Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kebudayaan masyarakatnya. Kebudayaan yang dimaksud di sini adalah budaya literasi. Dengan literasi, masyarakat mampu memecahkan masalah sehari-hari sendiri secara mandiri. Masyarakat dapat mencari informasi dan menelaahnya secara bijaksana. Dan dapat menggunakan informasi tersebut bagi orang lain.
Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. National Institute for Literacy menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Jadi literasi merupakan suatu keterampilan sesorang dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung yang akan berguna bagi pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kesadaran literasi sangat penting bagi kita semua.
Seperti yang kita ketahui bahwa ada istilah “dengan membaca kita dapat mengenal dunia” yang artinya kita bisa mengetahui semua informasi yang berkembang dalam dunia ini . Namun kenyataan yang banyak ditemui dilapangan khususnya di desa adalah banyak anak yang tidak tertarik untuk membaca buku khususnya di perpustakaan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal. Setelah diamati dan ditelusuri salah satu penyebabnya adalah minimnya tempat membaca yang menarik dan sulitnya mencari bahan bacaan atau buku yang menarik yang sesuai dengan usia anak-anak.
Bila kita mendengar kata perpustakaan maka yang sering kali terbayang dalam benak kita adalah tempat yang sepi, kusam, terkesan membosankan, tempat yang serius yang tidak boleh ada candaan dari pengunjungnya, dan buku- buku yang berjejer kusam, berdebu, buku tebal tidak ada gambarnya, suram serta hal lain yang kurang menarik hati.
Anak-anak lebih tertarik kepada gawai daripada buku. Buku yang sering mereka temui biasanya bersampul warna hitam putih, tebal dengan tulisan yang kecil-kecil serta tidak ada gambar di dalam buku. Selain itu buku yang sesuai dengan usia mereka tidak ada dan jika ada pasti jumlahnya sedikit dan kurang bervariasi. Jika anak-anak ingin membaca buku mereka harus meminjam di perpustakaan sekolah, itu pun buku-bukunya banyak yang terbitan lama, dan jenisnya hanya buku pelajaran, belum ada atua masih sedikit buku-buku dongeng dan buku cerita.
Hal inilah yang perlu kita sikapi bersama. Di beberapa Negara maju sudah terdapat perpustakaan yang menarik, dilengkapi dengan fasilitas yang modern seperti halnya di supermarket modern dan yang penting sudah tersedia bahan bacaan yang bervariasi, baru dan disusun secara menarik hati.
Di desa saya memang sudah ada perpustakaan namun itu terbatas pada perpustakaan di sekolah dasar. Anak-anak hanya bisa ke perpustakaan pada saat jam istirahat di sekolah. Namun keadaan sekarang dalam masa pandemi ini semakin menjadikan anak-anak jauh dari kegiatan membaca di perpustakaan. Terketuk hati saya untuk membangkitkan minat baca masyarakat terutama anak-anak. Kadang-kadang perasaan saya miris melihat anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain handphone. Terutama pada saat akhir-akhir ini akibat pandemi korona, semua kegiatan dipusatkan di rumah dan pembelajaran jarak jauh melalui internet.
Pendirian taman baca telah ada sejak lama. Jika merujuk pada catatan sejarah, pada 1910-an, Balai Pustaka yang dimiliki oleh kolonial memiliki tugas sebagai badan penerbit sekaligus badan sensor bahan bacaan, memprakarsai lahirnya lebih dari 1000 perpustakaan rakyat (volksbibliotheek). Salah satu alasan pendiriannya, sebagai bentuk dukungan untuk sekolah Bumiputera. Selain itu, taman baca juga bertindak sebagai wadah usaha Balai Pustaka. Di taman baca itu, hanya menjual buku terbitan Balai Pustaka. Karena itu, muncul perlawanan dari pedagang dan peminjam buku untuk mendistribusikan bahan bacaan yang lain. Buku bacaan ditulis dalam Melayu pasar, yang dinilai oleh Balai Pustaka sebagai bacaan liar.
Setelah Indonesia merdeka, di tahun 1950-an, pemerintah mulai giat mendirikan perpustakaan rakyat. Perpustakaan tersebut diberi nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Usaha pemerintah ini sebagai salah satu media untuk memberantas buta aksara yang tinggi di masyarakat. Karena politik dan pergantian rezim terjadi, akhirnya membuat program pendirian perpustakaan rakyat menjadi terbengkalai. Pada tahun 1992/1993, dekade akhir pemerintahan Soeharto melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah terbentuklah sekitar 5000 taman bacaan di berbagai daerah. Harapan hadirnya taman baca tersebut, dapat menurunkan angka buta aksara dan menggalakkan minat membaca masyarakat. Di tahun 1970-an, di samping dorongan pemerintah, hadir pula inisiatif dari masyarakat dalam menggalakkan taman bacaan. Di tahun inilah, hadir perpustakaan komunitas yang sifatnya komersial seperti persewaan buku dan komik. Berlanjut pada 1980-an mulai muncul perpustakaan komunitas non komersial yang menjadikan anak-anak sebagai fokus perhatian dari layanannya.
Disinilah terbesit hati untuk membangun rumah baca. Rumah baca yang akan dikembangkan diharapkan akan dapat membangkitkan minat baca anak terutama anak setingkat sekolah dasar. Rumah baca adalah tempat berkumpul untuk membaca, seperti perpustakaan, taman baca atau lainnya. Dalam rumah baca ini tidak hanya kegiatan membaca saja, namun banyak kegiatan yang ada yang berkaitan dengan literasi misalnya menulis, mengajar, mendongeng. Nah, tempat seperti inilah yang masih jarang kita temui di negara kita khususnya kecamatan Sawan.
Adapun tujuan dibangunnya rumah baca adalah:
1. Untuk menumbuhkan budaya literasi masyarakat khususnya anak-anak sekolah dasar
Rumah baca memang secara prinsip sama dengan perpustakaan, namun rumah baca dibuat lebih menarik, dikelola dengan lebih baik, sumber bacaan lebih sesuai dengan usia anak-anak dan pengaturan yang kreatif dan tidak membosankan. Dengan adanya rumah baca anak-anak akan menemukan buku yang sesuai dengan usia mereka sehingga akan menarik perhatian anak jadi mereka ingin membaca. Mereka juga dapat mengasah kemampuan literasi mereka dengan bertemu dengan banyak teman sehingga memotivasi anak untuk membaca lebih.
2. Masyarakat terkhusus anak-anak di desa memiliki wadah untuk bermain dan belajar
Kegiatan yang diadakan di rumah baca bukan hanya membaca saja, namun kegiatan yang meningkatkan literasi anak-anak. Mendongeng, menulis puisi, membaca puisi, bermain peran, menulis cerita pendek, bermain dan lain sebagainya.
3. Menjadi pusat informasi bagi masyarakat sekitar
Rumah baca merupakan tempat berkumpulnya mereka yang mempunyai minat yang sama yaitu khususnya membaca. Dengan begitu di rumah baca akan menjadi pusat informasi. Di sana akan terdapat informasi yang terbaru dan terpercaya.
4. Menjadi tempat pengabdian bagi masyarakat sekitar
Rumah baca tidak hanya menyediakan buku saja tapi di sana akan ada kegaiatan timbal balik antara anak-anak dan pengelola. Jika ada masyarakat yang ingin membangun literasi anak-anak bisa juga menjadi mitra atau narasumber yang mau membagikan ilmu dan pengalamannya. Sehingga secara tidak langsung mereka mengajar dan mengabdikan dirinya bagi anak-anak sekitar.
Rumah baca bisa menjadi tempat belajar dan bermain selain di sekolah. Supaya hal ini bisa terwujud maka hal-hal atau langkah-langkah yang perlu dikembangkan supaya rumah baca dapat diminati anak adalah:
1. Tempat atau sarana yang menarik
Dalam membangun rumah belajar, tempat dan bangunan serta lokasi adalah yang pertama harus dipertimbangkan. Lokasi yang strategis terutama yang banyak dilalui oleh anak-anak, tempat dan bangunan disarankan di bangun, ditata, di cat berwarna cerah sehingga menghilangkan kesan kusam dan menarik hati anak –anak.
2. Bahan bacaan lengkap dan bervariasi
Selain bangunan, hal yang tidak kalah untuk diperhatikan adalah tentu saja buku-buku bacaan. Sumber ilmu ini diharapkan bervariasi, berjumlah banyak, diutamakan yang bersampul menarik dan berwarna cerah, bacaan yang sesuai dengan usia anak-anak. Dengan sampul yang menarik atau mencolok akan menggugah semangat anak untuk membuka buku. Pertama kita usahakan supaya anak mencintai buku walau hanya dengan memegang sampulnya saja. Jika anak-anak terus diberikan buku itu maka lama kelamaan tentu mereka punya rasa ingin tahu isi buku tersebut, dengan demikian tentu mereka terus ingin membacanya.
3. Buku yang tersusun dengan menarik
Bahan bacaan yang sudah ada semestinya disusun dengan rapi dan terutama dengan menarik. Selain untuk menghemat tempat hal ini juga ditujukan untuk menarik perhatian anak-anak walaupun pada awalnya hanya sekedar untuk melihat-lihat. Tentu hal ini akan menjadi awal yang bagus.
5. Memiliki strategi yang unik
Pertama untuk memancing minat anak-anak diperlukan strategi khusus dan yang kreatif, salah satunya dengan mengundang anak-anak untuk datang ke rumah baca. Mengkondisikan suasana lingkungan fisik yang nyaman dan ramah terhadap budaya literasi. Strategi yang dapat dikembangkan antara lain:(1) memberikan reward bagi anak yang mau membaca buku, (2) membawakan buku bagi anak yang tidak sempat ke rumah baca, (3) mengadakan kegiatan lomba-lomba misalnya lomba menulis puisi pendek 10 kata, lomba membaca cepat, lomba menulis indah, lomba membaca puisi, (4) memberikan reward bagi anak yang mampu membaca 20 halaman dan dapat menceritakannya dalam 1 minggu, (5) memberikan les gratis bagi anak-anak yang mau, (6) secara berkala mendatangkan tokoh-tokoh dari berbagai macam profesi, (7) memutar movie edukasi, dengan memutar film anak-anak yang membangkitkan semangat, (8) ada program Jumat Bebas yaitu pada setiap hari Jumat anak-anak bebas untuk mengkreasikan diri atau menggali potensi diri anak dalam bidang literasi, misalnya menulis puisi, menulis cerita, membaca puisi, bercerita, mendongeng dan lain sebagainya, (9) serta tidak ketinggalan ada juga program bersih sehat yang akan dilaksanakan pada akhir minggu. Hal ini diharapkan dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
6. Memiliki strategi pengelolaan yang baik
Suatu kegiatan akan berjalan dengan baik jika dikelola dengan baik dan terencana. Pengelolaan yang dimaksud antara lain adalah pengelolaan sarana prasarana, pendanaan, sumber bacaan, dan pengelolaan program serta pengelolaan fisik rumah baca berupa penyusunan buku-buku yang menarik dan kreatif.
Kebiasaan membaca anak-anak diharapkan meningkat dengan adanya rumah baca yang dibangun dengan unik dan memiliki karakter yang berbeda dengan perpustakaan. Mereka yang mulai suka datang ke rumah baca akan sedikit demi sedikit mulai suka untuk membaca. Dengan begitu membaca akan menjadi budaya mereka. Dan itu secara tidak langsung akan meningkatkan kemampuan literasi mereka.
Kesimpulan
Minat baca masyarakat khususnya literasi anak-anak belum menjadi budaya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dengan menjadi literat yang bijaksana maka permasalahan akan sedikit berkurang. Dengan dibangunnya rumah baca ini diharapkan akan dapat menumbuhkan budaya literasi bagi masyarakat terutama anak-anak seusia sekolah dasar. Pengelolaan yang baik dan terencana sangat diperlukan. Selain itu juga diperlukan kreativitas dan program-program yang unik dan dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
BIOGRAFI SINGKAT
Nama : Made Kama Verawaty, M.Pd
Tempat dan tanggal lahir : Tinga-Tinga, 06 Oktober 1983
Domisili : Banjar Dinas Tegal, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan
Pendidikan terakhir : S2
WA : 087863030131
E-Mail : [email protected]
FB : Made Kama Verawaty
IG : Kamaverawatymade