Bilik Pustaka

Kesadaran Literasi dan Manfaatnya Bagi Masayarakat Kampung

Pendahuluan

Sejatinya, pembangunan yang sesungguhnya adalah membangun manusia yang cerdas, kritis, bijaksana dan tawakal. Mengapa kesadaran literasi begitu penting dan bermanfaat bagi masyarakat kampung? Pada dasarnya kesadaran literasi menghasilkan dampak yang baik bagi kehidupan. Tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan literasi menghasilkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, bijak dan tawakal. Paham inilah yang perlu ditanamkan di dalam pikiran masyarakat kampung atau pedesaan, agar kesadaran literasi bisa menjadi suatu budaya di kalangan mereka.

Bahwa kesadaran literasi tidak akan membawa kerugian sedikit pun, oleh karena itu dapat digunakan dalam meningkatkan taraf kehidupan yang jauh lebih baik dan mulia. Sebab membangun kehidupan manusia (mental dan perilaku hidupnya) jauh lebih mulia daripada sekadar membangun infrastruktur yang kadang dilihat dan dinilai sebagai sebuah kemajuan, tetapi banyak mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Pada sisi lain, mendengar kata kampung atau desa, pikiran kita langsung menerawang kepada suatu gambaran kehidupan masyarakat yang kurang mengalami kemajuan seperti di perkotaan. Kampung sering identik dengan ketertinggalan atau keterbelakangan. Hal ini senada dengan ungkapan B. Setiawan dalam bukunya yang berjudul “Kampung Kota dan Kota Kampung”. Ia menerangkan bahwa “istilah kampung seringkali dipakai untuk menjelaskan dikotomi antara kota dan desa. Kota diartikan dengan modernitas/kemajuan dan desa atau kampung diartikan dengan keterbelakangan, ketidakmajuan dan bahkan segala hal yang memalukan” (B. Setiawan, 2010 : 11). Dalam arti ini, paham demikian bisa benar jika pedesaan disandingkan dengan perkotaan mengenai hal infrastruktur, akan tetapi dalam hal kemajuan perilaku akhlak, masyarakat kampung bisa jadi jauh di atas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.

Demi mendukung agar semakin meningkatnya perilaku akhlak mulia dalam masyarakat kampung, maka kesadaran literasi menjadi langkah yang dapat ditempuh dengan mudah oleh mereka. Sikap dasar yang perlu dibangun adalah keterbukaan dan kemauan untuk memulai membudayakan kesadaran literasi di dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya kebiasaan literasi di masyarakat kampung, kelak amat membantu masyarakat kampung itu sendiri agar bijak dalam memaknai kehidupan yang sesungguhnya, bahwa kehidupan di kampung halaman pada dasarnya adalah kehidupan yang baik dan layak untuk dijalani. Bahwa tidak selamanya kemajuan/modernitas di perkotaan selalu membawa dampak yang baik bagi kehidupan manusia secara umum. Dalam artian ini, budaya literasi akan memampukan masyarakat kampung agar semakin kritis dalam menilai serta menentukan kebijakan, dan pada saat yang sama mampu membangun kehidupan kampung halaman yang semakin baik. Kampung yang menjadi tempat kelahiran dan yang telah membesarkan mereka. Kesadaran literasi akan membangun kecintaan masyarakat pada kampung halamannya sendiri.

Pembahasan

Membangun kehidupan masyarakat kampung melalui kesadaran literasi, sejatinya bertujuan mendidik dan membina masyarakat kampung agar semakin mampu melihat dan memaknai kehidupannya di kampung halaman sendiri, sebagai kehidupan yang juga dapat menjadi sumber kemajuan dalam berbagai aspek seperti: sosial kemasyarakatan, religi, pendidikan dan ekonomi.

Sebagai langkah awal, kepada masyarakat kampung perlu dijelaskan sejumlah manfaat dari kebiasan literasi. Seperti yang kita ketahui, bahwa manfaat literasi amat membatu setiap pribadi manusia dalam menata kehidupannya agar semakin baik dan bijak.

