Bilik Pustaka

Layanan Setulus Hati (Perhatian dan Diperhatikan)

Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2012, indeks membaca Indonesia menyentuh angka 0.001, di mana angka tersebut menunjukan bahwa di antara 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang membaca. Berdasarkan 61 negara yang telah disurvey oleh Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016, dalam studinya yang berjudul “Most Littered Nation In the World” menyatakan bahwa minat membaca orang Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang diikutkan dalam survey tersebut (Nurrohmah 2018).

Beberapa studi menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah disebabkan oleh infrastruktur yang kurang memadai namun berasal dari rendahnya tingkat keinginan dalam hal membaca. Adapun beberapa hasil penelitian menunjukan rendahnya minat membaca ini disebabkan oleh beberapa hal. Hal yang paling mendasari dari rendahnya minat membaca ini adalah kurangnya akses terhadap buku itu sendiri. Dengan mempertimbangkan daya beli, untuk mendapatkan buku yang bagus dengan bahasa berkualitas tinggi, cukup tidak mudah untuk didapatkan di Indonesia. Sebagian besar bahan bacaan yang dapat dijangkau adalah buku bacaan yang ringan, buku teks, atau koran yang memberikan ruang kecil untuk pembaca.

Berkaitan dengan hal diatas, maka perpustakaan selayaknya harus hadir di tengah-tengah masyarakat guna memberikan layanan yang lebih terjangkau baik secara finansial maupun bentuk pembudayaan gemar membaca dikalangan masyarakat. Keterbukaan informasi melalui akses bacaan memang menjadi hal yang masih dirasa kurang terlebih di pedesaan. Hal ini tidak melulu tentang infrastruktur literasi yang kurang memadai tetapi bisa jadi dibalik itu ada suatu fenomena yang membuat infrastruktur tersebut tidak atau belum menjadi prioritas pembangunan.

Menurut analisa penulis, kehadiran perpustakaan di kalangan penduduk desa masih belum menjadi keperluan prioritas. Hal ini bukan berarti jika ada perpustakaan maka tidak ada pemustaka yang akan berkunjung ke perpustakaan, melainkan bagaimana perpustakaan bisa berdiri di pedesaan. Saat ini akses bacaan umum yang ada di desa dilaksanakan melalui gerakan yang timbul dari akar rumput itu sendiri yaitu dengan munculnya berbagai komunitas atau pegiat literasi baik itu TBM, perpustakaan desa, perpustakaan pondok pesantren dan yang lainnya. Mereka hadir ditengah-tengah masyarakat atas dasar keresahan dan rasa tanggungjawab yang tinggi pada kelangsungan hidup masyarakat dalam hal pemenuhan informasi.

Para pegiat literasi sebagaimana kita ketahui keberadaannya, dalam hal pengembangan koleksi biasanya selalu mengandalkan dana pribadi, terlebih karena mereka suka terhadap aktivitas membaca buku dan rela dalam hal ini menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dibelikan pada buku dan setelah itu secara terbuka dilayankan juga kepada pemustakanya yang ingin meminjam koleksi yang dimiliki pegiat tersebut. Dari hal demikian saja dapat kita lihat bahwa koleksi yang dimiliki oleh pegiat literasi tersebut bisa dikatakan subjektif berasal dari minat pemilik koleksi tersebut.

Lalu dari mana para pegiat literasi ini mengembangkan koleksinya lagi?

Biasanya setelah pegiat tersebut dikenal luas melalui programnya secara sukarela melayankan koleksi pribadinya kepada masyarakat, seiring perjalanan waktu mereka akan dikenal luas dan hingga akhirnya terdengar gaungnya oleh orang lain atau institusi yang mempunyai koleksi yang ingin dihibahkan atau dengan pemerintah yang memiliki konsen pada bidang literasi dalam hal ini Dinas Pendidikan atau Dinas Perpustakaan misalnya. Begitupun dengan usahanya untuk mengajukan hibah dan kerja sama lainnya.

Selanjutnya seiring perkembangan waktu dan informasi yang mereka dapatkan semakin luas, ada keinginan untuk mengurusi legalitas institusi seperti dibentuknya Yayasan atau lain sebagainya. Dan pergerakan pun berlanjut seperti biasanya. Pegiat literasi beraktivitas sebagaimana biasanya, mengembangkan koleksi dengan cara pendanaan dengan saku pribadi atau patungan dan hibah atau donasi serta mengeksplor berbagai jenis layanannya secara otodidak.

Konsep demikian bisa jadi akan menghasilkan perpustakaan yang melejit karena founder atau pegiat yang ada terus mengeksplor ilmu dan bacaannya sehingga mereka menemukan konsep baru yang optimal dan prima, atau bisa jadi gerakan yang sebatas cuma-cuma karena ketersediaan koleksi dan akses bacaan yang belum optimal terlebih dana yang menjadi salah satu faktor penghambat. Hal inilah yang menjadikan para pegiat literasi ini tidak terkontrol pergerakannya atau bahkan resisten terhadap pemerintahan karena sudah terlalu menganggap bahwa gerakan ini adalah gerakan miliknya dan tidak bisa ada campur tangan oleh pihak lain.

Dari fenomea tersebut dapat kita lihat bahwa ada dua sisi positif dan negatif gerakan literasi yang timbul dari akar rumput. Penulis tidak bermaksud mengartikan bahwa yang negatif ini buruk, melainkan kurang optimal. Sisi positif dari gerakan yang timbul dari akar rumput adalah besarnya rasa tanggung jawab dan rasa saling memiliki diantara para pengurus. Hal ini dikarnakan mereka yang merasakan sendiri bagaimana mempunyai keresahan melihat fenomena dilingkungan sekitarnya dan ingin melakukan suatu perubahan tetapi dengan kondisi yang terbatas, sehingga pada akhirnya melakukan gerakan yang bisa dikatakan nekat dan berani membuka layanannya kepada masyarakat. Keputusan untuk terjun di masyarakat adalah hal yang luar biasa dan patut diapresiasi.

Selain itu sisi positif lainnya ialah, para pegiat yang timbul dari akar rumput biasanya mengetahui betul bagaimana karakteristik pemustakanya. Hal ini dikarenakan unsur pemustaka yang homogen serta layanan yang berbasis ikatan batin. Penulis menyatakan demikian berdasar dari apa yang penulis temukan dibeberapa pegiat literasi yang penulis temui umumnya mereka sangat memberikan perhatian kepada pemustakanya baik itu anak-anak maupun dewasa. Mereka seolah-olah berinteraksi secara personal untuk kegiatan layanan yang berbasis transaksional seperti meminjam buku atau pemanfaatna fasilitas lainnya. Hal ini yang belum penulis temukan di perpustakaan-perpustakaan formal di Indonesia.

Dalam agenda pembangunan nasional, perpustakaan menjadi prioritas pembangunan nasional 2019-2024 yaitu mendukung pemerataan layanan pendidikan berkualitas dengan menjadikan perpustakaan sebagai sarana penguatan literasi untuk kesejahteraan dengan kebijakan transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial (Nurrohmah 2018). Sementara itu kaitannya dengan pemerintah desa, dana desa dapat dialokasikan pada pembangunan perpustakaan desa. Hal tersebut menjadi angin segar bagi gerakan literasi di desa mengingat perhatian pemerintah pada aksesibilitas informasi dan ilmu pengetahuan dapat terbuka bagi masyarakat. Hanya saja bagaimana gerakan ini bisa terus berkelanjutan dan tumbuh adalah fokus utama pada pergerakan perpustakaan desa ini.

Menurut hemat penulis perpustakaan desa harus digerakan oleh pegiat literasi dalam hal ini bukan dari unsur pemerintah desa yang ditunjuk menjadi pengelola perpustakaan desa. Hal ini karena para pegiat literasi sudah memiliki modal sosial yang tertanam pada dirinya, tinggal bagaimana secara administratif dimusyawarahkan supaya menjadi perpustakaan desa. Artinya ada kebijakan-kebijakan antara dua belah pihak dari desa yang memiliki modal finansial dan bersifat administratif serta pegiat literasi yang umumnya bergerak secara organik tanpa ada ikatan prosedural. Hal ini menjadi penting dan harus ditemukan kesepahaman antara dua belah pihak terlebih dahulu.

Mengapa tidak dari unsur pemerintah desa yang ditunjuk menjadi pengelola perpustakaan?

Faktor penunjukan yang sebelah pihak atas dasar komando yang bersifat hirarkis dari kepala desa tanpa ada pertimbangan yang matang hanya akan menghasilkan perpustakaan desa sebagai sarana pencitraan saja bahwa bangunan perpustakaan atau layanan perpustakaan sudah ada dan terdokumentasikan. Hal ini yang menjadikan perpustakaan akhirnya jalan ditempat dan tidak mendapat hati di masyarakat.

Setelah pengelola perpustakaan tersebut ada dan dipastikan dari pegiat literasi atau mereka yang benar-benar peduli terhadap gerakan literasi, hal selanjutnya yang penulis sarankan ialah pembinaan pustakawan atau pengelola perpustakaan terlebih dahulu berbasis data dan hasil riset, baik yang sudah ada ataupun berdasarkan pada unsur kelokalan daerah tersebut. Unsur kelokalan yang dimaksud oleh penulis ialah, para pustakawan atau pengelola perpustakaan harus digali terlebih dahulu potensi dan kekurangan mereka baik itu hardskill atau softskill yang dimilikinya. Mengingat fokus perpustakaan desa harusnya meluas tidak seperti taman baca yang umumnya berfokus pada pemustaka golongan anak-anak dan remaja. Perpustakaan desa seharusnya berfikir secara holistik bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang literat tidak cukup pada layanan untuk anak dan remaja saja. Mengingat justru orang tua yang literat akan menghasilkan generasi muda yang literat juga. Oleh karena itu perpustakaan desa seharusnya bisa melihat hal tersebut sebagai visi mereka, yaitu pelayanan yang menyeluruh kepada pemustaka.

Pihak desa atau institusi yang berkaitan dengan program literasi, dan pembangunan manusia dalam hal ini Dinas atau OPD harus sebisa mungkin menyediakan program upgrading pustakawan atau pengelola perpustakaan desa ini sebelum nantinya membuka pelayanan perpustakaan desa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan atau kerja sama dengan institusi swasta penyedia jasa pelatihan dan upgrading skills. Pembekalan pustakawan ini nantinya akan berdampak besar pada pelayanan perpustakaan yang unik dikemas dengan cara lokal dengan konten yang berkualitas serta kemampuan para pengelola perpustakaan dalam melakukan advokasi untuk menujang keberlangsungan perpustakaan desa nantinya.

Selanjutnya adalah pemetaan potensi pemustaka dalam hal ini dimaksudkan untuk menunjang kegiatan pengadaan koleksi yang diharapkan tepat sasaran. Jangan sampai pengadaan koleksi hanya berdasarkan pada jumlah koleksi yang banyak untuk memperindah ruangan atau kesan perpustakaan yang memiliki koleksi dalam jumlah banyak sehingga memungkinkan pemustaka dapat mengeksplor bahan bacaan sebanyak-banyaknya. Hal demikian hanya akan menjadikan koleksi perpustakaan lapuk dan tidak digunakan.

Pengadaan koleksi seharusnya bersumber dari kebutuhan pemustaka itu sendiri dan juga hasil RnD pengelola perpustakaan dengan tujuan sebenar-benarnya untuk peningkatan literasi masyarakat. RnD dapat dilakukan dengan mempertimbangkan temuan dan masukan dari berbagai pihak mitra kolaboratif dalam hal ini penulis meringkasnya dalam bentuk pentahelix yaitu unsur akademisi, bisnis, komunitas, pemerintahan, dan media. Kelima unsur tersebut sebisa mungkin dijadikan mitra kunci yang dapat diminta masukan dan perhatiannya pada gerakan literasi masyarakat pedesaan baik itu terkait pengadaan koleksi, sarana prasarana ataupun bentuk penguatan-penguatan lainnya.

Sekilas mengenai mitra kunci pentahelix ini, setiap unsur memiliki karakteristik dan caranya masing-masing dalam melakukan pendekatannya. Oleh karena itu, pustakawan atau pengelola perpustakaan desa harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi yang tepat pada berbagai unsur diatas, tentunya hal ini didapat dari pembekalan softskill dan hardskill sebelumnya yang penulis bahas serta pengalaman dan bacaan yang mereka manfaatkan dari selama ia konsen dalam bidang pengembangan literasi tersebut.

Hal selanjutnya dalam menjalankan perpustakaan desa ialah ujung tombak dari perpustakaan itu sendiri, yakni pelayanan perpustakaan. Layanan yang optimal diperpustakaan akan menghasilkan luaran yang optimal pula. Pegiat literasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki modal sosial salahsatunya mampu melakukan komunikasi yang intim dalam melakukan pelayanan kepada pemustaka yang hadir, hal ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi pemustaka yang hadir juga penggalian informasi yang bisa jadi secara terbuka dapat diperoleh dari para pemustaka yang nantinya berguna untukt dijadikan rujukan baik untuk pengembangan perpustakaan itu sendiri atau masukan bagi desa terkait kondisi lingkungan warganya. Ini akan berdampak luas pada program tepat sasaran di desa baik itu dalam pembangunan fisik infrastruktur ataupun pembangunan manusia dan alam. Sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs secara bertahap dapat dilaksanakan di desa.

Sebagai perpustakaan desa juga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Harus bisa mengakomodir pemustaka dari berbagai kalangan baik itu anak, remaja, dewasa bahkan orang tua. Oleh karena itu pustakawan atau pengelola perpustakaan desa juga dalam melakukan layanannya harus secara cermat dan tangkas menghadirkan layanan-layanan yang inovatif baik itu kursus, pelatihan, mendongeng untuk anak-anak, layanan internet gratis dan sebagainya hasil dari RnD.

Semua langkah diatas adalah rangkaian perjalanan yang ideal menurt penulis. Namun kenyataan dimasyarakat tentunya tidak semulus demikian. Oleh karena itu, langkah-langkah tersebut sebenarnya adalah proses yang dinamis dan dapat dilakuan dari apa yang terlebih dahulu perpustakaan desa tersebut butuhkan. Tidak melulu dimulai dari pemilihan pengelola perpustakaan yang harus dari pegiat literasi, karena sejatinya hal demikian ini dapat dibentuk seiring proses tersebut berjalan. Oleh karena itu yang terpentiing dari semua langkah diatas ialah bagiamana caranya perpustakaan desa dapat berjalan dan berkelanjutan. Maka, sudah seharusnya kita melakukan kerja sama karena sejatinya semut yang kecilpun dapat melakukan tindakan besar mengankut bahan makanannya yang jauh lebih besar dari tubuhnya dengan melakukan kerja sama.

Semoga dapat menjadi motivasi bagi kita semua membangun peradaban desa yang lebih unggul dan berkarakter.

“Indonesia bersinar bukan karena obor raksasa di Jakarta, melainkan lilin-lilin kecil di desa”

Moh Hatta.

Referensi:

  • Nurrohmah, Oom. 2018. Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pndidikan dan Penguatan Literasi Informasi. Bandung, 10 25.
  • Sebagian besar isi dari tulisan esai ini adalah ide atau pendapat pribadi penulis. 

BIODATA PENULIS

Nama : Yusuf Taziri
TTL : Tasikmalaya, 30 Mei 1997
Domisili : Tasikmlaya
Pendidika terakhir : SMA (sedang menempuh pendidikan tinggi)
Penghargaan :

  • Juara 2 Pekan Komunikasi Nasional Epicentrum Universitas Padjadjaran cabang lomba “Liblicious” dan Volunteer Kemah Literasi Jawa Barat 2019

IG : y.taziri
Facebook : Yusuf Taziri
Email : yusuftaz25@gmail.com

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *