Bilik Pustaka

Pemuda Agen Literasi di Wilayah Pedesaan

Media baru (era digital) adalah istilah yang digunakan dalam kemunculan digital (jaringan internet), khususnya teknologi informasi komputer. Media ini sering digunakan untuk menggambarkan teknologi digital. Media ini memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan atau internet. Bagi anak-anak jaman now, internet seakan-akan jadi kebutuhan primer. Mereka banyak menghabiskan waktu di depan smartphone atau komputer daripada melakukan aktivitas di luar ruangan. Mereka dapat dengan mudah mencari informasi di search engine sejenis Google tanpa harus membaca buku. Agar dapat dikenal publik, mereka dapat secara instan menjadi youtubers atau vlogger, kemudian disebarkan melalui sosial media.

Saat ini kita telah memasuki revolusi industri generasi keempat atau era industri 4.0. Era revolusi industri ini ditandai dengan kemajuan yang sangat pesat. Komputer pun semakin canggih atau disebut juga superkomputer. Telepon genggam atau handphone berkembang menjadi smartphone. Kita akan berbicara tentang zaman digital tetapi dalam konteks hanya pada dampak dari smartphone. Smartphone merupakan telepon genggam yang memiliki fitur canggih dan kemampuannya menyerupai komputer. Tak heran apabila banyak orang mengartikan smarphone sebagai komputer genggam yang memiliki fasilitas telepon. Fitur-fitur ada pada smartphone, antara lain telepon, SMS, internet, e-book viewer, aplikasi pengedit dokumen, serta game-game online dan offline.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang mengagumkan telah mengubah kehidupan manusia modern. Tak hanya mempermudah komunikasi antarmanusia di berbagai belahan bumi, teknologi komunikasi dan informasi sangat menunjang berbagai pekerjaan kita. Meski demikian, ada persoalan lain yang muncul dalam kehidupan saat ini, yakni terciptanya pribadi-pribadi yang semakin individualis dan hilangnya budaya membaca buku di kalangan masyarakat.

Pribadi yang individualis dan kurangnya minat membaca membawa dampak buruk dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat. Efeknya sangat kompleks. Perkembangan teknologi smartphone yang menciptakan pribadi individualis berdampak pada komunikasi antarpersona atau kelompok. Kehadiran smartphone telah menimbulkan krisis komunikasi sosial, terutama pada generasi muda. Wawasan yang kurang akan ilmu pengetahuan umum. Sebagai contoh: kebanyakan angkatan milinial lebih familiar dengan Youtuber Baim Wong dan Paula Verhoeven dengan aktifitas kehidupan keluarganya dan ketimbangan Sapardi Djoko Damono dengan syair-syairnya “Aku ingin” dst. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebab kebanyakan angkatan milenial baik di kota dan pedesaan menggunakan teknologi digital untuk menonton hal-hal viral. Mereka merasa lebih nyaman dengan aktifitas menonton di Youtube dibandingkan dengan membaca buku.

Tantangan Perpustakaan di Wilayah Pedesaan dalam Era Digital

Kehidupan sehari-hari kita saat ini memperlihatkan adanya krisis lemahnya minat membaca buku. Mengapa kami berani mengatakan hal ini? Pernyataan tersebut didasari sejumlah pengamatan dan pengalaman saya ditengah kaum muda, serta sharing dengan kaum muda dan juga orang tua yang prihatin terhadap perkembangan media sosial yang memanfaatkan smartphone. Melalui smartphone setiap orang diberikan kemudahan dan kenyamanan sehingga untuk mencari tugas kuliah, misalnya lebih mudah mencari melalui google daripada mencari di perpustakaan. Bahkan sering kali kaum muda melihat perpustakaan sebagai tempat yang membosankan, lebih memilih membuat akun Youtube dengan lagu-lagu Hip-hop atau rap dan cover-cover lagu lawas. Kegiatan-kegiatan di Youtube lebih menarik. Baca buku menjadi sesuatu membosankan, apalagi harus pergi ke perpustakaan.

Pada era industri 4.0 ini segala kemudahan diberikan. Kita dapat mengakses apa saja melalui smartphone. Salah satu penggunaan smartphone yang berdampak pada perpustakaan di wilayah pedesaan adalah segala jenis media sosial atau akun di dunia maya dan segala aplikasi (perangkat lunak yang didesain untuk mengerjakan tugas tertentu) yang memanjakan kita. Aplikasi yang sangat memanjakan kaum muda saat ini adalah aplikasi media sosial dan game.Media sosial sendiri pada prinsipnya baik. Media sosial diciptakan agar komunikasi menjadi lebih mudah mendapatkan informasi lebih mudah bahkan membaca e-book lebih praktis. Semua orang dapat terhubung di belahan dunia mana pun. Namun, pada kenyataannya, ide atau gagasan utama dalam menghadirkan media sosial malah berbalik.

Fenomena saat ini memperlihatkan banyak masyarakat yang lebih asyik dengan smartphone-nya atau akun di dunia maya daripada berkunjung ke perpustakan. Kaum muda nyaman dengan dunianya sendiri. Jari-jari menjadi dunia mereka. Artinya, banyak orang hanya terfokus pada smartphone. Mereka sibuk dengan segala sesuatu yang ada pada smartphone. Dengan jari-jari, setiap orang dapat mengakses apa saja dan menghibur dirinya dengan game-game terbaru. Hingga ada ungkapan “perpustakaan membosankan lebih baik bermain smartphone”. Aman sangat disayangkan bahwa orang lebih cenderung mencari kenyamanan pada smartphone dibandingka berkunjung dan membaca di perpustakaan.

Kita dapat menyaksikan ketika orang-orang mengadakan makan bersama, sekadar kumpul-kumpul, arisan keluarga, atau rekreasi bersama, sebagian besar dari mereka justru lebih sibuk dengan smartphone. Mereka berkumpul untuk makan bersama misalnya, tetapi asyik sendiri-sendiri, sehingga kebersamaan yang dimaksud tidak tercipta. Orang-orang yang berkumpul tidak menciptkan komunikasi yang intens atau setidak-tidaknya ada interaksi di antara mereka. Kebanyakan orang yang berkumpul malah lebih asyik berinteraksi dengan dunia maya daripada dunia nyata. Mereka lebih senang bermain game daripada berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Kita jarang melihat pemandangan di cafe dengan sekelompok pemuda yang asik membaca buku.

Bisa terjadi ketika orang lain tertawa atau bersedih, individu yang asyik dengan smartphone akan bereaksi yang sama, yakni tertawa atau bersedih. Sayangnya, akan kelihatan dari ekspresi bahwa tertawa atau kesedihannya tidak tulus. Ia hanya ikut-ikutan tertawa atau bersedih, tetapi tidak tahu dalam konteks apa orang-orang di sekitarnya tertawa atau bersedih. Bahkan, bisa juga terjadi orang-orang di sekitarnya tertawa terbahak-bahak atau bersedih, ia sama sekali tak peduli. Kita jarang sekali menemukan sekelompak kaum muda yang sedang nongkrong di cafe sambil minum kopi sambil juga membedah buku. Hanya terlihat minum kopi sambil bermain smartphone.

Fenomena semacam itulah yang mengakibatkan terjadinya krisis membaca bahkan bisa menjadi antisosial. Antisosial berarti smartphone dan media sosial mengakibatkan pribadi-pribadi akan lebih aktif di dunia maya. Ekstremnya, orang akan menganggap bahwa dunia maya adalah dunia nyatanya. Parahnya lagi kaum muda tutup mata dan telinga atas masalah yang terjadi disekitarnya dan cuek dengan kegiatan-kegiatan literasi

Tugas dan Peran Kita

Kaum Muda dipanggil untuk menjadi agen dalam pengembangan literasi di wilayah pedesaan yang masyarakat kini lebih mementingkan smartphone dibandingkan berkunjung ke perpustakaan dan membaca buku. Tugas kita sebagai mengajak, menghimbau dan memberikan contoh dengan mengadakan event seperti: membedah buku atau ngopi bareng sambil membaca buku. Maka untuk menunjak event seperti pemerintah desa harus terlibat. Keterlibatan pemerintah desa pada prinsipnya telah diatur di dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 2 yang mengatakan bahwa “Penyelenggaraan Pemerintah Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan Desa…”. UU ini harus terwujud dengan salah satu tindakan yakni pengembangan perpustakaan dan minta baca dikalangan masyarakat. Sebab melalui perpustakaan dan semangat literasi masyarakat dibina untuk menjadi masyarakat yang berpengetahuan dan berilmu.

Kaum muda dan pemerintah desa mesti bekerja sebagai agen, yang membebaskan, kepada semua orang di zaman ini. Pemahaman mengenai gagasan ini dari pihak pemerintah memancarkan suatu cahaya yang unik mengenai peranannya di zaman digital, yang dalam rencana penyelenggaraan dan wujud nyata, dimaksudkan untuk memegang peranan dalam memajukan perkembangan dan mempertahankan eksistensi perpustakaan di tengah industri 4.0. Kaum muda wajib memberikan teladan bahwa di era digital perpustakaan tetap menjadi tempat untuk “nongkrong” dan membaca buku.

Referensi:

  • https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-6-2014-desa?ampa
  • Semua isi dari tulisan esai ini adalah ide atau pendapat pribadi penulis

BIOGRAFI

Ignasius Yoseph Silubun, lahir di Merauke-Papua pada 19 September 1992. Asal suku Kei-Maluku Tenggara. Berdomisili di Jayapura, Papua. Status pekerjaan terlibat dalam pelayanan keagamaan di berbagai daerah di pedalaman Papua. Untuk sementara waktu menjalankan Masa Orietasi Karya (pelayanan dan pembimbingan keagamaan) di Lembaga Pendidikan calon Imam Seminari St. Yohanes Paulus II – Labuan Bajo –NTT.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *