Pejuang Literasi

Semangat dan Idealisme sebagai Kemewahan Terakhir Milik Pemuda; Mengawal Budaya Literasi dengan Griya Aksara

“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!”, kutipan dari Bapak Proklamator, Bung Karno selalu mengingatkan betapa mahal dan besarnya semangat pemuda. Seolah-olah menjadi pemuda jauh dari segala ketakutan, apapun impian dan harapan pasti akan mudah dicapai. Tapi perlu dicatat lagi, Bung Karno meminta bukan hanya satu pemuda, akan tetapi sepuluh. Apakah artinya? Iya itu adalah kekuatan pemuda jika mereka berkumpul, bergerak bersama, berkomitmen untuk mencapai tujuannya. Sebesar apapun tujuan tersebut seakan-akan tampak sangat mudah untuk diwujudkan.

Sebagaimana semangat yang ditunjukkan oleh mereka, pemuda-pemudi dari Kabupaten Sidoarjo yang berkumpul bersama dalam Komunitas Rumah Baca Griya Aksara. Mereka yang hadir dari Sidoarjo, Surabaya hingga Gresik merelakan waktu di tengah kesibukannya untuk berkumpul di sebuah ruang kecil, di sebuah sudut Desa Tambak Rejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Kehendak itu pun bukan didasari atas sebuah perintah atau demi mendapatkan keuntungan tertentu, akan tetapi karena keresahan yang sama mereka memulai bergerak dalam wadah rumah baca.

Ironi Ketika melihat lingkungan sekitar yang tidak lagi memberikan ruang bagi anak-anak untuk bermain secara layak dan sehat merupakan alasan awal pentingnya Griya Aksara hadir. Sebagai daerah pinggiran kota, tidak ada lagi lapangan atau sekadar halaman untuk anak-anak dapat bermain bersama seperti generasi sebelumnya. Mereka pun dimanjakan dengan game online dari gadgetnya. Parahnya kondisi tersebut didukung dengan semakin banyak warung kopi alias Warkop dengan layanan full Wi-fi yang semakin menjamur. Jika dulu Warkop hanya digunakan untuk pelanggan pria dalam rentang usia remaja sampai bapak-bapak, akan tetapi saat ini anak-anak pun ikut nimbrung di sana. Lantas, bagaimanakah tumbuh kembang mereka untuk menjadi generasi masa depan Bangsa Indonesia?

Keresahan itulah yang menjadi alasan penggiat Rumah Baca Griya Aksara untuk belajar bersama merawat komitmen bersama demi menciptakan lingkungan sehat yang ramah anak. Langkah itu dimulai dari Nanda, sebagai seorang santri yang baru saja pulang dari pondok mendapatkan tantangan dari Kyai-nya untuk bisa bermanfaat di lingkungan rumahnya. Ia pun menceritakan hal itu pada Cak Bidin, tetangganya. Dari obrolan mereka tercetuslah ide untuk membuat perpustakaan desa atau rumah baca. Saat itu, Cak Bidin memiliki banyak koleksi buku, dan ia bersedia mendonasikan bukunya untuk membuka rumah baca.

Ide untuk mendirikan rumah baca tersebut mendapatkan sambutan hangat dari abah atau ayah Nanda, beliau menyediakan ruangan bekas toko yang tidak dipakai untuk dijadikan rumah baca. Rencana tersebut ternyata mulai terdengar tetangga sekitar. Mereka pun antusias turut berpartisipasi mendirikan rumah baca. Mulai dari menyumbangkan buku koleksi pribadi, membelikan rak hingga bersama-sama merenovasi dan mengecat ruang tersebut untuk menjadi rumah baca yang menarik bagi anak-anak.

Selesai menyiapkan ruang dan fasilitas untuk rumah baca, Nanda mengajak adiknya Dian untuk mulai merancang kegiatan menarik untuk mengajak anak-anak bermain di rumah baca. Mereka berdua menyadari jika bergerak dengan lebih banyak teman akan memudahkan langkah untuk mencapai tujuan. Di saat itulah Dian mulai mengajak pemuda-pemudi dari lingkungan sekitar rumah hingga teman-teman sekolahnya dulu. Satu per satu mereka hadir, dimulai dari Fita, Ida, Puri dan Windi yang merupakan pemuda dari daerah tersebut ternyata memiliki kemauan untuk turut bergabung. Lalu, hadirlah Devi dan Adel teman sekolahnya yang ternyata memiliki ketertarikan yang sama. Setelah mengadakan beberapa kegiatan, ternyata teman dari daerahnya pun juga ada yang tertarik untuk bergabung yaitu Samsul, Wahyu dan Furqon. Ajakan tersebut semakin meluas, hingga akhirnya dari teman ke teman, seperti Gelar yang merupakan teman kuliah dari Samsul.
Belum pernah ada sebelumnya di antara mereka yang memiliki pengalaman untuk mengelola rumah baca. ketertarikan untuk bergabung hanya diawali dengan hobi yang sama, yaitu menyukai buku-buku. Tidak ada yang menjadi tutor, mentor ataupun senior. Mereka berangkat bersama-sama dari ketidaktahuan. Kemauan selalu selangkah lebih maju dari kemampuan. Ilmu dari bangku kuliah yang masih sangat dangkal itu pun menjadi modal untuk merancang program.
Strategi awal yang dipakai Kakak Griya Aksara untuk merancang program adalah dengan membuat dua kategori yaitu Program Pendidikan dan Keterampilan. Program Pendidikan berfokus untuk meningkatkan minat baca anak sedangkan program keterampilan mencoba untuk melatih membuat kerajinan-kerajinan tertentu.

Bagaimana cara mereka membuat program tersebut? Tentu saja tidak lepas dari proses uji coba, belajar otodidak dan tidak boleh ada keraguan untuk memcoba. Seperti program membuat Jurnal Membaca, Devi sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pernah mendapatkan materi kuliah tentang pengembangan program literasi di sekolah. Meskipun ia hanya mengetahui teori dan belum pernah praktik sama sekali, maka saat itu adalah waktu yang tepat untuk mengaplikasikan ilmunya. Bukankah tidak ada yang lebih berguna dari sebuah ilmu yang bermanfaat?

Pelaksanaan program tersebut tentu saja tidak bisa lepas dari segala hambatan dan kendala. Kekurangan selalu ada seiring berjalannya pun mereka mencoba untuk memperbaikinya. Meskipun hasil dan manfaat program tersebut tidak tampak nyata, akan tetapi adanya program tersebut membuat mereka berlomba-lomba untuk bisa dinobatkan sebagai Duta Baca setiap bulannya. Jadi Duta Baca adalah anak yang paling banyak membaca buku dalam kurun waktu satu bulan, buku yang sudah dibaca ditulis identitasnya dalam jurnal setelah itu di-review dengan tanya jawab singkat mengenai isi buku bersama Kakak Griya Aksara.

Begitu pula dengan program yang berkaitan dengan keterampilan, biasanya penggagas dari program ini adalah kakak-kaka calon guru TK, yaitu Kak Ida, Adel dan Puri. Tiga serangkai itulah yang membuat kegiatan di Griya Aksara semakin berwarna. Biasanya mereka mengajak anak-anak untuk membuat kerajinan dari barang-barang bekas, membuat permainan edukatif yang manarik hingga belajar musik dan menari. Biasanya untuk mencari referensi yang menarik membuat keterampilan, mereka belajar dari Youtube. Sementara itu, program ini juga turut memeriahkan kegiatan di lingkungan setempat. Seperti Ketika Agustusan, Kakak Griya Aksara turut berpartisipasi mengisi panggung gembira pada malam 17 Agustus. Mereka melatih adik-adik untuk berani menampilkan beberapa kreatifitas seperti menari, musik akustik, puisi, drama dll.

