Membaca adalah salah satu media transfer ilmu pengetahuan yang disalurkan melalui buku atau tulisan, yang menjadi titik fokus berbagai macam bahan bacaan, menuju pikiran merupakan tempat di mana ilmu pengetahuan itu ditransformasikan untuk dilakukan proses pengelolaan, pembelajaran, pengembangan dan lain semacamnya. Setelah nantinya ditindaklanjuti dengan urgensi aplikasi usaha penyebaran akan gagasan dan berbagai upaya kreatif responsif konstruktif untuk keperluan penyebaran akan ilmu, diperuntukkan bagi mereka seseorang yang membutuhkan.
Membaca sebenarnya sangat mudah dilakukan kapanpun, di manapun, dan bersama siapapun. Apalagi saat ini didukung dengan masuknya perangkat alat teknologi canggih contoh kecilnya telepon genggam atau gadget yang banyak dilengkapi dengan berbagai macam fitur aplikasi pelengkap kecanggihan dan sambungan internetnya yang memadai, seakan sangat memanjakan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan, keinginan yang mereka kehendaki sesuai selera hati, baik menyangkut konsumsi keberadaan informasi, literasi, edukasi, kesehatan jasmani atau rohani dan lain sebagainya yang bisa mudah terpenuhi untuk keberlangsungan hidup dikemudian hari nanti. Maka tidak salah kalau ada istilah dunia seperti dalam genggaman yang disematkan oleh sebagian masyarakat atas keberadaan telepon genggam sebagai ungkapan ekspresi berupa lisan yang disuarakan masyarakat, akan mudahnya memenuhi kebutuhan dengan adanya gadget pelengkap kehidupan.
Di sisi lain, membaca sebenarnya merupakan suatu aktivitas penting perlu pembudayaan sebab memiliki banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan. Seorang tokoh Muhammad Al-bakri berpendapat “bahwa dengan banyak membaca suatu ilmu didapat”. Melalui rajin membaca seseorang dapat diharapkan antara lain. Pertama bisa mendapatkan, memperoleh informasi dan tanggapan yang tepat tidak salah tempat. Kedua, dapat mencari sumber, menilai, menyaring, menyimpulkan, dan menyerap ilmu pengetahuan sekaligus dapat juga membagikan informasi dari bahan bacaan. Ketiga, manfaat banyak membaca di kemudian hari bisa mampu mencari, menelusuri, mandalami, memahami, menghayati, menikmati, serta mengambil ibrah (pelajaran) manfaat dari bahan bacaan. Tentu semua itu bakal mudah terwujud jika terpatri dasar hasrat keinginan belajar yang kuat dari para masyarakat.
Kesadaran akan kewajiban belajar yang tidak terbatas, bisa meluangkan me-manage waktu dengan baik secara tepat di tengah banyaknya kesibukan pekerjaan yang diemban agar tidak terbengkalai saling bertabrakan dengan keinginan belajar dan tetap seimbang kondusif sejalan. Meski pengaplikasian belajarnya lama asal secara rutin terus menerus konsisten hingga dapat menjadi kebiasaan, tidak vakum pada batas tergantikan aktifitas tertentu di hari kemudian. Berbeda bagi pelajar yang statusnya masih mengenyam pendidikan, kebutuhan membaca berubah kewajiban pokok sangat penting sekali. Membaca materi pelajaran untuk menambah dan menampung ilmu akan pengetahuan yang dapat berguna ketika mengerjakan soal-soal saat ujian.
Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai inisiatif dalam rangka memberi rangsangan internalisasi membaca terhadap jiwa-jiwa masyarakat, dengan upaya menggalakkan implementasi program membudayakan semangat literasi, dimulai dari mendirikan program Gerakan Literasi Nasional (GLN). Salah satu bentuk penerapannya, yakni melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS), yang tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud RI) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Cuman sayangnya, gayung program yang difasilitasi pemerintah tidak dibarengi dengan respon positif dari pelajar atau masyarakat itu sendiri. Tidak sedikit dari mereka malah cenderung apatis terhadap program yang pemerintah canangkan jauh-jauh hari. Tidak heran jika sampai hari ini Negara Republik Indonesia tercinta, tingkat literasinya masih tertinggal jauh dari berbagai Negara di dunia, bahkan data berbicara menurut Unesco pada tahun 2020 menyebutkan, bahwa peringkat literasi Indonesia berada nomor dua dari bawah jika dipersenkan hanya kisaran 0,0001% yang mempunyai minat baca artinya dari semisal jumlah 1000 masyarakat Negara Indonesia hanya satu personalia saja yang rajin membaca sangatlah rendah bukan.
Tidak heran jika kemudian seorang penyair yang mendapat gelar datuk panji alam khalifatullah, Taufiq Ismail meng asumsikan permasalahan tersebut dengan istilah “tragedi nol buku”. Tragedi nol buku, sebuah ungkapan ekspresi akan keprihatinan terhadap masyarakat atau pemuda bangsa saat ini yang kendor sekali ghirah membacanya. Berbagai problematika tentang keberadaan pelaksanaan literasi muncul ke permukaan baik bermuara dari kemalasan belajar pribadi sendiri, atau ada faktor lain yang melatarbelakangi masalah itu terjadi.
Salah satu indikasi nya mengapa pelaksanaan GLS masih begitu rendah adalah alokasi anggaran yang berjumlah sebesar 5% hanya didistribusikan untuk upaya pengadaan fokus pada pemenuhan buku pelajaran semata alias kurang memberikan pilihan buku variatif bagi siswa terhadap kegiatan membaca untuk kesenangan (reading for pleasure) biar tidak jenuh. Belum lagi kekurangan berbagai penunjang lainnya. Maka dari itu oleh masyarakat anggaran tersebut masih dinilai minim kontribusinya terhadap pendukung kesuksesan gerakan literasi, sebab yang banyak diminati biasanya oleh anak-anaknya bacaan-bacaan non-pelajaran seperti novel, kumpulan buku cerita, antologi puisi dan lainnya. Karena adanya dana yang diperuntukkan bagi pelaksanaan GLS terbatas, maka disinilah perlu adanya peran campur tangan dari masyarakat utamanya orang tua dalam menyukseskan program pelaksanaan GLS ini. Bentuk tindakannya bisa dengan mengadakan pemahaman terlebih dahulu Dalam tatanan masyarakat berupa training pemahaman konsep betapa pentingnya budaya literasi, serta menjelaskan gambaran fungsi peran posisi kerja dari tiap masing-masing subjek masyarakatnya.
Tidak dapat dipungkiri memang bahwa keberhasilan suatu program apapun sulit akan lepas dengan yang namanya kerja sama dan kekompakan, kordinasi antara satu dengan yang lainnya. Sama dengan membudayakan membaca tidak bisa berjalan secara sempurna kalau hanya mengandalkan program operasional pemerintah semata, sehingga perlu dukungan dari berbagai pihak, untuk sama-sama menyadarkan bahwa betapa pentingnya membaca bagi pengembangan ilmu pengetahuan masyarakat. Padahal perintah membaca sudah di teladankan nabi Muhammad SAW, saat menerima wahyu pertama kali dari malaikat jibril lewat tuntunan bahasa iqra’nya.
Nah, Negara Indonesia, yang menjadi negara penganut Agama Islam terbesar di dunia, sepantasnya malu jika seandainya tidak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Bukan hanya mengenang saja yang lebih penting lagi bisa melanjutkan. Salah satunya yang perlu diperhatikan dalam rangka menggelorakan semangat membaca mengaktifkan taman baca masyarakat (TBM), yaitu dengan cara menyerap aspirasi minat dari masyarakat itu, sebab Minat termasuk faktor yang sangat begitu penting seakan pasti ada tertanam dalam jiwa setiap manusia.
Meskipun motivasi, pelayanan sudah lengkap tanpa cacat, cuman jika minat tidak ada kegiatan ingin belajar menekuni membaca pun juga tidak terlaksana. Begitu pula kedudukan peran minat dalam literasi menduduki bagian tingkat teratas, karena tanpa adanya minat hasrat seseorang seakan sukar dan malas untuk melakukan aktifitas membaca sendiri (Tarigan:1986). Dalam mengatasi masalah tersebut pengaplikasiannya bisa mencoba meliputi penggadaan buku sesuai segmentasi atau keinginan yang sesuai selera diri, sebab tidak mungkin minat masyarakat bisa didapati, jika bahan bacaan buku yang dipelajari sulit dipahami. Seperti kalau masyarakat pedesaan golongan petani puritan jangan diberikan buku tentang perindustrian, tapi carilah hal-hal yang masih berhubungan langsung dengan kehidupannya bisa memberikan bahan bacaan mengenai ilmu pertanian, pengelolaan hasil pertanian, keterampilan untuk ekonomi kreatif dan lain sebagainya. Tentu jika sudah seperti itu masyarakat otomatis akan lebih antusias lagi nantinya untuk membaca, dikarenakan bahan bacaannya dianggap masih berhubungan dengan apa yang mereka kerjakan.
Kemudian lagi yang tidak kalah penting salah satu cara menarik masyarakat untuk gemar membaca yakni cara, rayuan atau bujukan yang kita lakukan jangan sampai melanggar terhadap norma-norma tatakrama yang disepakati atau tradisi yang berkembang lestari dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sehingga nantinya bisa menggunakan perangkat organisasi setempat, entah berupa organisasi yang bergerak dilingkungan kepemudaan atau organisasi kemasyarakatan secara luas. Pelaksanaannya bisa memanfaatkan adanya kegiatan rutinan yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat. Utamanya kaum pedesaan pasti tidak terlepas dari kegiatan atau perkumpulan rutinan yang mana biasa di selenggarakan ada yang tiap pekan satu kali, sebulan satu kali dan semacamnya.
Lewat perantara perkumpulan atau kegiatan rutinan yang berlangsung tersebut, menciptakan peluang besar untuk mengumpulkan masyarakat dalam satu forum tempat, bisa diletakkan di tiap RT atau RW, yang mana nanti juga bisa menyisihkan sebagian buku untuk bahan bacaan sambil diselingi diskusi ringan sebagai bahan evaluasi sejauh mana hasil bacaan berupa pengetahuan yang bisa didapat masyarakat dari buku-buku bahan baca tersebut.
Walaupun memang banyak sekali cara untuk menumbuhkan minat baca masyarakat pedesaan, akan tetapi yang bisa dijadikan bahan observasi pertimbangan dalam setiap melakukan langkah kegiatan, bagaimana menyamankan masyarakat dengan cara yang dilakukan, tentunya tetap tidak melupakan tradisi yang sudah lama terawat. Mengembangkan minat baca lewat sebuah kompolan, yang seyogyanya sudah mulai dulu biasa dilakukan masyarakat pedesaan salah satu cara yang sangat tepat, dikarekan program kegiatan kompolan sudah ada tinggal melengkapi nya dengan buku agar memudahkan masyarakat tanpa bingung mencari bahan baca. Cara-cara semacam itu juga yang dulu pernah dilakukan Walisongo dalam menyebarkan misi dakwah islam ke bumi nusantara, menyampaikan maksud visi lewat menyerasikan dengan manfaat nilai-nilai kebudayaan untuk mencapai tujuan.
Kemudian mengenai biaya penggadaan buku selain mengandalkan bantuan pemerintah ada kalanya pemerintah desa bisa menganggarkan juga lewat dana bumdes atau dana desa yang saat ini nampaknya agak lumayan tinggi nilai nominal subsidinya. Akhirnya kalau seandainya seluruh tahapan itu dilaksanakan secara konsisten berjalan rutin berkelanjutan dengan didorong kemauan, kesemangatan serta kordinasi sulit antara seluruh pihak bersangkutan sebagaimana yang diinginkan, otomatis muncul benih kesadaran atau kebiasaan membaca dalam pribadi masyarakat. Oleh karena itu jika pelaksanaan kegiatannya sudah selesai dilakukan, maka bukan mustahil minat baca atau literasi masyarakat bisa membudaya terus berlanjut terjaga dari generasinya sampai generasi anak cucunya hingga nanti akhir masa.
Referensi:
- Layli hidayah, Ganjar Setyo Widodo, Sueb. 2019. Revitalisasi Partisipasi Masyarakat Dalam Gerakan Literasi Nasional: Studi kasus Pada Program Kampung Literasi, Vol. 3, No.1.
- Aulia Akbar. 2017. Membudayakan Literasi Dengan Program 6M Di Sekolah Dasar, Vol. 3, No. 1.
- https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media.
- Sebagian besar isi dari tulisan esai ini adalah ide atau gagasan pendapat pribadi penulis
BIODATA RINGKAS
Lanceng Sagere adalah nama pena dari Tarmidzi Ansory lahir 10 maret 1996 silam. beralamat di pedesaan asri Tlontoraja, kecamatan Pasean kabupaten Pamekasan Jawa timur, telah menyelesaikan pendidikan umum dan agamanya di ponpes Annuqayah daerah Lubangsa. Kini bergiat aktif dan menekuni dunia literasi, pernah mencicipi proses dengan sanggar Gaib, berkecipung di Komunitas literasi santri Surau (K2LS) di Ponpes Annuqayah Daerah Lubangsa, Termasuk bagian anggota dalam Pamekasan menulis, beberapa tulisannya pernah di muat di media massa baik elekronik dan lain sebagainya. Buku antologi puisi Rubaiyat januari (2020), kemudian buku menulis tanpa batas (2021) dan yang lainnya termasuk bagian ada pena tulisan sederhananya. Penulis bisa dihubungi lewat nomor telepon: 085334262756 atau surel: [email protected], Intagram (ziancoa).