Sejumlah hal yang bisa kita jelaskan terkait manfaat literasi ini seperti:

  1. Melatih kemampuan berfikir dan menganalisa.
  2. Meningkatkan fokus dan konsentrasi seseorang.
  3. Menambah wawasan dan informasi baru.
  4. Menambah kosa kata.
  5. Kritis dalam menangkap sejumlah informasi.
  6. Dapat menulis dengan mudah, baik dan benar.

Informasi positif seperti ini, tentu akan merangsang daya tarik masyarakat kampung untuk mau mencoba dan membiasakan diri melakukan kegiatan literasi. Selain itu, tokoh-tokoh hebat yang memperoleh banyak penghargaan karena ketekunan dalam bidang literasi perlu diperkenalkan sepak terjang kehidupannya kepada masyarakat kampung, agar mereka juga termotivasi menjadi orang-orang hebat seperti tokoh-tokoh tersebut. Majalah tempo pernah mengakat salah seorang tokoh berusia 60 tahun kala itu, Ryantori yang mendapat penghargaan dari MURI karena menemukan abjad Lantin Ryantori yang dianggap konsisten antara menulis, mengeja dan membaca. Selian itu, ada pula 8 prestasi dunia atas buku pertama yang dicetak dengan abjad Ryantori (TEMPO, 2013).

Literasi sebagai Jembatan Bagi Masyarakat Kampung untuk Mengenal Dunia

Sebuah pepatah mengatakan, “buku adalah jendela dunia”. Masyarakat kampung yang walaupun tinggal di pedesaan dapat melihat dan mengenal dunia luar dengan kegiatan literasi. Dari buku, majalah, koran atau berbagai bentuk sarana bacaan, masyarakat kampung dapat berkelana melihat dunia luar, dunia yang lebih luas lagi dari kampung yang mereka tempati hidup dan tinggal. Melalui kegiatan literasi ini, wawasan masyarakat kampung akan dunia yang lebih luas semakin terbuka lebar. Dengan demikian, sejumlah informasi dan pengetahuan akan dunia luar (khususnya sejumlah kemajuan dalam bidang kehidupan) dapat membuka pola pikir masyarakat kampung dalam mengambil kebijakan serta menentukan suatu cara hidup yang semakin baik dari hari ke hari. Dengan demikian cap-cap seperti: tertinggal dan terbelakang tidak lagi menjadi suatu bentuk atau semacam “penghinaan” kepada masyarakat yang hidup di kampung atau pedesaan. Karena sekalipun mereka tinggal di kampung, tetapi toh mereka tidak ketinggalan dalam mengikuti perkembangan dan kemajuan dunia, karena perkembangan dan kemajuan yang sesungguhnya adalah pola pikir, mental dan perilaku manusia yang mampu memandang kehidupannya secara realistis dan pada saat yang sama mengambil langkah dalam menentukan sikap hidup berdasarkan nilai-nilai yang berlaku.

“Buku adalah jendela ilmu yang akan membuka cakrawala kehidupan manusia.” Setiap manusia tentu berhak untuk menikmati kehidupan di dalam dunia ini. Salah satu cara untuk bisa menikmati kehidupan ini adalah menggunakan nalar imajinasi. Nalar ini bisa diterapkan dalam kegiatan literasi yang mana dapat melampaui kegiatan sehari-hari masyarakat kampung. Artinya bahwa, masyarakat kampung yang mungkin hidupnya hanya berputar di sekitar sawah, kebun, hutan dan pasar, bisa melampaui realitas itu dengan cara meluangkan waktu untuk “mengintip” dunia luar lewat kegiatan literasi ringan misalnya seperti melihat gambar-gambar pada buku, dengan keterangannya, ataukah membaca bacaan yang disukai dan dianggap penting dan perlu.

Kesadaran literasi adalah salah satu cara yang paling mudah dalam menghibur atau menikmati hidup di kala pekerjaan terasa berat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menuangkan pahit-manisnya pengalaman hidup hari-hari dalam bentuk tulisan. Menuangkan ungkapan hati dalam bentuk tulisan adalah sebuah cara menghibur dan sekaligus menikmati hidup. Selain itu pengalaman yang demikian, sewaktu-waktu dapat dikenang karena telah diabadikan dalam sebuah tulisan. Dengan tulisan, masyarakat kampung juga dapat mewariskan sejumlah nilai-nilai luhur yang mereka hidupi kepada anak-anak cucu mereka yang lahir kemudian. Generasi-generasi yang lahir kemudian tentu akan merasa bangga memiliki para pendahulu yang memiliki kesadaran akan pentingnya literasi, sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai yang pernah dihidupi oleh para leluhur mereka.

“Arus globalisasi juga mengalir begitu cepat sampai di kampung-kampung, mengakibatkan setiap manusia ibaratnya dipaksa untuk berenang mengarungi lautan yang bebas. Kalau tidak mengenakan baju renang yang cocok, maka mustahil akan ditelan ombak yang besar. Karena itu, perlu persiapan atau katakanlah startegi menghadapi dampak globalisasi” (Sulastomo, 2003; 236). Realitas tersebut memperhadapkan masyarakat kampung dengan situasi dunia yang amat luas ini. Bahwa sekalipun mereka mungkin merasa jauh dari perkembangan kemajuan dunia luar, akan tetapi arus globalisasi tentu membawa dampak bagi kehidupan mereka. Arus globalisasi ini bisa jadi meruntuhkan nilai-nilai kehidupan yang sudah dibangun dengan sangat kuat sejak dari dulu kala.

F. Budi Hardiman, dalam bukunya Heidegger Dan Mistikus Keseharian, memperlihatkan pengaruh arus globalisasi tersebut. Ia mengatakan bahwa “di tengah-tengah kebisingan kehidupan globalisasi, informasi dan ekonomi pasar pada dunia masa kini, keseharian yang hiruk pikuk telah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang. Sikap mendewa-dewakan tubuh, pertarungan kapital yang tidak sehat, mengutamakan karier dan kekuasaan telah mengubur kecemasan eksistensial orang kebanyakan, dalam timbunan kesibukan.

“Ke manakah Allah? Tanya Nietszche. “Kita sudah membunuhnya, kalian dan aku. Kita semua pembunuh.” Kondisi modern telah menanduskan kehidupan ilahi. Akankah orang tidak lagi terbuka pada dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari? Telah hilangkah yang mistis? (F. Budi Hardiman, 2003 : 1).

Miris bahwa nilai-nilai yang pada dasarnya dapat mempersatukan manusia dengan sesamanya serta alam yang menjadi tempat hidup dan tinggal, seakan mau “dilenyapkan” hanya karena arus globalisasi yang sebenarnya masih bisa dikritisi dan tidak wajib untuk diikuti secara penuh. Bukan tidak mungkin bahwa nilai-nilai Ketuhanan yang begitu kuat ditanamkan di dalam kehidupan masyarakat kampung, bisa hilang apabila pengaruh globalisasi terus-menerus menerjang kehidupan mereka, dan tanpa perlu disaring lagi mengadopsi sejumlah hal yang ditawarkan kepada mereka.

Seperti halnya di Eropa dewasa ini, perintah “jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan” telah menjadi suatu paradoks bagi banyak orang. Dalam diri mereka ada sikap keragu-raguan terhadap Tuhan. Karena diseret dalam perdebatan filosofis dan teologis yang begitu lama, sebutan atau nama Tuhan, kini tidak lagi mereka alami sebagai sesuatu yang membawa kepastian, rasa aman atau keselamatan, tetapi justru menimbulkan keraguan, ketidakenakan, atau ketidaktenangan dalam hidup mereka. Apakah nama itu memang mempunyai kaitan erat dengan hakikat manusia sehingga manusia harus berurusan dengan-Nya?

Karena situasi paradoksal yang muncul dalam hati banyak orang Eropa, maka mereka lebih suka diam, tidak mau berbicara tentang “Tuhan” dan sebagai akibatnya juga diam dalam hal agama, tidak membicarakan, tidak percaya dan tidak menjalankan agama. Inilah yang dimaksudkan dengan ateisme praktis, sikap mendiamkan Tuhan; hidup tanpa Tuhan atau beranggapan tidak ada Tuhan. Kekuasaan Tuhan tidak dirasakan pengaruhnya. Nama Tuhan tidak menggerakan hati mereka lagi. Mereka tidak pernah lagi menyebut nama Tuhan, tidak menaruh hormat serta tidak memerlukan Tuhan lagi, (A. Sudiarja, 2006: 188).

Masyarakat kampung telah membangun dasar kehidupan mereka atas nilai-nilai Ketuhanan, sebagaimana yang juga tertuang dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam realitas dunia yang demikian, kesadaran literasi bagi masyarakat kampung menjadi penting. Selain dapat membantu mereka mendalami sejumlah ajaran dan nilai-nilai Ketuhanan dalam agama dan kepercayaan yang dianut, literasi juga dapat menjadi sarana pewartaan akan nilai-nilai Ketuhanan. Sehingga dengan demikian pewartaan akan nilai-nilai Ketuhanan, menyebar luas dan pada saat yang sama semakin banyak orang hidup berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dapat dipastikan bahwa kehidupan yang semakin baik, damai, tentram dan bahagia dirasakan oleh masyarakat kampung, sekalipun mereka mungkin tidak memiliki infrastuktur yang maju seperti di kota-kota besar.

Kegiatan literasi ibarat obat yang mujarab dalam membasmi penyakit-penyakit kehidupan yang dialami oleh manusia. Adanya kesadaran literasi bagi masyarakat kampung akan membantu mereka dalam menata kehidupan agar semakin sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, khususnya nilai-nilai Ketuhanan sebagai sebuah nilai tertinggi dari nilai-nilai yang lain.

Kesadaran Literasi sebagai Sarana Membangun Masyarakat Kampung

Pada awal tulisan ini, telah diungkapkan bahwa pembangunan yang sesungguhnya adalah membangun manusia yang cerdas, kritis, bijaksana dan tawakal, atau dengan kata lain pembangunan mental hidup yang berkarakter. Sebuah istilah yang saat ini digaung-gaungkan sebagai revolusi mental.

Kita tidak bisa menyangkal bahwa sejumlah pembangunan dan kemajuan yang terjadi di segala bidang kehidupan seperti teknologi informasi dan komunikasi serta transformasi adalah hasil dari karya dan cipta manusia. Tidak ada istilah kemajuan dan perkembangan jikalau tidak ada manusia yang menyebabkannya. Dengan demikian faktor utama dan penentu sebuah pembangunan dan kemajuan adalah manusia itu sendiri.

Masyarakat kampung adalah manusia yang juga memiliki hak serta peluang yang amat terbuka untuk menentukan sebuah pembangunan dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Supaya bisa menjadi penentu sebuah pembangunan dan kemajuan, masyarakat kampung pertama-tama harus melek aksara. Langkah yang paling mudah agar melek aksara ini adalah membangun kesadaran literasi.

Melek aksara pada zaman ini, tidak mesti melulu dituntut untuk masuk dalam pendidikan formal atau sekolah yang kadang banyak menghabiskan waktu dan biaya. Melek aksara dapat ditempuh dengan berbagai cara, asalkan saja ada kesadaran literasi yang dapat menjembatani masyarakat kampung menuju masa depan yang lebih baik dan cerah.

Hadirnya penggiat-penggiat atau komunitas-komunitas literasi di kampung-kampung sebagai wujud kepedulian akan pentingnya melek aksara, menjadi peluang bagi setiap masyarakat kampung untuk ambil bagian dalam kegiatan literasi tersebut. Adanya komunitas literasi ini bisa menjadi kesempatan bagi masyarakat kampung untuk mendalami serta mengekspresiakan sejumlah potensi-potensi yang mereka miliki, karena pada dasarnya setiap orang memiliki potensi di dalam diri yaitu potensi dasar yang dianugerahkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Jadi sikap dasar yang perlu dibangun oleh masyarakat kampung adalah kesadaran untuk melek aksara. Jika sikap seperti ini sudah tertanam dalam diri, maka peluang untuk ambil bagian dalam dunia literasi perlahan-lahan tumbuh dan berkembang menjadi suatu kecintaan tersendiri di kalangan masyarakat kampung. Adanya kecintaan pada dunia literasi akan membantu masyarakat kampung dalam mengembangkan sejumlah usaha yang mereka geluti sebagai masyarakat kampung. Sebab melalui kegiatan literasilah sejumlah pengetahuan dapat diperoleh. Pengetahuan tersebut menjadi cakrawala baru bagi masyarakat kampung dalam mengembangkan dunia usaha yang mereka geluti.

Salah satu komunitas penggiat literasi yang banyak membantu masyarakat kampung dalam mengembangkan dunia usaha yakni Taman Bacaan Kuncup Mekar. “Adanya usaha-usaha yang dirintis oleh masyarakat kampung literasi dalam upaya menekan angka pengangguran di Desa Kepek maka Taman Bacaan Masyarakat Kuncup Mekar melakukan pendampingan usaha seperti usaha pembuatan kripik singkong dan talas. Sehingga dengan adanya kegiatan ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun usaha-usaha yang ada itu seperti sablon, jual pulsa, persewaan pakaian, potong rambut, kelompok ternak kambing, dan pembuatan kripik singkong dan talas.

Taman Bacaan Masyarakat Kuncup Mekar memasukkan 6 literasi dasar seperti literasi baca tulis, berhitung, sains, keuangan (financial), kebudayaan, kewarganegaraan dan digital (IT). Pernyataan tersebut kemudian diperkuat oleh Gola Gong yang mengatakan bahwa literasi tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis, namun bergandengan pula dengan aspek lain seperti ekonomi, politik, hukum, pendidikan, sejarah, teknologi, dan gaya hidup. Kegiatan ternak kambing termasuk dalam program kewirausahaan melalui pendampingan yang dilakukan oleh Taman Bacaan Masyarakat Kuncup Mekar. Taman Bacaan Masyarakat Kuncup Mekar tidak sebatas dalam mengajak masyarakat untuk membaca, tetapi lebih jauh mengajak masyarakat bahwa dari apa yang dibaca akan berdampak kembali ke masyarakat, (Ani Muslimah, 2019 : 7).

Literasi sebagai Sarana Pendidikan Bagi Masyarakat Kampung

Nelson Mandela, presiden pertama Afrika Selatan pernah berkata: “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world (Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia)”. Sejalan dengan apa yang diupayakan oleh Taman Bacaan Kuncup Mekar dan pendapat Gola Gong di atas, pada dasarnya literasi bukan lagi menjadi milik para kaum elit, melainkan sudah seharusnya merupakan sebuah kebutuhan bagi satiap manusia, karena literasi sendiri berkaitan langsung dengan pendidikan dan pembinaan yang paling mendasar bagi setiap manusia.

Masyarakat kampung mesti melihat dan memahami bahwa kesadaran literasi adalah sebuah kebutuhan dasar dalam menata kehidupan yang juga harus dipenuhi. Dalam hal ini, kesadaran literasi ibarat sebuah program sekolah yang digunakan untuk mencerdaskan peserta didik agar mampu membentuk diri sebaik mungkin, sehingga bisa menjadi manusia yang cerdas, bijaksana, kritis dan tawakal.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor 6 tahun 2020. Pada poin E, yang berkaitan dengan daftar kegiatan prioritas bidang pembangunan desa. Dalam nomor 2, (Peningkatan Kualitas dan Akses terhadap Pelayanan Sosial Dasar) bagian b (Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan), diangkat sejumlah hal yang sebenarnya langsung berkaitan dengan dunia literasi yang pada dasarnya bisa diakses oleh masyarakat kampung.

Pada bagian b ini disebutkan sejumlah hal seperti:

  1. Taman bacaan masyarakat;
  2. Bangunan PAUD bagi Desa yang belum ada gedung PAUD;
  3. Pengembangan bangunan/rehabilitasi gedung PAUD untuk PAUD HI;
  4. Buku dan peralatan belajar PAUD lainnya;
  5. Wahana permainan anak di PAUD;
  6. Taman belajar keagamaan;
  7. Sarana dan prasarana bermain dan kreatifitas anak;
  8. Bangunan perpustakaan Desa;
  9. Buku/bahan bacaan;
  10. Balai pelatihan/kegiatan belajar masyarakat;
  11. Gedung sanggar seni/ruang ekonomi kreatif;
  12. Film dokumenter;
  13. Peralatan kesenian dan kebudayaan;
  14. Pembuatan galeri atau museum Desa;
  15. Pengadaan media komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terkait hak anak, gizi dan kesehatan ibu dan anak serta isu anak lain, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di Desa;
  16. Sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah Desa.

Kekuatan legalitas hukum seperti ini, menjadi hak dasar bagi setiap warga masyarakat kampung. Oleh karena itu amat diharapkan agar semua elemen masyarakat kampung mengawal dan mengawasi apa yang diamanatkan oleh pemerintah ini. Pemerintah desa mesti bertanggung jawab penuh menjamin agar warga masyarakatnya sungguh-sungguh merasakan dan menikmati sejumlah hal yang telah diuraikan di atas. Dari pihak masyarakat, diharapkan pula supaya dengan penuh kesadaran menggunakan serta menjaga secara baik dan penuh tanggung jawab sarana-prasarana ini. Sebab sarana-prasarana ini merupakan aset kampung yang menjadi milik semua warga masyarakat setempat. Dari segi ini, masyarakat kampung sesungguhnya tidak sulit lagi mengakses pendidikan, sebab boleh dikata dunia pendidikan melalui giat-giat literasi telah menjemput warga masyarakat itu sendiri. Dengan demikian akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat semakin terbuka lebar. Negara yang bertujuan mencerdasakan putra dan putrinya menjalankan amanahnya dengan baik, apabila warganya sungguh memiliki kesadaran literasi.

Mengutip kalimat dari John Fitzgerald Kennedy mantan presiden Amerika: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu”! Mungkin amat baik dan bijak apabila setiap warga masyarakat bertanya seperti demikian. Kiranya tidak berlebihan jika pada zaman ini setiap warga menyumbangkan sesuatu yang baik untuk negaranya, sekecil apa pun itu (termasuk kesadaran literasi). Sebab, apa yang ia sumbangkan untuk negaranya sama halnya ia sumbangkan untuk dirinya sendiri dan sesamanya.

Literasi sebagai jalan membangun sikap yang tawakal kepada Tuhan

Dasar dari kehidupan setiap manusia adalah penyelenggaraan Tuhan yang menghendaki adanya kehidupan itu sendiri. Di dalam Dia, manusia menjadi hidup, memiliki banyak talenta dan sejumlah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan atas adanya Tuhan sebagai realitas Tertinggi, pertama-tama didapatkan atas kehendak Tuhan sendiri yang senantiasa menarik kita kepada-Nya agar kita bisa semakin mengenal Dia.

Ada banyak cara Tuhan, menarik kita kepada-Nya agar kita semakin mampu mengenal-Nya secacara baik dan benar, sekalipun pengenalan kita itu tidak sempurnah. Akan tetapi paling kurang pengenalan akan Tuhan, membentuk dan menghantar setiap manusia menjadi makhluk yang berbudi luhur-mulia. Manusia yang mampu menciptakan kehidupan yang bahagia, aman nan indah.

Pengenalan kita akan Tuhan, dapat ditempuh dengan cara berliterasi. Demi mempertahankan iman akan Tuhan, banyak pemikir yang menuangkan berbagai ide mereka dalam bentuk tulisan sebagai bentuk pembelaan terhadap mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan (ateisme). Selain itu, Kitab-Kitab Suci yang dimiliki oleh setiap agama juga merupakan bagian dari literasi itu sendiri. Dengan demikian, iman akan Tuhan yang diakui oleh agama-agama, berkaitan langsung dengan dunia literasi. Bahwa melalui dunia literasi, manusia berupaya mengungkapkan imannya akan Tuhan, serta senantiasa mencari kebijaksanaan daripada-Nya.

Melalui dunia literasi, banyak filsuf (pemikir) yang mengungkapkan pengenalan akan Tuhan dalam tulisan, yang kemudian menjadi acuan bagi banyak orang dalam mengakui eksistensi Tuhan sebagai “Realitas Tertinggi”. Karl Jaspers (1883-1969) yang disebut sebagai filsuf yang percaya. Pandangannya terhadap eksistensi Tuhan bermula dari pengalaman ketidakpuasannya akan pencarian makna terhadap keberadaanya sendiri. Karl Jaspers mempertanyakan tentang keberadaan dirinya sendiri, ia kemudian menemukan bahwa ia tidak bisa mempertangung jawabkan keberadaannya. Adanya dia, karena disebabkan oleh yang transenden yakni Allah.

Ia mengatakan: “Meskipun saya mendapat pengertian lebih baik tentang keberadaan saya, namun masih tetap tinggal pertanyaan tentang ‘Ada’ yang sebenarnya. Ada dari dunia tidak sama dengan segenap ada karena masih terdapat ‘Ada’ yang lain, yang melingkupi dunia dan manusia yaitu Yang Transenden yakni Tuhan. Yang melingkupi itu seolah-olah merupakan dasar bagi saya serta dunia dan serentak juga mengatasi kedua-duanya. Yang melingkupi segala-galanya adalah Tuhan, semacam super-Ada, misterius, tak terperikan dan tak mungkin diobjektivasi. Akan tetapi, selain dalam suatu permenungan metafisis, saya terutama dapat menghubungi Tuhan secara eksistensi dan dengan penuh tawakal mengarahkan diri kepada-Nya” (Dr.P.A van der Weij, 2000: 142).

Selain Karl Jaspers, ada juga Rene Descartes (1596-1650). Ia sedikit berfikir tentang sebuah akal budi sebagai kodrat yang bertanya. Sebagai kodrat yang bertanya, maka akal budi adalah sebuah ketidaksempurnaan. Refleksi terhadap ide kesempurnaan membimbingnya sampai pada salah satu bukti dari eksistensi Tuhan. Descartes tahu, dengan berbagai kesaksiannya, bahwa ia bukanlah sebuah ada yang sempurna. Ia kemudian menyimpulkan bahwa ide tentang kesempurnaan pasti tidak pernah datang dari dirinya atau dari ada yang tidak sempurna lainnya. Ide tersebut hanya datang dari sesuatu yang sempurna, yang ia sebut Tuhan. Tuhan adalah ide tentang kenyataan dengan semua kesempurnaan-Nya. Eksistensi adalah bentuk kesempurnaan, begitu juga Tuhan niscaya ada. Eksistensi itu ada di dalam konsep tantang Tuhan. Jika kita sungguh mengerti ide tentang Tuhan, kita harus menerima bahwa Tuhan itu ada (James Garvey, 2010: 67).

Pengalaman para pemikir di atas yang percaya dan meyakini Tuhan sebagai “Realitas Tertinggi”, tentu dikenal atau (semacam) dilestarikan karena adanya dunia literasi. Dunia literasi memungkinkan pemikiran mereka dikenal hingga sampai dengan saat ini dan tentu untuk generasi-generasi yang akan datang. Dalam hal ini, dunia literasi membantu manusia melestarikan nilai-nilai Ketuhanan, sebuah nilai yang ditempatkan pada urutan nomor satu dalam ideologi bangsa kita.

Masyarakat kampung adalah komunitas manusia yang kental dengan kehidupan keagamaan. Tuhan sebagai “Realitas Tertinggi” pun menempati penghormatan nomor satu dikalangan mereka. Adanya kesadaran literasi, menawarkan cara baru bagi masyarakat kampung dalam mengenal Tuhan. Dunia literasi dapat menjadi sarana pencarian (pemahaman) akan Tuhan serta pengungkapan iman kepada-Nya. Dari segi ini, masyarakat kampung semakin diperkaya oleh kebiasaan literasi dalam upaya mereka mendekatkan diri dengan Tuhan. Tuhan yang dikenal dan diyakini sebagai sumber, penyelenggara dan tujuan kehidupan di dalam dunia ini.

Masyarakat kampung dapat pula menjadikan kesadaran literasi sebagai bentuk pewartaan. Pengalaman iman mereka akan Tuhan bisa dituangkan dalam bentuk tulisan, karena toh pada dasarnya sebagai makhluk ciptaan-Nya, semua orang berhak untuk mengungkapkan secara pribadi ataupun bersama pengalaman akan Tuhan itu. Hal yang sama juga telah dimulai dan diperlihatkan oleh para pemikir di atas.

Pengungkapan iman akan Tuhan serta upaya pencarian akan Dia secara terus-menerus, menumbuhkan dalam diri masyarakat kampung sikap cinta kepada-Nya. Iman yang militan akan semakin terbangun di kalangan mereka. Dengan demikian, pengaruh-pengaruh globalisasi (ateisme praktis misalnya) yang sudah sampai di kampung-kampung tidak mudah menggoyahkan iman masyarakat kampung akan Tuhan yang mereka percayai dan yakini sebagai “Realitas Tertinggi”. Tuhan yang daripada-Nya, mereka memperoleh sejumlah berkat dalam hidup.

Kesimpulan

Kesadaran literasi di kalangan masyarakat kampung mestinya merupakan sebuah kebutuhan dasar dan karena itu perlu diusahkan sebaik mungkin, baik dari pihak masyarakat itu sendiri (membangun kesadaran) maupun pemerintah, sebagai bentuk tanggung jawab dalam mencerdasakan putra-putrinya. Literasi mesti dilihat sebagai sebuah pendidikan dasar (sekolah formal maupun non formal) di mana setiap warga masyarakat berhak untuk memperolehnya, karena melaluinya setiap orang akan melek aksara.

Selain itu, dunia literasi juga selalu langsung berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan: keagamaan, adat-istiadat, kesenian, sosial, politik, ekonomi serta teknologi informasi dan transportasi. Oleh karena demikian, maka kesadaran literasi mesti menjadi suatu budaya yang harus dilestarikan oleh masyarakat kampung itu sendiri, sebagaimana mereka melestarikan adat-istiadat mereka.

Kesadaran literasi di kalangan masyarakat kampung dapat “menangkis cap-cap miring” akan eksistensi masyarakat kampung itu sendiri seperti: ketertinggalan dan keterbelakangan serta nada sumbang lainnya. Adanya sebuah kesadaran literasi ini, akan membawa sejumlah dampak baik dalam kehidupan masyarakat kampung sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Hadirnya komunitas-komunitas penggiat literasi di kampung-kampung, menjadi kesempatan emas bagi setiap masyarakat untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam upaya memerangi buta huruf. Oleh karena itu, baiknya kesempatan ini sungguh-sungguh dimanfaatkan oleh masyarakat kampung demi menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang cerdas, kritis, bijaksana dan tawakal.

Referensi:

  • Garvey, James. 2019. 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius.
  • Hardiman, F. Budi. 2003. Heidegger Dan Mistikus Keseharian, Yogyakarta: Kanisius.
  • Setiawan, B. 2010. Kampung Kota dan Kota Kampung. Yogakarta: Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM.
  • Sudiarja, A. 2006. Agama Di Zaman Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius.
  • Sulastomo. 2003. Reformasi Antara Harapan Dan Realita. Jakarta: Kompas.
  • Weij, P.A van der. 2000. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius.
  • Ani Muslimah, A. 2019 . Studi Kasus di Taman Bacaan Masyarakat Kuncup Mekar Desa Kepek Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Jurnal Ilmu Perpustakaan, ejournal3. undip.ac.id.

BIOGRAFI PENULIS

Wandi Raya, lahir di Teteuri – Sulsel 17 Februari 1993. Berdomisili di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Saat ini sedang menempuh pendidikan PS (Pasca Sarjana) di STFT “Fajar Timur” Abepura. Dalam pengalaman berorganisasi, pernah menjabat sebagai sekretaris BEM. Giat menulis di majalah-majalah keagamaan dan media-media online. Kontak person WA: 081236329839. E-Mail: [email protected]. FB: Wandi Raya. IG: Wandi Raya.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *