Pejuang Literasi

Yang Belia, Yang Ikut Serta

“Jika budaya anda tidak menyukai orang-orang kutu buku, anda berada pada masalah yang serius.”
(Bill Gates, Pendiri Microsoft)

Sebuah kutipan dari Bill Gates itu adalah salah satu pemukul bagi Randa yang membuat tetap bertahan menjadi salah satu pengurus Sigupai Mambaco terutama untuk program BukLing (Buku Keliling). Randa, lelaki kelahiran 11 Februari 2002 itu merasa malu dan merasa tidak ada yang bisa dilakukan dengan gerakan literasi itu. Namun, ternyata Nita, sang kakak yang menjadi pendiri Sigupai Mambaco tidak menyerah untuk terus mengajaknya dan rasa ragu serta kewajiban untuk menemani kakak seperti yang diamanahkan sang ibu membuatnya terjerat, menjadi candu dan berhasil melewati berbagai pertanyaan. Awalnya, Randa sempat protes ketika Nita semangat sekali melapak buku tanpa rasa malu di Bukit Hijau, Aceh Barat Daya.

“Ngapain, sih, Kak, orang di kota ini tidak ada yang hobi membaca. Cobalah saja, sampai rambut memutih, buku yang dibawa ini tidak akan pernah dibaca.”

Keukeh, sifat itulah yang dimiliki Nita membuat Randa ikut keukeh dan ikut serta tanpa berhenti meski sesekali ia ingin menikmati hidupnya sebagai seorang belia yang masih senang pada foya-foya.

Minggu, 7 Januari 2018. Suasana pantai terlihat ramai, seorang belia bernama Randa meski masih canggung membantu menyusun buku-buku yang dibawa dari rumah bersama Nita, sang kakak.

28 januari 2018, hari itu hujan. Hanya ada Nita, Randa dan satu pengunjung. Hari itu mendung, saat jam menunjukkan pukul 17.30 WIB, hujan turun perlahan, gerimis diundang bersama orang yang terus berlalu-lalang. Ketika sedang beres-beres satu bapak berhenti untuk bertanya lapak jenis apa yang sedang kami gelar ini dan setelah diberi penjelasan dia cuma bilang, “sedikit waktu untuk membaca, sekarang pun hujan”. Kemudian dia bertanya kita buka kapan lagi dan jam berapa.

“Minggu sore, Pak, Insya Allah setiap jam 16.30 abis Ashar dan sampai sore, pak, jam 18.00 palingan.” Si Bapak langsung ngacir setelah mengucapkan terima kasih atas informasinya.

Kota Blangpidie dikenal dengan “kota dagang”, jadi tidak heran jika sikap orang yang berada di sana masih seperti 100 tahun lalu menganggap bahwa ini adalah sebuah lapak penjualan buku.

Minggu selanjutnya, Randa masih ikut bersama Nita malah sekarang Randa menjadi lebih bersemangat. Baru jam 15.00 WIB ia sudah bertanya apakah hari ini akan melapak buku. Peristiwa melapak kali inilah yang ternyata menjadi salah satu motivasi untuk Randa terus ikut dalam kegiatan BukLing (Buku Keliling) Sigupai Mambaco. Minggu itu, masih menggunakan motor, tikar dan dua tote bag berisi buku serta keranjang mamak yang dibajak untuk difungsikan sebagai rak sudah siap berangkat. Randa mengatur buku sebagaimana biasa lalu duduk mengambil sebuah buku, membaca sembari menunggu orang-orang yang berkunjung.

“Bang, berapa buku ini dijual?” seorang anak kecil berumur kira-kira 7 tujuh tahun membuyarkan konsentrasi Randa.

“Tidak dijual, Dik, ini untuk dibaca gratis.”

“Boleh duduk di sini?” si anak tersebut menunjukkan tikar, Randa mengangguk.

Jika perjalanan sebelumnya hanya bertemu dengan tiga anak hits yang numpang foto di lapak maka kali ini lebih masuk akal, ada yang membaca. Ketika matahari semakin condong ke barat dan semua pembaca selesai mengembalikan buku, Randa ikut membereskan lapak buku. Sebelum pulang, si anak yang bertanya tadi menghampiri Randa dan menyalaminya.

“Bang, terima kasih, ya, sudah datang membawa buku lagi hari ini. Alhamdulillah, saya sudah selesai membaca buku yang sejak dua minggu lalu saya baca. Bukunya bagus sekali.”

Percapakan ini bahkan bertahan beberapa tahun kemudian. Setiap Minggu, setelah Minggu itu, meski masih bertanya kenapa ikut terlibat, Randa tetap ikut serta membawa buku keliling. Pemikiran untuk ikut sederhana ingin mengetahui apa yang kakaknya kerjakan seberes wisuda, Randa ingin menjadi support sistem bagi satu-satunya kakak perempuan yang ia miliki.

Waktu berjalan, memasuki bulan ketiga dari aktivitas melapak buku ini, Randa tetap ikutan dan semakin mahir menyusun buku, mengajak orang singgah ke lapak. Hari itu mendung, sebetulnya malas sekali mau ikut ke pantai namun karena sang kakak terus memaksa akhirnya berangkat juga.

“Bang, buku yang judulnya dongeng tanaman di mana ya?” tanya seorang anak yang sudah beberapa minggu terakhir terus dating.

“Tidak tau, Dik, abang bantu cari?” tawarnya.

“Boleh, Bang, yang ada tanaman dengan gigi tajam di depannya, ya!”

Randa membantu si anak mencari buku yang dicari dan ketika ditemukan, mata si anak berbinar-binar, ia tertawa karena senang.

“Bang, Makasih banyak, ya. Saya mau menyelasaikan bacaan buku ini.”

Hanya menggelar buku di atas tikar, beberapa pengunjung pantai salah paham dan bertanya, “Berapa buku ini dijual?”

Memang akhirnya nama “Sigupai Mambaco” itu semakin ramai dan dikenal meskipun sematan “penjual buku” bertahan selama tiga bulan lamanya. Namun, Randa merasa sangat senang. Ketika pulang dia bercerita pada Nita dan Ibunya perihal si anak tersebut.

“Kak, ternyata saya bermanfaat juga, ya, untuk orang padahal di sekolah saya rangking terakhir, duduk di belakang dan dikenal bandel karena sering bolos.”

“Semua orang pasti diciptakan dengan manfaat, Allah tidak akan salah memilih amanah, kalau dipilih jadi manusia atau nyamuk pasti ada manfaatnya. Namun, lagi-lagi tergantung kita mau bermanfaat atau gimana, itu juga pilihan.”

Randa sudah memutuskan, meski dirinya sangat belia dan tidak ada orang yang seusianya mengeluti masalah literasi di kabupaten ini, dia tidak menyerah. Ketika ditanya pendapat tentang lapak baca itu, ia sering menjawab, “Kadang bosan karena kerjaannya sama setiap minggu, atur buku, bereskan, pulang. Begitu terus. Namun, sudah kewajiban dan ini sudah jadi tugas saya,” Randa berharap Sigupai Mambaco terus ada, jumlah buku bertambah, dan juga jumlah pembaca.

Randa, memutuskan berkiprah di Sigupai Mambaco. Yang menurut pendirinya, “Sigupai” berarti icon padi yang ada di Aceh Barat Daya dan menjadi gelar Kabupaten Aceh Barat Daya. Sedangkan “Mambaco” berasal dari bahasa Aneuk Jamee, bahasa salah satu suku di Aceh Barat Daya yang menjadi lingkungan tempat tinggal pengurus, yang berarti membaca. Jadi, secara harfiah Sigupai Mambaco berarti “Aceh Barat Daya membaca”.

Pejuang Awal

Ketika menjalankan Sigupai Mambaco di awal-awal, Randa ikut mengajak teman yang punya buku untuk taruh buku di Sigupai Mambaco terutama buku anak-anak. Kegiatan ini terus berlanjut setiap Minggu sore. Di luar dugaan, banyak pengunjung yang mampir dan membaca buku di sana. Malah, ada yang kemudian menyumbangkan buku mereka untuk dibaca oleh orang banyak, bukan cuma dipinjamkan tapi diberikan sebagai donasi.

Seiring berjalannya waktu, Lapak Buku Keliling pindah ke pinggir pantai, tepatnya di Dermaga Susoh. Hal ini karena kami menduga bahwa orang yang datang ke sana lebih ramai dari pada tempat wisata yang dikunjungi sebelumnya. Benar saja, pengunjung yang antusias membaca buku pun lebih banyak. Pekerjaan Randa sedikit bertambah untuk memegang buku dengan motor lebih merepotkan.

Sigupai Mambaco seolah menjadi Magnet rezeki yang tidak disangka-sangka, ketika Nita mendapatkan project bersama Ruang berbagi Ilmu dan Pijar Ilmu Astra Asuransi untuk pelatihan guru di kabupaten, ternyata Pijar Ilmu Astra juga ada pengembangan perpustakaan di daerah. Saat itu, Nita mengajukan tiga perpustakaan namun ternyata Sigupai Mambaco yang baru jalan tiga bulan lebih dan cukup aktif dipostingan sosial media sehingga bisa dilihat rekam jejaknya terpilih sebagai salah satu penerima program Pijar Ilmu bersama beberapa wilayah lain di Indonesia.

Ketika pengembangan itu, tepatnya pada bulan April 2018, Sigupai Mambaco yang bekerja sama dalam proyek Pijar Ilmu Astra Asuransi dan mendapatkan tambahan fasilitas berupa becak dengan rak bukunya.
Saat ada becak inilah awal perjuangan Randa sebagai penggiat literasi yang masih kelas sebelas di SMA 1 Blangpidie dimulai.

Melibatkan Teman-Teman

Awal Mei 2018, Nita sudah mulai banyak pekerjaan. Belum lagi bentuk Sigupai Mambaco sekarang sudah menjadi becak, tidak mungkin Nita yang membawa becak untuk berkeliling membawa buku-buku. Nita selalu berdiskusi dengan Randa, akan ke mana dan akan membuat apa.

April sudah berjalan dua minggu, Randa merasa sudah cukup mampu tanpa dibantu oleh Nita. Ia mengemukan niatnya untuk melapak buku ke dermaga susoh sendirian atau mengajak teman. Tantangannya dimulai, tidak mudah mengajakteman tanpa dibayar. Awalnya Randa meminta kepada ibu dan Nita untuk membawakan jajanan atau minuman agar ada teman yang betah menemani melapak. Nah, ada satu teman yang setia menemani selama tiga bulan, jika tidak ada teman ditemani oleh Nita. Nita juga tidak serta merta tidak ikut, hanya saja lebih sering libur, Randa mandiri.

“Jika ditanya takut atau tidak, malu atau tidak sebetulnya, iya. Tapi, Kak Nita sudah memulai maka saya yang belia harus ikut serta. Kata Kak Nita, saya ini telat memulai sedangkan kamu masih belia, kenapa pula berhenti? Bukannya lebih baik muda dari pada tua tapi belum punya arti?” kata Randa ketika diundang podcast bercerita pada yang bertanya.

Randa memang jago dalam melibatkan temannya. Ada sekitar 7 orang teman yang pada akhirnya menjadi fasilitator Sigupai Mambaco secara bergantian membawa becak, mengangkat buku dan mendokumentasikan kegiatan Sigupai Mambaco. Anak-anak muda yang setara SMA mulai melirik Sigupai Mambaco dengan adanya Randa. Ia tidak sering tampil untuk ikut berbagai kegiatan namun ia adalah pejuang dalam diam dan terus bergerak, jiwa relawan dan low profilnya tidak bisa ditawar-tawar.