Sebenarnya tidak ada dari mereka yang benar-benar ahli dalam berbagai bidang tersebut. Akan tetapi mereka tidak pernah lelah untuk belajar dan mencoba mengajarkan demi mampu menyuguhkan penampilan yang menarik di panggung kemerdekaan tersebut. Rasa lelah pun terbayarkan ketika melihat adik-adik senang, percaya diri menjadi bintang di panggung sederhana khas acara di sudut desa. Tentu saja acara pun berjalan dengan lebih meriah dengan hadirnya Griya Aksara bersama mereka.

Merancang program tentu saja tidak cukup untuk menjaga eksistensi Rumah Baca Griya Aksara. Mereka yang merupakan Angkatan generasi milenial tentu saja sangat berteman akrab dengan media sosial. Kesempatan itu pun menjadi trik yang tepat untuk membuat eksis Griya Aksara di dunia maya. Setiap program yang dilaksanakan di rumah baca, tidak lupa diabadikan dengan foto dan caption menarik di media sosial seperti Instagram dan Facebook. Postingan di Instagram pun tidak lupa untuk men-tag jejaring komunitas lain yang memilih tujuan bergerak yang sama.

Kakak Dian dan Kakak Samsul adalah orang yang seringkali bertugas sebagai humas sekaligus admin dari Rumah Baca Griya Aksara. Kepiawaian merangkai kata-kata untuk menjadi caption yang apik dengan kadang-kadang berisi kritik menggelitik membuat akun Griya Aksara menjadi lebih menarik. Tak lupa postingan dalam Instagram juga ditampilkan dengan desain yang ciamik yang merupakan hasil kerjasama tim desain Kakak Griya Aksara, sebut saja Kak Nanda, Kak Windi dan Kak Alfun. Hasil karya mereka membuat akun Griya Aksara tampak instagramable sehingga memanjakan visual followers-nya. Akun tersebut membuat Griya Aksara semakin dikenal di ruang publik. Postingan tersebut membawa keberkahan sendiri bagi rumah baca, donasi banyak berdatangan dari Instagram. Mereka yang hanya melihat di dunia maya ternyata merasa tertarik dan suka rela menyumbangkan bukunya. Griya Aksara juga beruntung terpilih dalam program bantuan buku gratis dari penerbit besar Gramedia. Koleksi buku anak pun menjadi lebih menarik dan variatif.

Eksistensi Griya Aksara semakin terdengar tetangga, alias kampung sebelah. Kegiatan Griya Aksara yang hanya berfokus pada satu wilayah ternyata juga diminati oleh tetangga. Hal itulah yang mencetuskan ide untuk membuat program Angklung (Aksara Keliling Kampung). Jadi untuk satu bulan sekali mereka tidak bergiat di basecamp saja, akan tetapi berkeliling mengunjungi daerah, dusun atau kampung lain di sekitar sana. Mereka berkolaborasi dengan pemuda-pemuda setempat atau yang biasanya diwakili oleh Karang Taruna daerah tujuan. Untung saja, Griya Aksara memiliki Kak Wahyu, Kak Furqon dan Kak Fita yang memiliki kenalan dan akrab dengan organisasi pemuda di Desa Tambak Rejo ataupun desa tetangganya. Kedatangan Griya Aksara di kampung-kampung tersebut disambut dengan antusias warga sekitar. Kegiatan mereka yang cenderung masih sangat jarang diadakan di sana menjadi hal yang sangat menarik terutama bagi anak-anak. Buku bagi mereka belum menjadi kebutuhan karena aksesnya yang terlalu mahal. Maka kedatangan Griya Aksara menjadi kesempatan untuk mendekatkan buku dengan mereka.

Kegiatan Angklung tidak serta merta diisi dengan lapak baca saja karena hal itu akan membuat kegiatan menjadi membosankan. Akan tetapi mereka mengemas kegiatan tersebut dengan berbagai permainan out door yang menarik seperti dolanan tradisional. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui menjadi pepatah yang cocok untuk menggambarkan program tersebut.

Rendahnya kesempatan membaca buku dan keawaman anak-anak terhadap permainan teradisional menjadi permasalahan yang dapat diselesaikan sekaligus melalui program Angklung. Pada hari minggu yang ceria itu pun anak-anak mendapatkan kesempatan untuk membuka wawasan pengetahuan mereka dan merasakan bermain besama teman-teman melalui kegiatan Angklung.

Setelah mengadakan kegiatan bersama karang taruna daerah setempat, terpikirlah ide untuk mengadakan acara Camping, mereka menyebutnya Camping Ceria Aksara. Kami mengundang adik-adik dari berbagai daerah dengan Kakak Kartar-nya. Kegiatan tersebut menjadi kesempatan antar karang taruna dan komunitas setempat untuk belajar mengadakan kolaborasi. Selain adik-adik saling mengenal satu sama lain, kolaborasi tersebut juga menciptakan jaringan antar pemuda yang diharapkan bersama-sama dapat membangun daerahnya. Hadirnya program tersebut juga diharapkan dapat menjadikan Griya Aksara dapat lebih diterima lagi di masyarakat dan diminati pemuda-pemudi setempat sebagai wadah untuk belajar, berkontribusi dan bergerak menyemarakkan literasi di desa-desa.

Kelincahan berselancar di dunia maya Admin berhasil menemukan grup online yang berisi komunitas yang sama-sama bergerak dalam bidang literasi. Ruang itulah yang menjadi tempat untuk saling berbagi program atau kegiatan di rumah baca mereka. Ketika berhasil memperluas jejaring penggerak literasi, Komunitas Griya Aksara mulai melakukan berbagai kegiatan kolaborasi. Seperti dengan komunitas SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi), kakak-kakak Griya Aksara turut bergabung dengan komunitas tersebut dan meng-upgrade ilmunya dalam kesempatan tersebut. Mereka pun mempelajari nilai-nilai anti korupsi yang digagas hingga mempelajari media yang komunitas SPAK dalam mengkampanyekan Gerakan Anti Korupsi. Kolaborasi tersebut melahirkan kegiatan-kegiatan menarik baik di rumah baca ataupun di luar. Hubungan simbiosis mutualisme tersebut menambah keragaman kegiatan yang tentu saja membuat adik-adik sebagai pengunjung Rumah Baca Griya Aksara semakin senang.

Tidak hanya SPAK, beberapa komunitas lain juga mulai berdatangan menjadi tamu untuk mengisi program di Griya Aksara. Seperti SSC (Save Street Childern), 1000 guru, Kampung Dolanan dll. Komunitas Griya Aksara juga berhasil mendapatkan tempat dalam jaringan rumah baca se-Kabupaten Sidoarjo. Melalui jaringan tersebut mereka melakukan kegiatan bersama seperti Lapak Baca bersama di alun-alun dan berbagai kegiatan literasi lainnya. Berada dalam jaringan komunitas tersebut menjadi suntikan semangat bagi mereka, Kakak-Kakak Griya Aksrara. Kebersamaan tersebut mengajarkan bahwa mereka sedang tidak berjuang sendiri, bersama antar komunitas saling berpegang tangan, bahu-membahu mewujudkan tujuan, saling merawat dan menjaga komitmen untuk memperpanjang umur kegiatan baik tersebut.

Semakin luas jejaring yang dibangun untuk komunitas Griya Aksara, membuka kesempatan kakak-kakak Griya Aksara untuk belajar dan belajar lagi. Saat itu sedang maraknya didengungkan istilah “literasi”. Kampanye program literasi pun ada di mana-mana, baik dari dunia akademisi ataupun warung kopi. Ketika mendengar seminar yang berkaitan dengan literasi, mereka berlomba-lomba untuk mengikutinya. Banyak ilmu diserap, banyak pula yang bisa dijadikan inspirasi untuk mengembangkan program menarik untuk Griya Aksara. Langkah mencari ilmu tersebut terasa sangat ringan Ketika mereka datang bersama-sama.

Di penghujung tahun 2017 terjadi puting beliung di Kabupaten Sidoarjo, basecamp Griya Aksara termasuk yang cukup parah terdampak bencana tersebut. Tak dapat dihindari, beberapa buku dan fasilitas di rumah baca juga rusak. Beberapa buku pun rusak karena basah. Kerugian secara materil pasti tidak dapat dihindari. Keadaan tersebut tentu saja tidak bisa membuat kami berhenti untuk bergiat. Warga sekitar juga banyak mengalami kerugian, rasa trauma pun juga dirasakan anak-anak. Maka kehadiran Griya Aksara di tengah bencana tersebut menjadi media untuk membantu sesama.

Akun media sosial Griya Aksara menjadi pintu untuk menghubungkan orang-orang yang peduli dan merasa berempati atas musibah tersebut. Postingan Rumah Baca Griya Aksara digunakan untuk mengkabarkan kondisi masyarakat sekitar. Respon yang didapatkan sungguh luar biasa, begitu banyak orang baik yang mereka temukan dari media sosial tersebut. Baik secara individu, kelompok ataupun komunitas mereka memberikan semangat kepada warga sekitar dengan bantuan baik secara materil maupun moril. Donasi berupa uang tunai, sembako dan lain-lain pun bisa dikumpulkan dengan pintu akun media sosial Griya Aksara. Tidak sedikit pula relawan dari berbagai komunitas yang hadir di tempat bencana untuk membantu merenovasi rumah warga atau memberikan trauma healing untuk anak-anak yang terdampak bencana.

Bencana tersebut bagaikan dua sisi mata pisau bagi komunitas Griya Aksara, selain mengakibatkan kerugian, akan tetapi juga dapat membuat eksistensi Rumah Baca Griya Aksara semakin dikenal dan diapresiasi kontribusinya bagi publik, apalagi masyarakat sekitar.

Berdiri sebagai komunitas yang independen, tanpa adanya dukungan dari pemerintah desa setempat membuat keberadaannya tidak stabil. Meskipun dulunya diberi ruang secara sukarela untuk bergiat, tapi juga tidak dapat dihindari jika suatu hari ruang tersebut dibutuhkan oleh sang pemilik. Begitulah kondisi Griya Aksara sekarang ini, mereka tidak dapat mengelak atau mengajukan keberatan untuk basecamp yang akan dialihfungsikan. Abah sebagai pemilik rumah membutuhkan renovasi dan menjadikan ruang tersebut sebagai rumah anaknya. Kakak-kakak Griya Aksara pun harus memutar otak untuk menggunakan strategi yang tepat dalam mengatasi kondisi tersebut. Mereka pun mencoba melakukan konsolidasi dengan otoritas setempat namun hasilnya tetap nihil.

Kontribusi Griya Aksara selama ini ternyata belum dilihat oleh pemerintah setempat sebagai bentuk partisipasi untuk membangun daerah setempat. Pihak yang berwenang tidak tertarik untuk setidaknya sedikit memberikan ruang bagi komunitas Griya Aksara untuk bergiat.

Sharing, diskusi antar penggiat Griya Aksara sudah sering dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Beberapa alternatif pilihan tempat juga saling diajukan. Akan tetapi setelah belajar dari pengalaman dan mempertimbangkan resikonya usulan tersebut menjadi keraguan.

Setelah cukup lama berkutat dengan permasalahan yang sama, mereka pun cukup lelah dan merasa hanya berjalan di tempat saja. Gara-gara permasalahan tersebut kegiatan rumah baca Griya Aksara menjadi mati suri. Adik-adik di daerah setempat juga tampaknya menjadi kecewa, tidak ada lagi ruang bermain yang asyik bagi mereka. Warung-warung kopi kembali dipenuhi adik-adik yang sibuk bermain game online. Selain adiknya, kakak-kakak Griya Aksara juga mulai disibukkan dengan agenda pribadinya. Tempat mereka bertemu dan berkarya memang sudah tidak ada lagi dan mereka pun tenggelam dalam kesibukan. Meninggalkan semangat yang dulu dipupuk bersama, mengusik sedikit kata rindu. Meskipun banyak pekerjaan ataupun tugas kuliah yang menanti, akan tetapi hati bergejolak untuk mulai bergiat lagi.

Hingga akhirnya grup Whatsaap yang biasanya sepi itu, dibuat ramai oleh notifikasi dari Adel, pegiat Griya Aksara yang saat itu memutuskan untuk melanjutkan studi pascasarjana.

“Kumpul yuk, Rek, rindu!!” Satu pesan tersebut ternyata disambut antusias yang lainnya.

Tepat malam itu pun mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Kak Wahyu. Pertemuan itu menjadi yang kali pertama setelah enam bulan tidak bersua. Suara tawa atas segala candaan dan ledekan mewarnai pertemuan malam itu.

Mereka saling ledek atas kesibukan yang memperbudak keseharian. Tawa tersebut mencairkan suasana seakan-akan melepas segala penat. Meskipun terkesan hanya bercanda, namun pertemuan malam itu melahirkan rencana untuk mengadakan Angklung di Dusun Tambak Sari, tempat tinggal Kakak Furqon. Saat itu, bertepatan dengan bulan Agustus, jadi acara Angklung diadakan untuk memperingati hari Kemerdekaan.

Rencana itu pun disampaikan di Ketua RT setempat tak lupa juga Karang Taruna di sana. Sambutan mereka sangat menyenangkan dan antusias atas kegiatan tersebut. Kegiatan Angklung perdana setelah kematisurian komunitas Griya Aksara sukses dilaksanakan. Warga sekitar senang, adik-adik pun antusias.

Setelah beberapa hari kegiatan hari pelaksanaan kegiatan tersebut, mereka mendapat kabar bahwa Karang Taruna di sana menjadi aktif kembali dan mulai mengadakan kegiatan. Kabar itu menjadi suntikan semangat bagi mereka untuk tetap merawat komitmen menyebarkan semangat literasi.

Rapat evaluasi pun diadakan. Pada kesempatan itu mereka mulai memikirkan cara untuk menjaga eksistensi komunitas Griya Aksara yang telah berjalan empat tahun ini. Para penggiat komunitas Griya Aksara untuk sekali lagi merefleksi perjalanannya selama ini. Setelah mempertimbangkan kondisi kebutuhan baik untuk komunitas atau kakak-kakak maka tercetuslah komitmen untuk memperkuat kegiatan Angklung. Kami, kakak-kakak Griya Aksara akan berkomitmen untuk menjaga konsistensi kegiatan Angklung untuk berjalan selama dua minggu sekali. Selain itu, konsep Angklung kakak Griya Aksara tidak hanya berkegiatan sendiri tetapi juga mengajak warga sekitar atau pemuda dari lingkungan yang menjadi target lokasi berkegiatan.

Sementara itu, kami juga mendatangi dan mengajak pemuda dari sekitar lingkungan untuk merancang dan berdiskusi mengenai konsep Angklung yang akan dilaksanakan. Selain dalam berkegiatan bersama, merancang program Angklung kami lakukan secara terbuka. Hal itu bertujuan agar kakak Griya Aksara maupun pemuda dari lingkungan sekitar leluasa menyampaikan ide yang nantinya akan dipraktekkan bersama.

Konsep kegiatan Angklung diubah menjadi bertamu ke suatu daerah dan bekerjasama dengan organisasi pemuda setempat. Satu panah dua burung herang, menunjukkan keuntungan dalam konsep kegiatan tersebut. Selain bertujuan untuk menyebarkan semangat literasi, program tersebut juga bertujuan untuk membentuk jaringan kerjasama antar organisasi pemuda di daerah tersebut. Dengan semakin luasnya jaringan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya literasi.

Sejak program tersebut dilaksanakan, kegiatan Angklung telah dilaksanakan tujuh kali dan menapak di beberapa desa seperti Tambak Rejo, Tambak Sari, Tambak Sumur, Perumahan Mentari dan Berbek yang masih berada dalam satu Kecamatan Waru. Komunitas yang tak berumah ini akan semakin semangat bergerak dan bergerilya ke daerah-daerah lain dengan mengusung semangat literasinya. Semakin sering dan semakin jauh menapakkan langkahnya, maka semangat literasi akan semakin luas ditularkan. Hingga akhirnya, Griya Aksara dapat hadir untuk menggurat sangka, menggugah makna dan menghidupkan aksara. Semoga saja Griya Aksara dengan kegiatan Angklungnya yang telah rutin berjalan selama tujuh kali berturut-turut dapat mereka rayakan hingga ke-100-nya. Panjang umur, rutinitas baik!

Biografi Singkat Penulis dan Tokoh Cerita

Nadya Rizqi Hasanah Devi, perempuan yang lahir di Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 7 Oktober 1996. Tempat tinggalnya di Desa Tambak Sumur, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Lulusan S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Kampus Pendidikan, UNESA (Universitas Negeri Surabaya). Kali pertama terjun dalam dunia literasi ketika mendapatkan tugas melakukan penelitian pengabdian masyarakat bersama dosennya. Penelitian tersebut berjudul MADAM SILA (Mahasiswa Pendamping Literasi Sekolah Untuk Surabaya Kota Literasi) dan dilaksanakan di SMPN 26 Surabaya. Penelitian tersebut bertujuan untuk menciptakan ekstrakurikuler untuk mewadahi siswa yang memiliki ketertarikan di dunia sastra. Penelitian tersebut terpilih menjadi salah satu penelitian yang dipresentasikan dalam Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) di ITB pada tahun 2018. Pengalaman pertama itulah yang membuatnya tertarik untuk terjun di dunia literasi dan bertemu dengan teman-temannya dalam Komunitas Rumah Baca Griya Aksara. Bergiat di komunitas tersebut membuatnya semakin jatuh cinta lagi dengan dunia literasi hingga tugas akhir studinya menghasilkan penelitan yang berjudul Pengembangan Kartu Cerita untuk Meningkatkan Minat Baca di Komunitas Griya Aksara. Penelitian tersebut mendapatkan penghargaan Juara Kedua dalam Lomba Poster Literasi Tingkat Nasional yang diadakan oleh Pusat Studi Literasi UNESA.
Sepak terjang menjadi anggota komunitas rumah baca membuatnya belajar untuk terjun menjadi petugas perpustakaan di desa tempat tinggalnya. Kegigihan dalam belajar tersebut membuatnya mendapatkan penghargaan pada tahun 2018 menjadi Juara Ketiga dalam Lomba Pengelolaan Perpustakaan Desa se-Kabupaten Sidoarjo.

Kegiatan lainnya adalah sebagai seorang guru Bahasa Indonesia di Sekolah Swasta. Kegiatan mengajar yang dilakukannya membuatnya ingin melakukan uji coba untuk mengeksplorasi kegiatan literasi yang menarik untuk dapat diaplikasikan pada anak didiknya. Hasil percobaan tersebut ditulisnya dalam Lomba Penulisan Artikel Ilmiah Populer Tingkat Provinsi kategori Guru yang diadakan oleh Perpustakaan Daerah Jawa Timur. Artikel yang berjudul “Virus Positif Dengan Kegiatan Membaca di Media Sosial” mendapatkan penghargaan sebagai juara kedua dalam kompetisi tersebut. Saat ini ia sibuk untuk menyelesaikan studi pascasarjananya di Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil prodi Linguistik Terapan, konsentrasi Pendidikan Sastra.

Untuk mengenalnya lebih dekat lagi bisa mengunjungi media sosialnya, IG: @nadevi_1007, Email: [email protected] atau Nomor Whatssap: 082141643450.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *