak-anak di pedalaman demi perkembangan ilmu pendidikan. Lantas bagaimana menyalurkan “asupan makanan” yang cukup demi pendidikan yang lebih baik.
Saya melihat dari pihak pemerintah daerah melalui dinas pendidikan telah memfasilitasi upaya pemberantasan buta aksara di daerah pedalaman papua. Salah satu bukti nyata yakni mengadakan “mobil pintar”. “Mobil pintar” adalah mobil yang dilengkapi dengan buku-buku bacaan (buku ajar maupun buku anak dan remaja). “Mobil pintar” berkeliling dari satu wilayah ke wilayah yang lain untuk dapat menjangkau anak-anak dan remaja. Tetapi sayangnya usaha ini tampaknya tidak maksimal. Sebab banyak daerah yang belum memiliki akses jalan darat. Jika “mobil pintar” hanya beroperasi di wilayah kabupaten dan distrik, sedangkan wilayah di pedesaan belum bisa terjangkau dengan “mobil pintar” karena medan dan belum adanya akses jalan menuju pedesaan atau kampung. Maka harapan kami adalah bahwa penggunaan alokasi dana desa untuk mendirikan perpustakaan dengan istilah yang lebih sederhana “taman baca” harus terwujud.
Pengertian “taman baca” adalah dibangunnya perpustakaan dengan istilah yang sederhana. Pada taman baca ini dibangun-lah fasilitas yang menarik untuk anak dan remaja. Fasilitas yang menarik untuk menciptakan energi positif dan semangat pembaca dalam membaca buku. Jadi “taman baca” lebih dari pada sekedar perpustakaan. Mengapa harus lebih dari sekedar perpustakaan. Sebab ada semacam konotasi negatif pada kata perpustakaan. Ketika orang mendengar perpustakaan. langsung ada satu pengertian bahwa perpustakaan sebagai satu ruang dengan tumpukan berbagai buku dan suasana hening tanpa kata, hanya pandangan mata yang berbicara – mulut membisu. Sehingga membuat orang malas untuk berkunjung ke tempat yang mereka anggap kaku dan dingin. Maka perlu suatu inovasi dalam menghadirkan perpustakaan di wilayah pedesaan atau kampung. Inovasi yang ditawarkan bukan hanya sekedar mendirikan perpustakaan di wilayah pedesaan atau kampung, melainkan membangun “tanam baca” demi perpustakaan desa yang tetap eksis. Sebab sejauh yang saya tahu hingga kini banyak sekali wilayah di pedesaan tidak memiliki perpustakaan atau sejeninya. Bahkan yang sangat disayangkan adalah sekolah-sekolah yang mestinya memiliki perpustakaan malah hanya memiliki sekumpulan rak buku.
Seluruh uraian pada poin-poin berikut ini, merupakan murni opini pribadi yang dihasilkan dari pengamatan dan pengalaman selama hidup di berbagai wilayah (Papua Selatan – Merauke dan Boven Digoel). Perlu disampaikan sejak awal bahwa sesungguhnya Pemerintah Pusat, Propinsi dan Daerah sudah sangat besar perjuangannya dalam memperjuangkan pembangunan kedaulatan literasi di wilayah pedesaan. Usaha itu terlihat dalam mendistribusikan buku-buku ajar dan bacaan-bacaan kepada masyarakat di wilayah pedesaan. Sehingga hal-hal yang ditulis pada uraian-uraian selanjutnya adalah upaya penulis untuk menyampaikan kekurangan-kekurangan yang perlu pembenahan. Tawaran yang disampaikan berupa ajakan untuk mendirikan “taman baca” dan bercermin dari filsuf Tiongkok Confusius perihal pentingnya mendirikan perpustakaan di wilayah pedesaan.
Perpustakaan (Taman Baca) dalam Konteks Pedesaan
Konsep tentang “taman baca” barakali bukan sesuatu yang baru. Tetapi saya secara pribadi berpikir tentang konsep “taman baca” sebagai usaha untuk menghadirkan perpustakaan di berbagai wilayah pedalaman Papua. Taman baca merupakan upaya untuk menciptakan suasana yang kondusif di suatu desa. Jadi lingkungan sekitar-pun perlu ditata (pengondisian) sehingga terbentuk suasana untuk menumbuhkan semangat membaca. Tanam baca harus bersih, rapi dan asri. Setiap jalan-jalan yang strategis dibuatlah pablet dan gambar-gambar menarik ajakan untuk membaca buku. Hingga kini belum banyak perpustakaan di desa meski-pun beberapa desa sudah ada tetapi kelihatannya hanya sebagai ikon desa. Daya tarik agar orang masuk dan duduk serta membaca sangat kurang. Karena alasanya bahwa perpustakaan sebagai tempat yang kaku dan dingin.
Perpustakaan dianggap hanya untuk orang-orang tertentu dengan kacamata besar yang dengan serius membaca naskah-naskah misterius. Perpustakaan belum belum dilihat sebagai suatu tempat yang menarik. Unsur ini-lah yang membuat perpustakaan yang sudah ada tidak diminati. Bahkan ada momen tertentu di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) bahkan mahasiswa, saat mencari buku ke perpustakaan daerah tidak menemukan buku yang dicari. Akhirnya ada kesan bahwa “sudah-lah tidak usah ke perpustakaan lagi, bukunya tidak lengkap”. Justru perputakaan daerah dan desa harus menjadi referensi saat orang mencari buku.
Pada konteks wilayah pedesaan perpustakaan mesti menjadi tempat yang menarik. Perpustakaan harus menjadi tempat orang melepas lelah bukan lelah. Sehingga di wilayah pedesaan baiknya membuat perpustakaan lebih nyaman. Maka istilah taman baca harus menjadi perbendaharaan baru sebagai perpustakaan di wilayah pedesaan. Minat orang pada umumnya adalah mencari sesuatu yang menyenangkan. Jika konsep memikiran tentang perpustakaan adalah hal yang kaku dan dingin, maka perlu penyesuaian untuk menghadirkan perpustakaan yang memberikan suasana damai dan bahagia.
Taman Baca di Boven Digoel-Papua
Penjara tanpa bilik, begitu orang dulu menggambarkan kondisi Boven Digoel yang sepi dan memberi cekaman kebosanan bagi mereka yang pergi ke sana. Boven Digoel sebelum pemekaran merupakan bagian dari kabupaten Merauke, namun berdasarkan UU Nomor 26 tahun 2002, Boven Digoel kemudian menjadi kabupaten tersendiri. Secara Geografis, kabupaten Boven Digoel terletak diantara 139 90 – 141 Bujur Timur dan 4 98 – 7 10 Lintang Selatan. Kabupaten ini berbatasan dengan kabipaten yahukimo dan kabupaten Pegunungan Bintang di sebelah utara, di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Merauke, disebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Sebelah Timur berbatasan dengan Negara papua New Guinea.
Perpustakaan daerah hingga kini menjadi kantor dan minim pengujung. Perpustakaan di wilayah desa hingga kini belum ada. Bahkan dengan perkembangan industri 4.0 ini menjadi tantangan tersendiri eksistensi perpustakaan. Kecintaan akan budaya membaca dengan perlahan demi perlahan tersingkir, budaya membaca sangatlah mengkhawatirkan, padahal dari membaca kita dapat mengetahui banyak hal, karena membaca merupakan jendela Dunia karena kita dapat mengetahui semua informasi yang terjadi, dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangakan gagasan.
Saya melihat bahwa di era Modern ini, anak muda maupun orang Tua sudah kurang meningkatkan dan mengembangkan budaya membaca, mengembangkan budaya membaca merupakan tantangan di era globaliasi, untuk itu munculah sebuah keprihatinan untuk mendirikan suatu taman baca yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan budaya membaca. Keprihanitan ini-lah yang membuat Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Santa Maria – Boven Digoel mendirikan taman baca di pusat kota dengan tujuan menghidupkan budaya membaca. Gagasan tersebut dinyatakan dan saat ini berkembang cukup baik, tetapi menurut Kepala Sekolah SMAK Santa Maria-Boven Digoel bahwa masih perlu penambahan buku-buku bacaan. Sebab hingga kini masih sangat kurang buku bacaan untuk anak dan remaja dan untuk kalangan umum.
Kami sebagai pemerhati literasi di wilayah pelayanan pedesaan merasa perlu mengembangkan taman baca. Demi meningkatkan budaya baca pada anak; Sebagai wadah yang nyaman bagi setiap pencinta literasi; Memperkaya pengalaman membaca bagi masyarakat setempat; meningkatkan kegiatan belajar mandiri. Kami berinsiatif akan mengajak setiap pihak untuk bekerjasama guna mendirikan taman baca yang terbuka untuk umum. Maka perlu untuk bekerjasama dengan semua pihak, secara khusus Pemerintah setempat. Melalui UU no.6 tahun 2020 tentang Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Poin E no. 2 bagian b dijelaskan beberapa sarana-prasana yang menunjak pengembangan pendidikan dan literasi salah satu yakni Taman bacaan Masyarakat. Melalui peraturan perundang-undangan yang disebut di atas seharusnya menjadi usaha baik dari pihak kami sebagai pemerhati literasi dan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah desa demi terciptanya masyarakat yang berkualitas melalui literasi.
Bercermin pada Confusius
Confusius tidak secara langsung menyebutkan atau memiliki gagasan perihal perpustakaan. Tetapi pada kesempatan ini baik-lah kita bercermin pada tokoh sentral Cina yang hidupnya didedikasi pada pengembangan semangat literasi. Confusius adalah orang pertama dalam sejarah Cina yang memberi pelajaran kepada murid dalam jumlah yang besar. Muridnya berjumlah ribuan orang, dan beberapa puluh di antara mereka menjadi pemikir dan sarjana terkemuka (Fung Yu-Lan, 2015:48). Angka-angka ini mungkin cukup berlebihan jumlahnya, tetapi yang ingin diperlihatkan bahwa Confusius merupakan seorang guru yang sangat berpengaruh.
Para murid betapa pun miskinnya telah dibekali dengan pengetahuan untuk memegang jabatan penting. Demikian pula di akhir Kekaisaran Cina, ketika sistem ujian mempunyai kedudukan kuat, maka orang-orang dari kelas bawah memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan karena pintu masuk menjadi pegawai sipil melalui ujian kompetitif terbuka bagi semua laki-laki tanpa memandang status sosial.
Confusius sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi manusia, karena baginya pendidikan dapat mengubah serta menghapuskan kebodohan yang terdapat dalam masyarakat. Pendidikan baginya adalah jalan yang akan mengantarkan suatu negeri mencapai kemakmuran. Melalui jalur pendidikan Confusius berusaha memengaruhi orang-orang muda yang diharapkan akan menjadi penguasa. Ia berpendapat bahwa pemerintah harus dibangun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan serta kebahagiaan seluruh rakyat. Hal itu hanya dapat terwujud bila dipegang oleh orang-orang yang cakap dan pandai. Confusius secara tegas menekankan perlunya diselenggarakan pendidikan semesta karena warga negara yang berpengetahuan atau terdidik merupakan landasan yang sangat diperlukan bagi suatu negara.
Bagi Confusius pendidikan tidak hanya berarti mengajar dalam pengertian sempit, melainkan segala hal yang dapat melatih karakter dan tingkah laku individu atau meningkatkan pengetahuan dan keahlian seseorang adalah juga bentuk dari pendidikan. Dengan demikian pendidikan juga terdapat dalam disiplin keluarga, berburu, perkumpulan sosial dan dialog pribadi. Confusius berkecimpung di dunia pendidikan tidak sekedar demi pendidikan belaka melainkan mempersiapkan para muridnya terjun ke dunia kerja untuk bekerja dan berjuang demi prinsip-prinsip yang mereka anut.
Melihat betapa pentingnya pendidikan, maka sarana-prasana penunjak proses pendidikan mesti terpenuhi. Perpustakaan mesti menjadi garda terdepan dalam menyiampakan generasi pencinta buku. Maka kehadiran taman baca adalah upaya untuk membantu orang dalam mencintai buku. Jika orang tidak lagi mencintai buku dan mendalaminya maka pendidikan akan timpak. Hal fundamental dalam pendidikan yakni kemandirian manusia khususnya para pelajar dalam semangat literasi. Keinginan untuk tetap mempertahankan eksistensi perpustakaan yaitu membuat perpustakaan tetap menarik dengan invosi taman baca. Melalui taman baca minat pembaca dibudayakan dan pastinya pendidikan akan berkembangan.
Referensi:
- Yu-Lan Fung. 2015. Sejarah Filsafat Cina. Yogyakarta: Kanisius
- Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Teringgal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020
- Sebagian isi dari esai ini adalah ide atau pendapat pribadi penulis
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Odiliya Emiliana (Sr Oliva PBHK)
TTL : Merauke, 17 Juli 1981
Alamat : Jln Mandobo
Kabupaten/Kota : Boven Digoel
Provinsi : Papua
Pengalaman : Guru
Instagram : Odiliya Emiliana
Facebook : Odiliya Emiliana