“Dik, mau, ya, diwawancara sama koran online dan perpustakaan wilayah,” ujar Nita ketika kegiatan sudah jalan hampir setahun. Randa menolak awalnya, ia tidak suka diliput, masih takut berbicara di depan, tidak senang dengan banyak orang. Namun akhirnya ia mau, hanya sepotong dua potong kata saja, selebihnya tidak ingin berkomentar.

Menjadi Ketua BukLing (Buku Keliling)

November 2018, sepenuhnya Buku Keliling diserahkan kepada Randa karena Nita bekerja di Muara Enim, Sumatera selatan. Randa adalah pilot dari BukLing (Buku Keliling), membawa kemana-mana, berkoordinasi, mempengaruhi teman untuk datang dan menemani. Sesekali harus sendirian, sesekali harus menerima tidak ada pembaca sama sekali meskipun sudah standby di tempat hingga matahari terbenam.

Tetap konsisten membuka lapak di tempat yang sama setiap minggunya. Tidak ada publish memang tapi Randa dan kawan-kawan. Meski awalnya sempat mengeluh, “Kak, kata kawan kami untuk apa buka membaca itu ga ada yang datang”. Yang awalnya malu, gengsi karena dianggap kurang hits tapi hari ini? Jawaban mereka, “masih sanggup, kak, buka lapak setiap minggu”.

Saat seumuran mereka jalan sore minggu ke pantai, hanya sekedar jalan? Randa berhasil mengajak kawan-kawan untuk ikut ide gila Nita membuka lapak buku di pantai dan ketika Nita menyerahkan sepenuhnya lapak baca bernama Sigupai Mambaco ini pada Randa, itu tetap berjalan dengan baik. Anak-anak muda yang keciprak perjalanan jauh dari rumah oleh Nita, perjalanan setelah berjumpa dengan orang keren di Pustaka Ransel, jelas secara umur Nita pribadi tidak secepat mereka sadar bahwa ada hal sederhana yang begitu positif untuk dibuat sebagai wujud ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sore ini dalam keadaan mendung dan gerimis turun kecil-kecil mereka tetap buka meski tidak sampai matahari tenggelam karena tidak ada juga yang baca saat hujan kemudian turun lebat. Namun, Randa sudah memutuskan menjadi pilot untuk buku keliling.

Ketika Jadi Taman Baca Masyarakat

Pada Desember 2018, untuk pertama sekali Sigupai Mambaco tidak hanya menggelar buku di pantai atau berkeliling kampung untuk membawa buku namun membuka di rumah pengurus. Anak-anak yang antusias ramai berkunjung, anak-anak yang datang pulang, datang pulang itu membuat Randa gamang juga. Ia mengungkapkan perasaan pada Nita soal ketidakmampuan bergaul dengan anak-anak.

Pada akhirnya, sepanjang liburan Desember 2018, setelah diskusi dengan pengurus lainnya, Sigupai Mambaco buka setiap hari jam 08.00 WIB-18.00 WIB di depan rumah. Anak-anak bebas memilih lokasinya masing-masing, Randa hanya mengarahkan mereka agar tidak memanjat pohon jambu yang didepan rumah, agar tidak terjadi kecelakaan tunggal, selain itu sesekali berbincang dengan beberapa anak yang berkunjung. Sebetulnya, konsep yang diusung hanya meletakkan buku di depan rumah untuk dibaca.

Ketika ada program bercerita kembali hasil bacaan, Randa sering tidak ikutan karena yang bercerita kebayakan anak perempuan, sesekali ikut menyimak hasil bacaan anak-anak. Setelah itu, untuk beberapa program lain seperti lomba mewarnai, lomba menulis surat, dan Minggu Inspirasi yang diisi oleh para sukarelawan yang intinya untuk minat anak-anak untuk terus berkunjung ke Sigupai Mambaco, Randa hanya membantu-bantu saja.

Waktu terus berjalan. Kegiatan yang awalnya membawa buku dengan motoran dan becak, akhirnya menetap di rumah yang terletak di Desa Tangah Rawa, Randa posting di status WA saja, jarang sekali di media sosial karena media sosial lebih banyak digunakan untuk games dan kepentingan lain, ia merasa tidak pantas diri memposting hal baik yang dikerjakan.

“Nggak apa-apa, Dik, posting saja.”

“Malu!”

Namun, keheningan adalah cara kerja Randa, ia masih terus bekerja. Ketika Nita bekerja di luar daerah, Randa masih rajin mengelola Sigupai Mambaco. Pasalnya, Nita yang sudah menjadi sarjana seringnya mendapatkan pekerjaan di luar daerah, namun Randa sudah berkomitmen, sekalipun tanpa Nita, Sigupai Mambaco harus tetap jalan, karena ini milik bersama dan tujuannya adalah untuk masyarakat. Randa mengurusi Sigupai Mambaco hingga lulus SMA dan saat itu posisi Nita sedang bekerja di Kota Malang, Jawa Timur.

Mempengaruhi Ibu dan Ayah

Ketika akan berangkat kuliah ke Banda Aceh, Nita sempat khawatir jika Sigupai Mambaco akan tamat riwayatnya. Randa berusaha mencari teman yang bisa melanjutkan. Namun, pernah ada kejadian saat berkunjung ke sekolah, buku hilang mencapai 50 buah karena fasilitator lupa memeriksa buku-buku. Randa mendiskusikan hal ini dengan Ibu dan Ayah dan Nita dengan jarak jauh. Mengejutkan memang, Ibu dan Ayah membawa Sigupai Mambaco pada hari Minggu ke Dermaga Susoh. Selain itu, Kakek dan Nenek yang biasanya membuka atau menutup Sigupai Mambaco, saat buka di rumah, jika Ayah dan Ibu tidak bisa membawa Sigupai Mambaco ke Pantai karena hari hujan atau ada kendala lainnya. Support sistem inilah sebetulnya yang membuat Randa tidak pernah menyerah untuk terus belajar bersama Sigupai Mambaco.

Terus Bekerja

Randa, dalam kondisi diam terus bekerja. Ternyata terus bekerja itu menjadi sebuah usaha yang terus mengetuk pintu langit. Sekalipun swadaya namun harus terus menebarkan manfaat. Pertama sekali dengan Sigupai Mambaco Randa berangkat untuk pelatihan di Banda Aceh melalui Dinas BP PAUD Aceh. Pertama sekali juga, Randa harus berkoordinasi dengan dinas pendidikan untuk urusan Sigupai Mambaco karena Nita juga sedang berada di luar daerah. Randa akhirnya menjadi satu-satunya peserta termuda dari semua penggiat TBM se-Provinsi Aceh.

Randa masih seperti dirinya meski Sigupai Mambaco sudah berjalan beberapa tahun, tetap bekerja tapi tidak mau di-publish, tetap belia yang ikut serta.

Selama pandemi Covid-19, Sigupai Mambaco ikut ambil andil pada beberapa program, namun untuk urusan virtual melalui instagram live, seperti: Bincang Asyik (BiSik) dan program Review Mahota Buku (MaBuk), bahkan melaksanakan Festival Seni Sigupai Mambaco melalui daring, Randa tetap tidak ingin terlibat karena ini bentuknya adalah memperlihatkan diri, ia lebih sedang berkerja dalam diam dengan keheningan.

Suatu waktu, ada undangan untuk mengisi podcast. Awalnya diberitahukan jika itu hanya suara dan Randa harus terlibat. Kejadian itu sekitar November 2020, Nita tidak mungkin pergi sendirian sebab malam hari. Randa bersama Nita mengisi podcast yang ternyata jadinya video bukan hanya suara. Kalang kabut waktu itu Randa tapi karena sudah terlanjur akhirnya ia ikut serta.
Podcast itu satu-satunya yang Randa ungkapkan perasaan dan kenapa sejak belia ia terus terlibat pada kegiatan Sigupai Mambaco. Ketika tulisan ini ditulis, harus meminta ijin sebanyak 10 kali baru kemudian diijinkan untuk ditulis tentu dengan syarat dan ketentuan berlaku hehehe.

“Malu, Kak, nanti kawan-kawan mengolok-ngolok Randa. Kakak tau sendiri kalau Randa ini bandel, anak kursi belakang, tidak punya prestasi sekarang di Kampus juga semester satu sudah jadi tukang demo.”
Pertemanan Randa memang lingkaran begitu, anak-anak muda yang dianggap tidak hits ketika mengurusi masalah-masalah yang tidak bisa mendongkrak nilai pergaulan dengan cara mereka. Lingkungan yang menertawakan kutu buku. Randa kira ini masalah, ia harus masuk dalam teman-teman yang masih mau diajak untuk peduli, untuk ikut bekerja saat masih belia dan dalam diam.

Biodata Tokoh Cerita

Randa Zahrial adalah tokoh literasi yang lahir di Desa Tangah Rawa Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Anak ketiga dari 3 bersaudara ini berdomisili di Desa Tangah Rawa Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Pendidikan Terakhir SMA dan hanya melanjutkan kuliah hingga semester 2. Selanjutnya, belum melanjutkan kuliah lagi karena belum mempunyai biaya. Pengalaman berorganisasi : BEM Kampus Unida Banda Aceh 2019 sebagai anggota.

Prestasi : memenangkan Lomba Rapai Geleng bersama Tim yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya.

WA : 085212602710 (WA),

FB : Randa Zahrial, dan IG: randa_Zahrial.

Biodata Penulis

Nama : Nita Juniarti
Tempat dan tanggal lahir : Desa Tangah, 09 Juni 1993
Domisili : Desa Tangah Rawa Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya, Aceh
Pendidikan terakhir : S1 Sejarah Kebudayaan Islam

Pengalaman organisasi/jabatan :
Sigupai Mambaco/Ketua
2014-2018 : Sekretaris Komunitas Aceh Let’s Do it Pustaka Ransel
2018 : Koordinator Kelas Inspirasi Aceh Barat Daya
Ketua Panitia Lokal Ruang berbagi ilmu kolaborasi Pijar Ilmu Astra Asuransi dalam pelatihan guru di Aceh Barat Daya
Ketua Panitia Lokal Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) ABDYA
2019 : Koordinator Olimpiade Sains Kuark untuk OSK Center ABDYA Sekretaris pelatihan untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru SD dan SMP Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) dari K3S se Aceh Barat Daya
Relawan Pengajar Kelas Inspirasi Malang 7 Provinsi Jawa Timur
2020 : Relawan Pengajar Kelas Inspirasi Lumajang 6 Provinsi Jatim

Karya/prestasi selama ada sigupai mambaco :

  • Penerima Kado Tahun baru BIP 2019
  • Pemenang Beki Bagi-Bagi Buku dari Toleransi.id
  • Pemenang Lomba Foto Kreatif Literasi 2019 dari Kompas Gramedia
  • Pemenang 10 Karya terbaik lomba Menulis kisah Inspiratif perpustakaan desa
  • Salah satu dari 18 Fp Muda pertamina Foundation dengan project sosial Sigupai Mambaco
  • Pemenang lomba menulis bulan bahasa di Perpustakaan Bergerak Indonesia

WA : 085260069856
E-Maill : [email protected]
FB : Nita Juniarti
IG : Nitajuniarti_

 

Related Posts

30 thoughts on “Yang Belia, Yang Ikut Serta

  1. Azmi berkata:

    Semangat anak-anakku

  2. Nasruddinoos berkata:

    Luar biasa gerakan membaca yang dibangun ini, semoga terus bergerak dan tetap bergerak. Salam literasi

  3. Fendi Daroesman berkata:

    Gerakan sadar literasi adalaah gerakan nyata mencerdaskan anak bangsa. sukses terus untuk Nita dan anak-anak muda lainnya.

  4. Hamba Allah berkata:

    Mantap

  5. Fadhallah berkata:

    Luar biasa

  6. Rahmiana Rahman berkata:

    Mantappp smngtttt

  7. hain berkata:

    maasyaa Allah… optimisme dan ketulusan jd penghapus berjuta keraguan dan berbuah kemajuan dan keberlanjutan. Semoga Allah jaga mimpi-mimpi para penggerak literasi yang selalu menginspirasi <3

  8. Brivat berkata:

    Ini yang namanya gerakan perubahan yang jarang dilakukan orang. Gerakan Sigupai Membaco sangat inspiratif dan patut menjadi rul model untuk memupuk minat sejak usi dini. Selamat dan terus sukses

  9. firdaus Sudirman berkata:

    semangat terus para pejuang literasi, semangat mencerdaskan generasi masa depan.

  10. Syuk berkata:

    MasyaAllah semoga terus jaya

  11. firdaus Sudirman berkata:

    semangat mencerdaskan generasi masa depan.

  12. Rika berkata:

    Semangat terus ka nitaa… Best… Untuk negeri…

  13. Maslikhatul Izza berkata:

    tetap semangat mbak nita sukses terus

  14. Maslikhatul Izza berkata:

    alhamdulillah, semangat mbak nita sukses terus

  15. Habibi berkata:

    Jaya terus kak nitaa

  16. Irma Yunita berkata:

    BarakALLAH Nitaa.. sukses terus yaa 😊

  17. Geovanni berkata:

    kerennn, sukses terus nittt!

  18. Murida Yunailis berkata:

    Tulisan yg sangat bagus🖒
    Maaanteeeeps

  19. Muhammad Yasal berkata:

    Bagi org ini biasa saja. InsyaAllah ini akan menjadi gerakan yg luar biasa dan bermanfaat utk org banyak 🙏

  20. Nisfia Ranti berkata:

    Barakallah kak nita, best,,

  21. Bangjack berkata:

    Mantap…. Tetap lanjutkan dan terus berbagi manfaat bagi semua..

  22. Zuhri Noviandi berkata:

    Jujur. Sangat menginspirasi sekali kisah dibalik tulisan ini. Terimakasih kepada penulis sudah mau berbagi cerita ini dalam lewat tulisan

  23. Wawan berkata:

    Tetap semangat

  24. Rosmaniar berkata:

    Barakallah kak Nita, semoga Allah berkahi kehidupan kakak, tetap semangat sukses terus.

  25. Zulfitra AJ berkata:

    Mantap Dek Nita… Terus berkarya… InsyaAllah ilmunya berkah…

  26. Nony berkata:

    Keren…
    Semangat…semangat….

  27. Sanusi Ismail berkata:

    “Yang belia, yang ikut serta” sungguh suatu kisah yang menarik dan menjadi contoh dari model sederhana yang dilakukan oleh remaja dalam ikut serta mencerdaskan anak bangsanya. Keteladanan dan kepeloporan seperti ini adalah langka tetapi ada dan hadir di antara kita. Semoga terus dapat berkiprah. Sukses selalu…

  28. Debi Friado berkata:

    Luar biasa Abdya Mambaco,semoga terlahir anak2 abdya yg suka membaca. . .

  29. User berkata:

    Masya Allah… Bagus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *