Bangsa maju masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Aktivitas membaca bagi mereka dijadikan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Misalnya Finlandia yang terbiasa membacakan dongeng pengantar tidur dengan tujuan agar membentuk pribadi positif dalam diri anak. Juga ada Belanda yang membiasakan membaca sejak dini. Bahkan saat bayi-bayi mereka berusia empat bulan telah mendapatkan formulir keanggotaan perpustakaan. Serupa pula dengan Swedia juga membiasakan hal yang sama. Bahkan buku di sana dijadikan bingkisan untuk keluarga yang baru mendapatkan bayi.
Dari ketiga negara ini mari kita bertanya, bagaimana dengan Indonesia? Fakta menyebut Indonesia merupakan salah satu negara yang angka literasinya sangat rendah dibandingkan lainnya. Dilansir dari laman kominfo.go.id, UNESCO menyebut negara kita berada diposisi kedua dari bawah mengenai minat baca. Sekitar 0,001 di antara 1000 orang, artinya hanya ada satu orang yang memiliki minat membaca. Ini benar-benar mengkhawatirkan, bukan?
Persoalan yang ditimbulkan oleh kurangnya minat baca adalah masyarakat cenderung berpikir itu-itu saja,tidak mampu bersaing dengan negara lainnya, kurang kreativitas dalam mengembangkan potensi diri karena sempitnya angka ilmu pengetahuan. Bahkan efek dari kurangnya konsumsi bacaan, masyarakat hari ini sangat mudah terperangkap pada jaring berita hoax. Tentu itu masalah besar bukan? Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini beberapa tahun ke depan.
Menanggulangi itu semua memang tidaklah mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Selama ini berbagai sektor telah berusaha memberikan sarana untuk memudahkan memperoleh bacaan. Seperti penyediaan buku secara online di aplikasi IPUSNAS, jurnal-jurnal penelitian pun sudah sangat mudah dijangkau melalui media sosial kita. Namun hingga detik ini, tingkat minat baca masihlah sama. Lantas, di manakah permasalahannya?
Rifa’i Rif’an dalam bukunya 25 Kebiasaan Anak Sukses menyebut orang sukses memiliki kebiasaan membaca yang gila. Orang-orang sukses pun tidak luput dengan membaca, seperti halnya Soekarno semenjak kecil suka membaca politik. Alhasil ketika besar menjadi seorang politikus. Namun sayangnya kebiasaan semacam itu masih belum mengakar di bawah alam sadar orang-orang Indonesia. Bahkan dipandang tabu, jika membaca buku di tempat umum seperti di warung kopi dan di atas kendaraan.
Anggapan tabu kepada seseorang yang membaca disinyalir karena belum tertanam kebiasaan di lingkungan masyarakat, Kebiasaan terbentuk jika sering dilakukan dan saat melakukannya tidak perlu lagi berpikir berkali-kali. Di sini faktor mental dalam memandang sesuatu menjadi terbentuk. Jika semenjak dini sudah dibiasakan memandang jauh dari bacaan, maka ia akan merasa aneh ketika dihadapkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan membaca. Begitupun sebaliknya, seseorang akan otomatis mengambil kesempatan membaca.
Pada paragraf awal saya menyinggung mengenai tiga negara yang memiliki minat baca tinggi. Dari ketiganya memiliki kesamaan kebiasaan yang memantik tonggak bangsanya memiliki pengetahuan besar di masa mendatang. Siapa mereka? Dia adalah keluarga sebagai madrosatul ula bagi generasi selanjutnya. Keluarga adalah komponen terkecil dari sebuah negara. Di samping itu lingkungan keluarga peletak dasar kepribadian anak. Anak pada mulanya seperti kertas putih kosong atau meminjam istilah Aristoteles tabula rasa. Orangtua dan lingkungan sekitarnya yang membentuknya.
Semenjak dini seorang anak—cikal bakal generasi mendatang—perlu dibiasakan dekat dengan buku. Orangtua perlu membacakan buku atau mendongeng saat anak akan tidur. Kemudian bisa pula dengan mengajak anak pergi ke toko buku dan membantu mereka untuk memilihkannya. Problem lain yang kerapkali penulis temui khususnya di desa adalah, ketika orangtua menyuruh anaknya membaca buku, namun sang orang tua malah menonton televisi, Anak sejatinya memperhatikan orang-orang sekitarnya. Jika orangtuanya semacam itu, tentu ia enggan melakukannya. Bahasa lainnya orangtua sebagai modeling untuk anak-anaknya.
Dalam rangka menanggulangi persoalan rendahnya minat baca, khususnya di tingkat desa, sudah seharusnya semua komponen bersinergi. Khususnya memberikan pemahaman kepada orang tua atau bakal orang tua mengenai pendidikan membaca anak semenjak usia dini. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Semua harus bisa bergandengan tangan untuk mensukseskannya. Baik keluargam pemerintah, pendidik, maupun masyarakat keseluruhan. Apalagi sekarang buku bisa dijangkau di manapun. Bahkan di tempat terpencil sekalipun. Kunci utama adalah berani memulainya.
Referensi:
- Anggraini, Nita. tt. “Peran Orang Tua dalam Meningkatkan Minat Baca Anak TK di Kecamatan Pulung,” Jurnal Unair
- https://www.kominfo.go.id/Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos
- Rif’an. Ahmad Rifa’i . tt. 25 Kebiasaan Anak Muda Berprestasi. tp: Marsua Media
- S, Listiana . 2019. The Importance of Habits Menajamkan Kebiasaan Diri untuk Menjadi Orang Berprestasi. Jogjakarta: Desa Pustaka Indonesia
BIODATA PENULIS
Nurhalimah, lahir di Lumajang, 31 Mei 1998. Sekarang tinggal di bawah kaki gunung, tepatnya Desa Ranuyoso. Ia adalah owner duniahalimah.com, owner Jejak Books Store, dan Tim redaktur kamianakpantai.com. Tulisannya dimuat di berbagai media dan buku antologi. Pernah menjuarai lomba esai yang diadakan Shalazz pada tahun 2019, penulis terbaik dalam buku Kita Dari Kata (2020). Lulusan terbaik 1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Kini tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Bisa dihubungi di E-mail: [email protected], wa: 0822 2832 3940, Ig: @nurhalimah.98, twitter: @duniahalimah, You Tube: Dunia Halimah.