Bilik Pustaka

Merintis Diri, Meramahkan Liyan, Berbagi di Angkringan: Upaya Membangun Kedaulatan Literasi di Wilayah Pedesaan

Ketika menulis esai ini, penulis teringat akan berbagai model perpustakaan yang pernah penulis temui. Penulis pernah menjumpai Perpustakaan Becak, Pojok Baca, Pos Ronda Baca, dan Rumah Baca yang memiliki berbagai macam dinamika dalam membantu masyarakat luas memperoleh bahan literasi. Setiap model perpustakaan yang penulis jumpai memiliki potensi serta permasalahan yang beragam. Berdasarkan pengamatan penulis, terdapat permasalahan yang umum terjadi dalam berbagai model perpustakaan yang ada.

Persoalan seperti manajemen perpustakaan hingga bagaimana mengembangkan model perpustakaan yang ada supaya dapat terus relevan dan diminati oleh masyarakat menjadi permasalahan yang penulis jumpai. Penulis juga menjumpai bahwa potensi yang ada dalam suatu model perpustakaan dapat didialogkan dengan model perpustakaan yang lain dalam membentuk inovasi perpustakaan yang relevan.

Keberadaan berbagai model perpustakaan yang ada memberikan fenomena bahwa setiap konteks perpustakaan memiliki kompleksitas permasalahan tersendiri serta potensi yang beragam. Menurut penulis, bagaimana memberikan gagasan mengenai manajemen tata kelola dan pengembangan perpustakaan dalam suatu konteks masyarakat perlu memberikan pendekatan yang sifatnya transformatif dan kontekstual. Pengenalan dan pemahaman yang memadai akan konteks dimana perpustakaan yang ada dapat membantu dalam upaya pengenalan diri serta potensi dari suatu konteks masyarakat.

Pengenalan diri ini menurut penulis penting karena berkaitan dengan kesesuaian dalam menerapkan gagasan serta inovasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh perpustakaan dalam konteks masyarakat tertentu. Harapannya dengan pengenalan diri, bisa mengembangkan perpustakaan yang memberikan implikasi bagi kesejahteraan dan meningkatkan daya literasi masyarakat yang memberikan ruang dialog bagi kekayaan potensi lokal serta membantu membentuk kelompok masyarakat yang partisipatoris dalam kedaulatan literasi. Sehingga bagaimana memberikan solusi seputar manajemen serta pengembangan perpustakaan perlu melibatkan masyarakat sebagai subyek yang aktif dalam mewujudkan kedaulatan literasi di wilayah pedesaan.

Dalam esai ini, penulis memberikan gagasan mengenai bagaimana membangun kedaulatan literasi masyarakat dengan pendekatan mulai dari persoalan merintis diri, meramahkan liyan, dan berbagi di angkringan (merayakan kedaulatan literasi di wilayah pedesaan). Bagian pertama esai, penulis akan membahas mengenai bagaimana masyarakat berani melihat konteks keadaan dan terus mengevaluasi diri. Harapannya dapat memberikan bahan refleksi dalam membangun serta memupuk kesadaran literasi masyarakat di wilayah pedesaan supaya dapat terus berkembang secara ideal dan relevan.

Selanjutnya, penulis pada bagian kedua akan mengulas bagaimana masyarakat berani keluar dari zona nyaman dengan meramahkan liyan yang terimplementasi dalam merangkul unsur-unsur lain untuk terlibat, bahkan mereka yang berbeda untuk berdinamika bersama. Bagian kedua ini menuntut peran aktif masyarakat dalam gerakan literasi di wilayah pedesaan. Pada bagian ketiga, penulis akan memberikan gagasan mengenai solusi masalah pendanaan perpustakaan di wilayah pedesaan dengan merayakan kedaulatan literasi dalam bentuk berbagi, berdiskusi bersama di angkringan. Penulis akan menutup esai dengan kesimpulan serta refleksi mandiri terhadap kedaulatan literasi di pedesaan.

Merintis Diri: Berani Melihat dan Mengevaluasi Diri Sendiri

Pemuda sebagai individu yang berproses dalam dinamika masyarakat diharapkan kelak membawa perubahan maupun mampu memimpin masyarakatnya dengan baik. Oleh karenanya, bagaimana pemuda dalam konteks literasi masyarakat desa mempersiapkan diri dan membekali dengan soft skill yang kompeten dapat terus diperjuangkan. Masyarakat memiliki harapan kepada pemuda dalam proses pembelajaran serta pengembangan dirinya, terlebih dalam masyarakat desa yang memiliki kesadaran literasi yang baik adalah pemuda, apalagi pemuda yang berkuliah atau disebut sebagai mahasiswa.

Mahasiswa yang belajar dan berproses di perguruan tinggi pastinya memiliki literasi maupun literatur yang memadai. Sehingga pemuda yang berkuliah ini diharapkan dapat menjadi teladan dalam mewujudkan kesadaran literasi di masyarakat desa. Dalam keberadaannya, terdapat bagian refleksi tersendiri terkait bagaimana berani melihat diri masyarakat dan mengevaluasi sejauh mana masyarakat desa memiliki kesadaran literasi yang ideal. Kegiatan seperti program pelatihan kepemimpinan dan manajemen pemuda dalam literasi di masyarakat desa menjadi gagasan tersendiri oleh penulis. Harapannya, dapat membantu memberikan pelatihan yang aktif bagi pemuda agar membantu masyarakatnya dalam kegiatan literasi maupun beroganisasi.

Keterampilan mengelola dan mengorganisasi masyarakatnya merupakan proses yang perlu dijalani serta dilatihkan kepada pemuda desa. Sehingga pemuda desa dapat berlatih memiliki kepekaan diri serta kemauan dalam melihat masyarakatnya sebagai konteks dimana dia hidup dan berdinamika. Hal yang demikian juga membantu meminimalisir masalah desa seperti jothakan antara pemuda. Jothakan sebagai fenomena sosial di masyarakat desa dalam rangka hidup bersama tentu menjadi warna tersendiri. Fenomena ini biasanya terjadi dengan kondisi ketika dua orang tidak saling berbicara satu sama lain dalam kurun waktu tertentu. Kondisi ini dapat menjadi warna materi dalam pelatihan yang dapat meliputi hal-hal yang berkaitan dengan merentas diri, mempersiapkan diri pemuda dalam kehidupan literasi di masyarakat desanya.

Pemuda dengan demikian dapat turut memetakan kondisi desanya lalu mengambil langkah pembelajaran serta evaluasi yang tepat. Evaluasi dan merentas diri masyarakat ini dapat berjalan efektif jika pemuda desa mau kompeten dalam melihat bagaimana konteks kehidupan desanya. Sehingga kebijakan yang ada juga realistis dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat desa. Pembelajaran awal bagi pemuda desa dapat berupa pembentukan kelompok literasi yang partisipatoris. Pelatihan yang dilakukan akan membantu pemuda mendapat pengalaman tindakan sekaligus pengetahuan yang memadai. Sementara itu, pembentukan kelompok pembelajaran literasi yang partisipatoris dapat mengajak pemuda untuk aktif dalam berdialog dalam dinamika kelompok, memberikan materi yang kontekstual hingga pada pencair suasana saat pembelajaran dalam literasi masyarakat desa mengalami krisis.

Akhir dari pembelajaran serta pembentukan kelompok literasi yang partisipastoris adalah pemuda dapat belajar mengembangkan keterikatan dirinya terhadap konteks masyarakat yang ada serta mengevaluasi segala keberadaan untuk kepentingan bersama yang lebih baik sebagai bagian dari rasa handarbeni terhadap literasi di desanya. Dalam rasa handarbeni akan tumbuh juga rasa empati, empati dapat diartikan sebagai upaya memahami dan sekaligus mau mengalami kondisi orang lain. Kegiatan memahami sekaligus mau berbagi rasa ini perlu dihidupi dalam merintis pemuda yang peduli terhadap literasi di desanya. Kegiatan kedua berkaitan dengan merentas diri atau merintis diri dalam literasi di desa dapat berupa refleksi kepemimpinan yang berkarakter seorang pembaca.

Kehidupan bersama di masyarakat desa tentunya sangat beragaam latar belakangnya, bagaimana membentuk pemuda dengan jiwa pemimpin yang mau membaca menjadi tanggung jawab bersama masyarakat tersebut. Pemimpin yang memiliki kepedulian dalam masyarakatnya dapat dilatih dan dibiasakan sehingga membentuk pemimpin yang transformasional atau membawa kepada perubahan yang baik. Menurut Burns (1979), pemimpin yang transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi pengikutnya untuk melampaui capaian target dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya.

Pendapat lain mengenai kepemimpinan transformasional adalah dari Bernard Bass yang menyatakan bahwa pemimpin transformasional memberikan tantangan bagi pengikutnya untuk bisa memecahkan masalah secara kreatif dan inovatif serta melibatkan dialog dengan konteks yang ada dalam mengembangkan kepemimpinannya. Hal penting yang mendasari kepemimpinan dalam literasi desa adalah disiplin rohani. Menurut Whitney, disiplin rohani merupakan disiplin yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk pertumbuhan rohani atau perubahan pada sikap serta perilaku seseorang. Melalui kegiatan seperti ini, diharapkan pemuda desa dapat membangun refleksi atas keberadaan literasi dalam diri masyarakatnya.

Pembentukan dalam ranah diri selanjutnya adalah pada kemauan untuk berjalan dalam integritas. Wujud hidup dalam integritas menurut Maxwell dan Dornan (1997) adalah bentuk komitmen pada diri sendiri kepada pengembangan karakter daripada keuntungan pribadi, lebih mengutamakan manusia daripada benda, lebih memprioritaskan pelayanan daripada kekuasaan, lebih penting hidup dalam prinsip daripada kesenangan pribadi, dan lebih mengutamakan pandangan jangka panjang daripada kepentingan jangka pendek. Dalam membentuk integritas literasi di masyarakat desa dapat berupa membuat komitmen untuk jujur saat membaca dan bisa dipercaya ketika berdiskusi serta membuat keputusan berharga bahwa “aku tidak bisa dibeli”.

Setelah berdinamika dalam konteks merintis diri supaya bisa berevaluasi harapannya dapat mengusahakan hingga menjadi ahli. Karakter striving for excellent, dapat diproses dalam diri pemuda desa dengan meliputi hal-hal yang menunjukkan tingginya komitmen seseorang untuk melakukan yang terbaik sebisa mungkin (Eims, 2001). Pemuda desa akan memiliki inisiatif untuk membaca, tidak menunggu perintah serta terus berusaha memikirkan terobosan supaya masyarakat di desanya memiliki kesadaran literasi yang ideal dan berdampak pada kesejahteraan kehidupan bersama.

Meramahkan Liyan: Berdialog dan Merangkul Orang Lain

Meramahkan pihak lain (the others) menjadi bagian selanjutnya dari upaya pengembangan literasi di wilayah pedesaan. Bagian masyarakat desa yang terdiri dari berbagai latar belakang menjadi kekayaan tersendiri dalam kesalingan belajar bersama. Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat desa masih kebanyakan sebagai petani di sawah. Pendekatan dengan petani berdasarkan apa yang ada di sekitar, dalam hal ini sawah dan problematikanya menjadi hal yang penting. Hal yang demikian dapat membantu pengenalan akan pendekatan dialog untuk mereka supaya dapat terjadi interaksi yang aktif antara subyek dengan subyek. Sehingga meskipun petani, tidak merasa dijadikan obyek agar mereka memiliki kedaulatan dalam hal membaca.

Keberanian dalam keluar dari zona nyaman ketika berdialog dengan liyan (the others) menjadi pembiasaan tersendiri dalam gagasan ini, ketika hidup di desa pemikiran akan suatu fenomena akan masih terpaku pada kedudukan sosial seseorang. Hal yang demikian membuat kebenaran seolah menjadi suara yang dimiliki oleh kaum yang status sosialnya tinggi. Harapannya dengan kedaulatan literasi ini dapat merangkul orang lain, meskipun orang lain itu memiliki perbedaan dengan konteks yang ada di desa.

Kehidupan yang diwarnai dengan kemauan berdialog ini tentunya tidak mudah, apalagi dalam orientasi kehidupan di desa masih minim akan literasi. Padahal banyak kompetensi dialog yang dapat dirayakan ketika desa berdaulat relasi. Mau memberi diri dalam berinteraksi, membebaskan sekat-sekat yang membatasi interaksi dapat dimulai dari pemuda desa dengan membentuk dialog-dialog yang terbuka akan literasi. Berbagai kompetensi yang ada sebagai konteks berdialog dapat dirayakan selayaknya menikmati menu bersama di meja makan.

Kegiatan yang membentuk dialog ini dapat berupa ajakan sederhana untuk membaca dan menulis. Nantinya karya yang ada dapat terus digali oleh masyarakat setempat. Sehingga ilmu literasi yang ada dapat menggali kekayaan potensi dari masing-masing desa. Berbagai karya sastra dapat muncul sebagai respon akan keberagaman pemikiran yang ada di desa. Karya sastra yang dihasilkan bisa menjadi percontohan dan semangat dalam mengembangkan desa yang memiliki kedaulatan literasi. Hal yang demikian menjadi wadah tersendiri bagi segenap potensi yang ada dalam masyarakat desa. Perayaan akan dialog dengan liyan (the others) memang akan penuh dinamika. Namun, dalam dinamika berdialog bersama untuk mewujudkan kedaulatan literasi itu menjadi kekayaan tersendiri dan ciri khas dari setiap komplesitas suatu masyarakat desa.

Perkembangan selanjutnya mengenai menyikapi penyandang disabilitas hingga pada keberagaman agama dan kepercayaan adat sebagai bagian dalam konteks berdialog untuk mengembangkan kedaulatan literasi di wilayah masyarakat pedesaan.

Penyandang disabilitas merupakan bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan yang sering dijumpai. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan literasi, penyandang disabilitas memiliki bagian tersendiri dalam kontels liyan (the others). Bagaimana merespon keberadaan penyandang disabilitas biasanya sangat beragam. Penyandang disabilitas biasanya direspon dengan landasan rasa kasian (charity) yang seakan menjadikan mereka sebagai obyek yang tidak berdaya karena keterbatasannya.

Dalam dialog untuk kedaulatan literasi, penulis melihat bahwa keramahtamahan menjadi gagasan penting dalam merespon keberadaan penyandang disabilitas. Penulis membaca kamus, kata “keramahtamahan” dalam bahasa Inggris berasal dari kata “hospitality” hal ini dapat didefinisikan sebagai perilaku yang ramah, dalam artian ramah kepada tamu atau orang asing yang baru saja di temui. Keramahtamahan memang dalam keberadaannya dekat dengan berbagai macam pelayanan maupun jasa yang ada dalam kehidupan bersama di masyarakat.

Dalam keseharian penulis, keramahtamahan merupakan way of life dalam berdinamika di masyarakat pedesaan di Jawa. Keramahtamahan hadir sebagai budaya komunal yang memiliki kekhasan hangat, ramah, nuansa kesederhanaan, suka membantu, semangat dalam hal kebaikan, dan ketulusan dalam berinteraksi maupun berdinamika dengan berbagai pihak lain. Pemahaman mengenai keramahtamahan ini berfokus bukan untuk mereka yang dapat memberikan kembali apa yang kita berikan kepada mereka, namun kepada mereka yang tidak bisa mengembalikan apapun yang kita berikan kepada mereka karena keterbatasan mereka. Sehingga dengan demikian, penyandang disabilitas dapat menjadi subyek yang turut berdinamika dan ambil bagian dalam memperjuangkan kedaulatan literasi di masyarakat pedesaan.

Selanjutnya, dalam memandang keberagaman kepercayaan akan fenomena adat dapat dilakukan dengan belajar dengan melihat konteks. Keberadaan ritual yang ada dalam masyarakat pedesaan dapat direfleksikan sebagai gagasan pengimplementasian kekuasaan Tuhan yang tidak bisa digambarkan dengan liturgi maupun bahasa kata-kata. Konteks inilah yang menjadi kerangka dialog toleransi dalam keberagaman dalam masyarakat desa.

Berbagi di Angkringan: Merayakan Kedaulatan Literasi di Pedesaan

Angkringan sebagai tempat makan bersama dapat ditemui di daerah pedesaaan. Angkringan memiliki kaitan yang erat dalam hidup bersama di keberagaman desa. Masyarakat desa dekat dengan angkringan karena tarif makanan yang ditawarkan cenderung murah dan terjangkau oleh mahasiswa maupun kalangan menengah kebawah. Dalam memperjuangkan kedaulatan literasi di masyarakat desa, penulis melihat angkringan sebagai gagasan ideal untuk merayakan hasil dari pembiasaan membaca.

Angkringan dapat dikelola pemuda desa dengan tata kelola yang sesuai dengan keperluan masyarakat yang ada. Tata kelola yang sesuai dengan kepentingan masyarakat desa dapat melatih kebersamaan pemuda desa dalam mengembangkan bagaimana literasi di desa. Pemuda desa akan berlatih bagaimana pentingnya manajemen bersama. Manajemen yang baik nantinya dapat membantu angkringan sebagai bagian dari peningkatan ekonomi masyarakat desa.

Masyarakat yang memiliki angkringan literasi dapat merayakan hasil bacaannya dengan berbagai kreasi sastra dalam kedaulatannya. Angkringan bisa menjadi ruang diskusi bagi masyarakat desa yang terbuka bagi berbagai latar belakang dari setiap anggota masyarakat. Ruang diskusi yang menarik tersebut memerlukan kontribusi dari pemuda desa dengan berbagai kreatifitasnya. Hal ini akan memberikan ruang karya bagi pemuda, ruang karya dapat membantu meminimalisir berbagai kenakalan remaja yang sering terjadi dalam masyarakat. Selain itu, angkringan yang diberdayakan oleh pemuda desa dapat menjadi tempat bagi kedaulatan dana dalam upaya memperbaharui literasi maupun mengadakan kegiatan literasi secara mandiri.

Angkringan dapat memberikan keuntungan yang bisa dikelola secara bijaksana. Keuntungan berupa uang maupun terbukanya tempat bagi masyarakat untuk berdiskusi merupakan implikasi dari perayaan kedaulatan literasi di lingkungan desa. Angkringan juga memiliki peranan lain seperti sebagai ajang untuk health promotion. Menurut penulis, kesehatan menjadi hal yang penting sehingga masyarakat desa dalam kedaulatan literasi untuk membentuk kebiasaan kebersihan diri yang terimplementasi sebagai personal hygiene atau kebersihan diri. Menjaga diri agar tetap bersih, steril dapat masyarakat desa perlu memperoleh berita yang aktual dengan berbagai macam iklan yang mendidik.

Keberjumpaan masyarakat di angkringan dapat membuka kesempatan bagi klarifikasi berbagai berita hoax hingga kesesuaian dalam kebiasaan hidup yang sehat. Kesehatan menjadi salah satu indikator yang penting dalam kesejahteraan masyarakat desa. Dalam pelaksanaanya perlu kontribusi yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat desa dengan dipelopori oleh pemuda. Pemuda dapat merayakan kedaulatan literasi sebagai selayaknya perawat yang partisipatoris dalam masyarakat. Panggilan bersama untuk merawat komunitas literasi tidak hanya milik pemuda. Namun, berkembang kepada seluruh elemen masyarakat yang ada. Harapannya dapat terbentuk masyarakat desa yang memiliki rasa handarbeni dalam hidup bersama memperjuangkan kedaulatan literasi.

Pemuda dapat membuka berbagai diskusi untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan. Kebersamaan akan terlihat dalam kedaulatan literasi bagi masyarakat desa dengan angkringan ini. Untuk mengadakan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan literasi dapat menggunakan dana yang diperoleh dari keuntungan berjualan dengan angkringan. Sehingga selain menjadi gagasan untuk menjadi tempat berdiskusi dalam desa setelah membaca, angkringan dapat juga sebagai penghasil uang untuk dikembalikan lagi bagi masyarakat dalam bentuk berbagai macam buku bacaan yang bisa dirayakan.

Angkringan yang ada dapat dikelola dengan berbagai bacaan yang dapat membentuk jati diri suatu konteks masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan dapat memanfaatkan angkringan sebagai tempat yang memiliki banyak peranan dalam menjaga kebiasaan membaca. Seperti dapat dimanfaatkan untuk pameran karya kepenulisan. Karya yang dipajang atau dipamerkan bisa memicu semangat warga dusun untuk terus berkarya dalam memperjuangkan kedaulatan literasi secara berkesinambungan. Pandangan yang demikian akan memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk berkreasi membentuk serta menciptakan berbagai hasil untuk kegiatan literasi.

Hubungan komunal yang renggang dalam masyarakat desa dapat dikurangi dengan adanya angkringan yang memiliki ruang rekreasi dan diskusi yang berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal yang hidup dalam angkringan dapat menjadi kekayaan dalam merayakan kedaulatan literasi masyarakat desa. Kedaulatan literasi yang memiliki way of life kearifan lokal dapat berguna juga bagi pelestarian kebudayaan yang ada. Kebudayaan tradisional akan tetap lestari dan berkembang secara relevan seiring masyarakat desa memiliki kebiasaan membaca atau literasi yang memadai. Dalam pandangan penulis, kedaulatan literasi yang terbentuk dapat menjadikan masyarakat mencintai jati dirinya sebagai masyarakat desa yang memiliki kekayaan konteks tersendiri.

Kesimpulan

Kedaulatan literasi bagi masyarakat pedesaan adalah agenda bersama. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai gagasan hingga pendekatan yang sesuai dengan keberadaan konteks masyarakat pedesaan yang ada. Penulis dalam esai ini, penulis memberikan gagasan mengenai bagaimana membangun kedaulatan literasi masyarakat dengan pendekatan mulai dari persoalan merintis diri, meramahkan liyan, dan berbagi di angkringan (merayakan kedaulatan literasi di wilayah pedesaan).

Bagian pertama esai, penulis membahas mengenai bagaimana masyarakat berani melihat konteks keadaan dan terus mengevaluasi diri. Dengan demikian dapat memberikan bahan refleksi dalam membangun serta menumbuhkan kesadaran literasi masyarakat di wilayah pedesaan supaya dapat terus berkembang secara ideal dan relevan. Hal ini perlu diperdayakan serta berdialog dengan realita masyarakat desa yang ada sehingga dorongan supaya masyarakat berani keluar dari zona nyaman dengan meramahkan liyan yang terimplementasi dalam merangkul unsur-unsur lain untuk terlibat, bahkan mereka yang berbeda untuk berdinamika bersama perlu dihidupi. Dengan demikian, masyarakat akan merasa diperlukan kontribusinya akan peran aktif dalam gerakan literasi di wilayah pedesaan.

Hal yang dinantikan adalah kedaulatan literasi di masyarakat pedesaaan. Gagasan akan perayaan literasi perlu dikendalikan agar berjalan secara berkesinambungan, serta terkait bagaimana solusi masalah pendanaan perpustakaan di wilayah pedesaan. Angkringan dapat menjawab serta memberikan kontribusi yang nyata dalam berbagai bentuk kedaulatan literasi dalam bentuk kegiatan seperti berbagi wacana, berdiskusi bersama di angkringan hingga pada pameran karya sastra. Hal yang demikian akan menjadikan rasa nyaman dan kepemilikan akan komunitasnya.

Penulis berharap kontribusi dari berbagai elemen masyarakat dalam mengupayakan gagasan selanjutnya terkait teknis maupun pembagian deskripsi kerja yang memadai serta kompeten bagi bidang-bidang literasi. Dengan demikian, kedaulatan literasi dalam masyarakat pedesaan dapat berjalan secara pasti dan beriringan dengan konteks kehidupan masyarakat yang ada. Masyarakat desa akan tetap menjadi subyek dalam upaya pengembangan kedaulatan literasi di pedesaaan. Sehingga apa yang menjadi potensi serta kekayaan konteks yang ada dapat digunakan untuk kesejahteraan bersama berdasarkan pada kedaulatan literasi.

Daftar Pustaka:

  • “Angkringan – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.” Accessed November 5, 2020. https://id.wikipedia.org/wiki/Angkringan.
  • Bass, B. Rigio, R. Transformational Leadership. New York: Routledge, 2014.
  • Burn, J. Leadership. New York: Open Road Integrated Media, 2012.
  • Dr. Franz Magnis-Suseno SJ,. ETIKA JAWA; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
  • Hamid Wijaya. Kamus Pelajar 945 Milyar. Surabaya: Penerbit Dua Mitra, 2006.
  • Howe, David. Empati: Makna Dan Pentingnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
  • “Mahasiswa – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.” Accessed November 5, 2020. https://id.wikipedia.org/wiki/Mahasiswa.
  • Paulus S. Widjaja, Wahju S. Wibowo (ed.). Merentas Diri, Merengkuh Liyan, Berbagi Kehidupan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2020.

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Yudha Adi Putra
Tempat, Tanggal Lahir : Sleman, 24 November 1999
Alamat : RT 01, RW 07, Sembuh Kidul, Sidomulyo, Godean, Sleman
Pendidikan : Mahasiswa Fakultas Teologi Angkatan 2019 (UKDW)
Kontak Person :

  • 08816405016 (Whatapps)
  • perlukuan@gmail.com (Email)
  • Yudha Adi Putra (Facebook)
  • @perlukuan (Instragram)

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *