Bilik Pustaka

Penyesuaian Suasana Perpustakaan untuk Menarik Minat Baca

Literasi merupakan suatu kemampuan seseorang yang berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis. Walaupun literasi erat kaitannya dengan membaca dan menulis, ternyata kemampuan literasi meliputi bidang yang luas terhadap semua disiplin ilmu serta perkembangan zaman dan teknologi. Pengetahuan hasil literasi tersebut berguna untuk memanfaatkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga dapat menggugah kemampuan bersaing dalam perkembangan ilmu dan teknologi dengan negara lain terutama negara yang sudah maju. Maka, tingkat literasi suatu negara sering dikaitkan erat dengan perkembangan negara tersebut yang kedua variabel tersebut berbanding lurus. Penerapan literasi dalam kegiatan belajar mengajar juga terwujud dalam suatu hasil studi yang dipengaruhi pengetahuan disiplin ilmu tertentu yang diperoleh atas tingkat literasinya.

Perkembangan IPTEK erat kaitannya dengan peran generasi muda yang melek teknologi, namun harus diikuti dengan habitus membaca yang tinggi. Generasi muda cenderung bersikap kreatif yang dapat melakukan macam-macam inovasi sebagai karya yang dapat dibanggakan. Era globalisasi yang semakin membuat apa-apa serba cepat dan menerapkan prinsip otomatisasi membuat generasi muda unggul merupakan suatu keharusan dan bukan lagi pilihan jika suatu negara ingin memiliki posisi yang bermartabat sehingga disegani dihadapan negara lain (Irianto and Febrianti, 2017). Namun ironisnya, angka buta aksara di Indonesia tercetak 28,75% untuk provinsi Papua, 7,91% untuk Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur 5,15%, serta dari 34 provinsi di Indonesia terdapat 11 provinsi yang memiliki nilai buta aksara di atas angka nasional, diantaranya provinsi di atas.

Upaya pemerintah dalam upaya peningkatan budaya literasi adalah dengan adanya Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 yang berisi kebijakan siswa dalam membaca yang diadakan dalam Gerakan Literasi Sekolah sebagai upaya peningkatan minat baca (Hastuti and Lestari, 2018). Kegiatan tersebut terwujud dalam kegiatan wajib membaca literatur di luar materi pelajaran yang dilakukan selama 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai yang termasuk dalam pendidikan Budi Pekerti.

Peningkatan kemampuan literasi bukan hanya meningkatkan kecerdasan intelektual, namun juga kecerdasan emosional yang berhubungan dengan perasaan dan kepedulian terhadap sesama. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dapat digunakan untuk mengenali diri sendiri yang berupa motivasi diri, mengendalikan hati, mengatur suasana hati, menghadapi frustasi; memahami perasaan orang lain (Khoirunnisa, 2017). Kecerdasan emosional ini juga dapat membantu perkembangan kecerdasan intelektual. Kedua kecerdasan tersebut dapat membentuk pribadi yang cerdas diikuti dengan perilaku yang cerdas pula.

Pada era globalisasi inilah kebiasaan baca harus dilakukan untuk mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan yang semakin berkembang pula, serta mengikuti kemajuan negara lain dan membentuk karakter. Dengan kata lain, kebiasaan membaca berguna untuk mengikuti perkembangan zaman yang semakin cepat dan luas meliputi semua aspek kehidupan.

Programme for International Student Assessment (PISA) merupakan suatu studi yang dilakukan taraf internasional mengenai indeks prestasi literasi membaca, matematika, dan sains yang berguna untuk mengevaluasi sistem pendidikan beberapa negara di dunia.

Dalam pelaksanaanya, PISA di diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada data PISA 2018, Indonesia berada pada posisi kuadran low performance dengan high equity, serta gender gap in permofmance atau ketimpangan performa belajar berdasarkan gender tidak besar yang pada setiap nilainya pada PISA 2018 perempuan memiliki nilai yang lebih daripada laki-laki. Guru-guru Indonesia dalam kegiatan pembelajaran juga termasuk golongan empat tertinggi setelah negara Albani, Kosovo, dan Korea. Hanya saja, kebanyaka guru tersebut masih belum memahami apa-apa saja yang dibutuhkan setiap murid yang diajarnya (Kemendikbud, no date).

Tabel 1 Perbandingan Skor Rata-Rata Studi PISA Indonesia dengan Skor Rata-Rata OECD
Sumber data : https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas#:~:text=Hasil%20studi%20PISA%202018%20yang,rata%20skor%20OECD%20yakni%20487.

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa perolehan nilai PISA di Indonesia masih di bawah rata-rata perolehan nilai pada OECD. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kemampuan literasi Indonesia dalam hal membaca, matematika, dan sains masih tergolong rendah dan berada pada posisi satu perdua kebawah dari semua negara yang ikut serta dalam survei PISA pada tahun 2018. Berdasarkan tabel tersebut peningkatan kebiasaan membaca perlu dilakukan, bukan hanya pemerintah saja yang bertanggung jawab, tapi semua lapisan masyarakat memiliki peran masing-masing.

Bermacam-macam faktor mengambil peran dalam rendahnya budaya literasi, faktor tersebut berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang memengaruhi budaya literasi berasal dari dalam diri seseorang, entah itu rasa malas atau menganggap aktivitas itu kurang sesuai bahkan kurang bermanfaat baginya. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa fasilitas yang tersedia untuk mendukung budaya literasi. Faktor utama yang sering dianggap paling memengaruhi budaya literasi adalah kebiasaan membaca. Namun, realitas yang terjadi adalah sering kali masyarakat mengganggap kegiatan membaca menghabiskan waktu (to kill time)bukan untuk mengisi waktu (to full time) yang dilakukan dengan sengaja (Permatasari, 2015). Hal tersebut berarti kebiasaan membaca belum benar-benar dapat dikatakan kebiasaan tapi sekadar dilakukan agar tidak menganggur serta belum merekahnya minat baca buku.

Membaca merupakan bagian dari budaya baca, sedangkan kebiasaan membaca terbentuk karena adanya minat baca yang dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Berkenaan dengan adanya minat baca, ada beberapa dimensi yang menjadi indikator untuk mengetahui tingkatan tinggi atau rendahnya minat baca, yaitu:

  1. Kunjungan perpustakaan;
  2. Frekuensi membaca;
  3. Waktu membaca;
  4. Tujuan membaca;
  5. Kesenangan dan kebutuhan membaca.

Serta berseminya kebiasaan membaca tergantung pada faktor:

  1. Tersedianya bahan bacaan yang memadahi;
  2. Bervariasi dan mudah ditemukannya bahan bacaan;
  3. Bahan bacaan yang mampu memenuhi keinginan pembacanya (Saepudin, 2015).

Kebiasaan dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau aktivitas yang dapat dilakukan teratur dan berulang sehingga dapat membentuk suatu kebiasaan (Heryanto and Sembiring, 2020). Sehingga kebiasaan membaca berarti melakukan aktivitas membaca literatur secara teratur dan berulang sehingga membentuk kebiasaan yang rutin dan kontinu. Untuk membentuk suatu kebiasaan membaca tentu perlu adanya pembiasaan yang mengarah pada aktivitas membaca. Bentuk pembiasaan yang dapat diterapkan adalah pembiasaan rutin, pembiasaan spontan, dan pembiasaan keteladanan (Wiyani, 2017).

Dalam hal membaca pembiasaan rutin dapat dilakukan dengan memberikan jadwal tersendiri yang terstruktur dan terprogram yang disusun untuk memberikan waktu membaca rutin; pembiasaan spontan dapat dilakukan oleh pihak terkait seperi perpustakaan untuk memberikan hadiah tertentu untuk pencapaian tertentu pula, pemberian hukuman jika melakukan pelanggaran tertentu atau menyimpang dari target bacaan tertentu namun tetap dalam batas wajar dan dapat dilaksanakan dengan asyik, dan permberian nasihat pada suasana dan keadaan tertentu dengan memberi suasana larut dalam media edukatif tanpa menyinggung; serta pembiasaan keteladanan atau inspiratif dapat diberikan dengan menyajikan sosok inspiratif yang dapat sukses dalam suatu bidang khususnya jika kesuksesannya karena literatur sehingga dapat memberi semangat dan motivasi semakin membiasakan membaca.

Comfort zone atau biasa disebut zona nyaman merupakan kondisi saat seseorang dapat merasa aman dan nyaman menjalani aktivitas harian yang rendah risiko, tanpa adanya kekhawatiran akan suatu hal, namun stagnan. Zona nyaman membuat sesorang menjadi lebih mudah dan merasa akrab yang bebas, namun tetap pada kandisi ini membuat tidak adanya kemajuan diri dan terus berhenti pada suatu fase (Setyorini, 2019). Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk keluar dari zona nyaman yang berarti bertemu dengan suasana baru.

Jika seseorang sudah berada dalam zona nyaman bersama ponselnya dan lebih suka mendekam di dalam rumah, untuk keluar dari zona nyaman dengan melakukan kebiasaan baru berupa membaca bukanlah hal mudah. Apalagi jika tidak didukung dengan fasilitas perpustakaan yang kurang memadahi atau kurang sesuai. Keluarnya seseorang dari zona nyaman memerlukan adaptasi atas penyesuaian diri dengan lingkungannya yang baru. Adaptasi tersebut akan menimbulkan masalah baru yang berupa adanya perbedaan lingkungan fisik dan sosial sehingga memerlukan dukungan sosial yang memberi makna dari hadirnya orang lain yang dapat memberinya bantuan, dorongan, dan penerimaan jika orang tersebut mengalami kesulitan berinteraksi dengan lingkungan, sehingga merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai (Handono and Bashori, 2013). Jika pembiasaan membaca disertai dukungan sosial yang baik akan menghasilkan individu yang semakin terdorong untuk keluar zona nyaman menuju dunia literasi karena beranggapan jika ada yang memerhatikannya dan merasa dibutuhkan.

Perpustakaan memiliki misi utama untuk menyediakan layanan pendayagunaan koleksi bagi pengguna, misi tersebut terlaksana tergantung pada minat dan kegemaran membaca di masyarakat yang dapat berkembang jika ada fasilitas berupa tersedianya bahan bacaan yang menarik.

  1. Faktor yang memengaruhi minat baca yang utama ditentukan oleh:
  2. Faktor lingkungan keluarga yang dapat berupa kebiasaan membaca dalam keluarga;
  3. Faktor pendidikan dan kurikulum di sekolah;
  4. Faktor infrastruktur yang ada pada masyarakat; dan
  5. Faktor keberadaan dan keterjangkauan bahan bacaan (Saleh, 2015).

Dalam perkembangan dunia yang serba digital ini, mengharuskan perpustakaan tidak hanya memberikan pelayanan secara langsung tapi juga melalui aplikasi tertentu yang memermudah akses bagi siapapun yang memiliki minat baca terutama di pedesaan yang fasilitas perpustakaannya masih kurang jika dibandingkan dengan perkotaan. Pembentukan suasana baru yang membuat fresh dalam perpustakaan membuat daya tarik tersendiri untuk meningkatkan minat baca. Suasana baru yang dibentuk hendaknya tetap memerhatikan kesesuaian dan ketepatan dengan lingkungan sekitar dan apa yang menjadi daya tarik masyarakat di wilayah tersebut.

Wilayah pedesaan identik dengan keterlambatan perkembangan teknologi. Membangun perpustakaan desa dengan mengedepankan prinsip teknologi otomatisasi dapat menjadi daya tarik masyarakatnya untuk datang dan termotivasi membentuk kebiasaan membaca karena telah melihat dunia sangat cepat berkembang dengan berbagai teknologinya atau bahkan dapat membuat seseorang termotivasi untuk membuat teknologi yang sama bahkan lebih baik, namun sayangnya jika apa membuat suasana perpustakaan seba modern memerlukan biaya yang tidak sedikit apalagi dengan peralatannya yang ringkih dan jika tersaji secara umum yang tidak setiap orang akan bertanggung jawab. Kolaborasi dengan lembaga desa lain yang sudah dipercaya masyarakat secara tidak langsung membuat promosi karena masyarakat cenderung akan melaksanakan apa menjadi contoh di lingkungannya. Atau bisa dipadukan dengan menggaet tokoh idola yang menjadi teladan di masyarakat tersebut.

Membuat suasana tak biasa dengan menghadirkan kembali apa yang sudah punah juga dapat dilakukan, misalnya mengadakan kembali penayangan film layar lebar di lapangan umum dengan peserta umum pula, hanya saja untuk memberdayakan perpustakaan dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu untuk dapat mengikuti acara tersebut seperti meminjam buku dan wajib membacanya yang dibuktikan rangkuman yang disampaikan secara lisan maupun tertulis. Jika pemutaran layar lebar tersebut dilakukan, bukan hanya satu kalangan saja yang sukses dijadikan target, namun bisa semua kalangan. Dalam kurun 100 tahun terakhir, manusia dibagi menjadi beberapa generasi yang menunjukkan karakteristik tersendiri sesuai dengan lingkungannya, generasi tersebut berupa: (1) Tradisionalis, yang lahir pada tahun 1922-1945; (2) Baby Boomers, 1946-1964; (3) Generasi X, 1965-1980; (4) Milenial, 1981-1994, (5) Generasi Z, 1995-2010; dan (6) Alpha, >2010 (Okezone News, no date). Generasi Milenial akan merasakan hal tersebut sebagai nostalgia dengan kenangan indah, sedangkan generasi Milenial ke atas akan merasa itu sebagai hal baru dan wajib dicoba.

Pembuatan suasana perpustakaan desa yang penuh dengan ilmu dan teknologi dengan biaya terjangkau juga dapat dilakukan. Kimia adalah yang sangat menarik karena setiap bidangnya membuat keajaiban tersendiri dan digunakan diseluruh aspek kehidupan. Bahkan jika sesorang sedang tidak melakukan apapun, tetap saja berhubungan dengan kimia karena udara yang dihirup ketika bernapas berupa oksigen dengan rumus molekul O2 yang merupakan bahan kimia. Apalagi jika seseorang tersebut melakukan suatu aktivitas, tentu hubungannya dengan kimia semakin erat. Kimia menarik untuk dipelajari, alagi jika didukung dengan kebiasaan membaca dan literatur yang memadahi dan dikemas dengan menarik.

Suasana perpustakaan juga bisa dibuat dengan unsur-unsur kimia, menyajikan percobaan kimia sederhana yang menarik bagi semua orang karena merasa hal itu seperti sulap dan berusaha mencari jawabannya dengan literatur yang ada. Percobaan tersebut dapat berupa uang yang tahan api ketika dibakar karena sebelumnya telah dilumuri alkohol, tinta ajaib yang didekatkan api membentuk suatu tulisan atau gambar dan menghasilkan aroma khas karena menggunakan cuka apel sebagai tintanya, dan lain sebagainya. Lebih baik lagi jika percobaan tersebut dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari dengan membantu suatu aktivitas menjadi lebih mudah. Orang yang memiliki keingintahuan besar akan cenderung tertarik dengan bagaimana itu bisa terjadi, bukan bagaiaman cara melakukannya. Untuk melayani keingintahuan tersebut, tentu perpustakaan terkait juga harus menyediakan literatur yang memadahi. Ketersediaan bahan literasi juga bisa memengaruhi minat baca, memang selera masing-masing individu itu berbeda tapi perbedaan tersebut jika disatukan bisa menjadi satu-kesatuan utuh atas keanekaragaman dan membuat perpustakaan semakin menarik.

Bacaan fiksi dengan non fiksi cenderung lebih menarik bacaan fiksi yang membebaskan pembacanya berimajinasi. Namun apapaun literaturnya, tetap akan memberikan ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang dapat diterapkan. Peningkatan budaya baca karena faktor eksternal harus diupayakan oleh pihak terkait seperti perpustakaan supaya faktor internal dapat tumbuh dengan sendirinya.

Setiap desa memiliki ciri khasnya tersendiri, seperti desa penghasil batik di Kampung Batik Kauman Surakarta dan Kampung Batik Laweyan Surakarta. Perpaduan aspek literasi berupa perpustakaan dengan potensi masing-masing desa menjadikan masyarakat desa tersebut semakin nyaman menggunakan dan tentu minat bacanya secara otomatis akan naik, sebagai contoh seperti di kedua kampung tersebut, perpustakaan desanya dapat disulap seba batik dan membaur dengan masyarakat asli.

Peningkatan minat baca di masyarakat pedesaan dapat dilakukan dengan memberikan suasana baru yang fresh dan menarik serta membuat keingintahuan akan sesuatu sehingga tertarik dan semangat membaca literatur. Membuat seseorang keluar dari zona nyaman ponselnya menuju budaya baca juga harus diupayakan dengan adaptasi dan berbagai cara pembiasaan membaca. Kerja sama pihak perpustakaan dengan sosok idola dan teladan desa seolah menjadikannya maskot dapat dilakukan supaya tindakan gemar membaca tokoh tersebut diikuti masyarakat lainnya.

Perlunya peningkatan budaya membaca bukan hanya demi pihak tertentu, namun semua pihak terkait dapat memeroleh keuntungan terutama individu tersebut yang memeroleh ilmu secara langsung dan dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari dan bahkan bisa menentukan jenjang karir yang akan diambil. Bahan bacaan yang memadai dan fasilitas perpustakaan juga tidak kalah penting menentukan minat baca seseorang. Pembuatan suasana perpustakaan yang serba kimia dengan berbagai percobaan ajaibnya dapat dilakukan dan bisa memberi kesan unik dan menarik pengunjung dari luar desa bahkan wisatawan yang sekaligus bisa mengangkat perekonomian desa. Memadukan potensi masing-masing desa dengan fasilitas perpustakaan juga akan membuat masyarakat desa tersebut semakiin nyaman, tidak enggan dan tidak sungkan karena petugasnya juga bisa membaur dan merasa sefrekuensi.

Daftar Pustaka:

  • Handono, O. and Bashori, K. (2013) ‘HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP STRES LINGKUNGAN PADA SANTRI BARU’, EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi, 1(2), pp. 79–80.
  • Hastuti, S. and Lestari, N. A. (2018) ‘GERAKAN LITERASI SEKOLAH: IMPLEMENTASI TAHAP PEMBIASAAN DAN PENGEMBANGAN LITERASI DI SD SUKOREJO KEDIRI’, Jurnal Basataka (JBT), 1(2), p. 30. doi: 10.36277/basataka.v1i2.34.
  • Heryanto and Sembiring, Y. S. B. (2020) ‘HUBUNGAN KEBIASAAN BELAJAR DENGAN HASIL BELAJAR IPA’, Curere, 4(2), p. 3.
  • Irianto, P. O. and Febrianti, L. Y. (2017) ‘Pentingnya Penguasaan Literasi bagi Generasi Muda dalam Menghadapi Mea’, The 1st Education and Language International Conference Proceedings Center for International Language Development of Unissula, 1(1), pp. 640–647. Available at: http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ELIC/article/view/1282.
  • Kemendikbud (no date) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia. Available at: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas (Accessed: 20 January 2021).
  • Khoirunnisa, L. (2017) ‘HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEMBACA ASMAUL HUSNA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS XI MA NURUL UMMAH YOGYAKARTA’, Jurnal Pendidikan Agama Islam, 14(1), pp. 54–55. doi: 10.14421/jpai.2017.141-04.
  • Okezone News (no date) 6 Generasi Manusia, Anda Masuk Kelompok Mana? : Okezone News. Available at: https://news.okezone.com/read/2019/02/24/65/2022109/6-generasi-manusia-anda-masuk-kelompok-mana (Accessed: 21 January 2021).
  • Permatasari, A. (2015) ‘Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi’, Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB, p. 148. Available at: http://repository.unib.ac.id/id/eprint/11120.
  • Saepudin, E. (2015) ‘Tingkat Budaya Membaca Masyarakat’, 3(2), pp. 271–282.
  • Saleh, A. R. (2015) ‘Peranan Teknologi Informasi dalam Meningkatkan Kegemaran Membaca dan Menulis Masyarakat No Title’, Jurnal Pustakawan Indonesia, 6(1), pp. 44–45.
  • Setyorini, T. (2019) 5 Alasan Kenapa Setiap Orang Perlu Keluar dari Zona Nyaman | merdeka.com, 26 November. Available at: https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-kenapa-setiap-orang-perlu-keluar-dari-zona-nyaman.html (Accessed: 21 January 2021).
  • Wiyani, N. A. (2017) ‘PENGEMBANGAN PROGRAM KEGIATAN PEMBIASAAN BERBASIS TQM DI RAUDHATUL ATHFAL (RA)’, AWLADY : Jurnal Pendidikan Anak, 3(1), pp. 4–7. doi: 10.24235/awlady.v3i1.1270.

PENULIS

Nama : Wulida Rayhani
Tempat, tanggal lahir : Surakarta, 24 Februari 2002
Domisili : Surakarta
Pendidikan terakhir : Universitas Sebelas Maret (Mahasiswa Program Studi S1 Kimia)
Pengalaman organisasi : Rohis, Kopsis, PMR, UKM Taekwondo

WA : 085325243548
Email : [email protected]
Instagram : @wulidwlda_

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *