Bilik Pustaka

Perpustakaan Desa Berbasis Multimedia, Mengapa Tidak?

Buku dianggap sebagai jendela dunia. Sebab, saat seseorang membaca buku, maka orang tersebut seolah sedang memandang dunia yang begitu luas hanya dari tempat duduk. Bertualang menjelajah dunia, lewat lembar-lembar halaman buku di tangannya.

Bagi pecinta buku yang seringkali dijuluki Si Kutu Buku, menganggap buku seperti makanan kesukaan, sangat sayang jika dibiarkan begitu saja. Maka, dengan rakusnya dia melahap buku-buku tersebut dari halaman depan hingga halaman terakhir, sampai habis tidak tersisa.

Namun ada sebagian orang yang menganggap buku layaknya obat, diminum apabila memang sedang benar-benar sakit. Padahal, membaca buku tidak harus saat ada tugas sekolah atau kuliah, bisa kapan pun dan di mana pun.

Tidak dapat dipungkiri budaya dan minat baca di negara kita masih terbilang rendah jika dibandingan dengan di negara-negara maju. Melihat kondisi ini memang tidak bisa saling menyalahkan, sebab budaya masyarakat kita selama ini lebih dikenal dengan budaya rasan-rasan, terlebih saat berkumpul bersama rekan atau teman-teman. Di warung kopi mereka akan asyik terlibat dalam obrolan tentang apa saja terutama berita yang sedang hangat-hangatnya.

Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, akan tetapi hingga ke perdesaan yang nota bene keterikatan hubungan kekerabatan antar sesama warga desa masih erat, ada banyak waktu luang yang digunakan oleh mereka untuk mengobrol.

Menumbuhkan minat baca pada seseorang tidak bisa secepat kilat, dengan mantra sakti bimsalabim abracadabra sebab membaca bukanlah pertunjukan sulap yang seketika itu bisa mengubah selembar kertas menjadi uang atau mengeluarkan seekor kelinci dari dalam topi.

Membaca ibarat orang minum jamu herbal, khasiatnya akan dirasakan apabila rutin dan teratur dalam mengonsumsinya; harus telaten dan sabar. Dalam hal ini, peran keluarga sangat penting, terutama para ibu yang memiliki waktu lebih banyak dekat dengan anak-anak.

Tidak ada salahnya mengenalkan buku bacaan pada anak sejak dini. Menjelang tidur, misalnya. Jadikan waktu sebelum tidur untuk membacakan buku dongeng pada anak-anak agar mereka bisa terangsang dan atau memiliki rasa penasaran dengan buku yang dibacakan oleh orang tuanya. Bukan asyik dengan gawai androidnya. mengunggah status atau swafoto.

Orang tua terutama ibu adalah seorang public figure bagi anak-anaknya, mereka akan merekam, mencontoh dan melakukan seperti apa yang dilakukan orang tuanya, ibarat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Pada hari Minggu atau waktu luang, ajaklah anak-anak berkunjung ke toko buku. Meski awalnya hanya sekadar melihat-lihat, lama-kelamaan akan tumbuh rasa penasaran dan timbul ketertarikan dalam diri seorang anak saat kedua matanya melihat deretan rak berisi buku-buku.

Ada satu kalimat indah yang kalau tidak salah pernah dimuat disalah satu surat kabar di tanah air, kurang lebih begini: Banyak baca banyak lupa, sedikit baca sedikit lupa, tidak baca tidak lupa. Kalimatnya terlihat sederhana, namun jika dipahami kalimat tersebut menjadi sentilan kecil bagi kita yang masih malas untuk membaca.

Betapa tidak, seseorang yang banyak membaca tentu akan memiliki simpanan informasi lebih banyak di dalam otak, begitu juga yang sesekali membaca, tentu pengetahuan yang diserap tidak banyak. Tetapi, untuk yang tidak pernah membaca, apa yang akan diingatnya? Tentu saja tidak ada, sebab dia tidak memiliki simpanan ilmu yang harus diingatnya. Jadi, bagi orang yang tidak pernah membaca bukan berarti orang yang tidak pernah lupa.

Anak-anak sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi baru akan rajin membaca apabila sedang membutuhkan, saat mencari referensi bacaan untuk menyelesaikan tugas sekolah atau kuliah, misalnya. Maka, tanpa dikomando mereka akan berbondong-bondong menuju ke perpustakaan di sekolah atau mengunjungi perpustakaan di daerah tempat tinggal mereka sekadar mencari bahan bacaan untuk melengkapi tugas yang diberikan oleh guru atau dosen.

Apakah setelah tugas dari guru atau dosen selesai dikerjakan, perpustakaan akan tetap ramai? Kalau pun ada pengunjung itu bisa dihitung dengan jari. Apalagi di era digital sekarang ini, bangunan perpustakaan seolah ibarat museum tempat menyimpan rak-rak besar berisi buku-buku. Sebab, kini buku bukan lagi satu-satunya jendela dunia. Predikat tersebut telah diambil alih oleh gawai pintar atau ada yang menyebutnya Si Setan Gepeng.

Meskipun gawai dianggap lebih mumpuni dari sebuah buku cetak, karena dapat menyimpan lebih banyak database informasi dari segala penjuru dunia, tidak bisa menggeser kedudukan buku begitu saja. Justru diharapkan antara keduanya bisa menjadi factor pendorong tumbuh kembangnya minat baca masyarakat.

Di Desa Tumiyang Kecamatan Pekuncen salah satu desa di Kabupaten Banyumas merupakan kawasan perdesaan dengan jumlah penduduk cukup padat, Laki-laki 2894 jiwa, Perempuan 2745 jiwa, total 5639 jiwa.

Desa paling timur di Kecamatan Pekuncen ini dahulu pernah memiliki Taman Bacaan Masyarakat yang kini terbengkalai. Sebab, di samping cara pengelolaannya kurang, juga minat baca rendah. Terlebih sekarang akses internet di desa mudah dengan hadirnya beberapa penyedia layanan wifi. Otomatis kecenderungan untuk berkutat di depan gawai akan jauh lebih sering dan lama dari pada harus membaca lembaran-lembaran buku. Hingga akhirnya buku yang ada hanya menjadi pajangan dalam rak kayu dan terbiarkan berdebu jadi santapan kutu buku yang sebenarnya.

Jika keadaannya seperti ini, kapan lagi sebuah buku akan disentuh, dibaca? Sementara anak-anak mereka telah terbuai ke dalam ayunan gawai pintar di tangan. Segala informasi, hiburan baik itu positif atau bahkan berita-berita hoax dengan begitu mudah diakses.

Harus ada pembaruan konsep Taman Baca Masyarakat dengan mengikuti tren kekinian, niscaya bisa kembali mendongkrak minat baca masyarakatnya.

Di halaman depan kantor Desa Tumiyang sendiri berdiri tegak sebuah menara jaringan wifi yang awalnya hanya digunakan untuk mempermudah akses informasi dalam instansi pemerintahan desa, akan tetapi pada akhirnya justru seringkali dimanfaatkan oleh anak-anak usia sekolah untuk bermain game online dari telepon selular mereka.

Saban hari setelah jam kerja kantor tutup, ada beberapa anak usia sekolah yang rutin berkunjung ke pendopo hanya ingin mendapatkan akses internet gratis dan mereka akan asyik masyuk dengan permainan dalam gawai hingga berjam-
jam bahkan ada yang sengaja bermain hingga dini hari.

Jika keadaan seperti ini dibiarkan tentu akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologis seorang anak usia sekolah. Di samping anak-anak menjadi pemalas, juga perangainya bisa berubah karena (mungkin) terpengaruh oleh tokoh-tokoh dalam game-game yang mereka mainkan. Saya pun geleng-geleng kepala melihat hal itu. Kenapa orang tuanya justru membiarkan anaknya diasuh oleh Si Setan Gepeng?

Sayang kalau jaringan internet di desa saat ini hanya dimanfaatkan untuk sebatas browsing, kirim surel saja. Padahal, jika kita terutama seluruh jajaran perangkat desa melibatkan karang taruna mau membuat inovasi dengan membuat semacam perpustakaan multimedia sepertinya jauh akan lebih menarik.

Untuk tahap awal, tidak perlu membangun gedung baru. Manfaatkan saja dahulu bangunan yang sudah ada sebelumnya. Buku-buku cetak yang selama ini hanya menjadi pajangan dalam rak, diklasifikasikan menurut jenis bacaan dan keilmuannya. Hal ini untuk mempermudah jika nanti ada orang yang ingin membaca atau meminjam buku sesuai yang dibutuhkan.

Dalam perpustakaan multimedia nanti, isinya bukan hanya buku-buku cetak tetapi juga di tambah dengan televisi atau perangkat komputer yang sudah terhubung dengan jaringan internet.

Perangkat komputer nanti bisa dimanfaatkan untuk mengakses internet gratis, tentunya situs-situs yang wajib dikunjungi adalah situs yang di dalamnya ada konten edukasinya. Sedangkan televisi bisa digunakan untuk menonton saluran National Geographic yang sering memutar film dokumenter tentang makhluk prasejarah atau dunia flora dan fauna.

Di samping itu, dalam perpustakaan desa nanti diadakan semacam event untuk para pengunjung, khususnya untuk anak-anak sekolah. Agar lebih menarik minat baca mereka, mintalah anak-anak untuk menceritakan kembali apa yang baru saja dibaca atau membuat sinopsis tentang film yang ditontonnya, lalu sebagai apresiasi berilah hadiah berupa buku bacaan atau piagam penghargaan atas usaha dan keberanian mereka.

Tidak mudah memang membangun perpustakaan dengan model seperti ini tetapi bukan tidak mungkin untuk bisa diwujudkan kalau semua pihak turut serta, baik dari perangkat desanya hingga ke karang taruna dan para tokoh masyarakat bersinergi.

Dengan demikian, perpustakaan desa berbasis multimedia diharapkan bisa kembali menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat perdesaan terutama bagi anak-anak usia sekolah. Mereka tidak lagi asyik terbuai dengan gawai yang penuh rayuan karena ada yang lebih menarik dari sekadar permainan dalam telepon pintarnya. Kapan lagi membaca buku dapat hadiah? Ya di sini tempatnya di Perpustakaan Desa Berbasis Multimedia di Desa Tumiyang Kec.Pekuncen Kab. Banyumas.

TENTANG PENULIS

Pensil Kajoe, lahir di Banyumas, 27 Januari 1983. Beberapa tulisannya sudah dimuat di berbagai media cetak maupun online di tanah air, baik berupa cerpen, puisi atau tulisan ringan lainnya. Membukukan 18 buku antologi tunggal dan lebih kurang 40 buku antologi bersama. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen: Jas Merah Milik Bapak. Laki-laki berkacamata minus berdomisili di Jl. Raya Tumiyang No. 13, Desa Tumiyang RT 01 RW 1 Kec. Pekuncen Kab. Banyumas 53164.

Saat ini, Kang Pensil adalah seorang kolumnis di majalah berbahasa Jawa, Djaka Lodang, Yogyakarta. No Hp./WA: 0856-4089-6929.

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *