Bilik Pustaka

Mendobrak Mindset Warga Desa tentang Literasi

Pendahuluan

Wajib hukumnya bagi warga desa, saat ini untuk membangun kedaulatan literasi di wilayah pedesaan. Seberapa urgent kah untuk membangun kedaulatan literasi di wilayah Pedesaan? Apakah selama ini literasi di wilayah pedesaan belum berdaulat atau kurang berdaulat? Mengapa target segmentasinya di wilayah pedesaan bukan di perkotaan? Bagaimanakah peran Pemerintah Desa/Kalurahan selama ini, dalam memfasilitasi ruang gerak warga desanya dalam kegiatan literasi?

Dan masih banyak pertanyaan lagi, tapi ada satu pertanyaan lagi adalah Seberapa besar pengaruh mindset (pola pikir) warga desa tentang literasi terhadap pembangunan SDM di wilayah pedesaan?

Ada beberapa hal, yang perlu saya detailkan secara rinci terkait definisi kata per kata. Pertama, Membangun adalah bangkit berdiri. Kedua, Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah dan sebagainya. Ketiga, Literasi diartikan kemampuan dan ketrampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, Pedesaan berarti daerah pemukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan air sebagai syarat penting bagi terwujudnya pola kehidupan agraris penduduk tempat itu.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau sebutan dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak adanya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, kewenangan desa semakin luas cakupannya. Dalam pasal 19 disebutkan bahwa Negara mengakui kewenangan desa. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 19 ayat 2 disebutkan lebih spesial lagi yaitu kewenangan lokal berskala desa. Dengan kewenangan desa yang dikembalikan dari Negara kepada desa maka desa memiliki kedaulatan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Ditambah adanya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, maka proporsi kewenangan yang didasarkan pada kearifan lokal dan keperpihakan kepada rakyat semakin besar, terutama dalam bidang kebudayaan. Oleh karena itu, membangun kedaulatan literasi di wilayah pedesaan adalah sebuah keniscayaan di era keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Karena pada keistimewaan DIY, di dalamnya termasuk kebudayaan, dan didalam kebudayaan itu sendiri terdapat literasi bagi warga desa.

Nenek moyang kita telah mewariskan nilai-nilai luhur yang bersumber pada kearifan lokal Indonesia, seperti kejujuran, kedisiplinan, kemusyawaratan, kegotong royongan, saling menghargai, saling menhormati, dan tolong menolong. Bahkan, patriotisme dan cinta tanah air juga diwariskan oleh para leluhur bangsa Indonesia (Revika Niza Artiyana, 2014 : 57). Nenek moyang kita, terkenal sebagai pelaut yang ulung, petani yang handal, apoteker yang hebat, pedagang yang ulet, arsitek yang canggih dan lain sebagainya. Namun, sayangnya warisan nenek moyang kita yang bersumber pada kearifan lokal ini, tidak semuanya terdokumentasi dengan baik dan rapi dalam bentuk tulisan, yang bisa di jadikan sebagai referensi sumber pengetahuan.

Ilmu pengetahuan merupakan gerbang masa depan (kehidupan), dengan ilmu pengetahuan kita bisa belajar apa saja dan berbuat apa saja, demi kemajuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk membangun kedaulatan literasi di wilayah pedesaan, sebagai salah satu langkah untuk membumikan, membudayakan literasi kepada generasi muda, agar budaya literasi kokoh pada lapisan paling bawah. Harapannya, dengan literasi yang berdaulat maka semakin tinggi akan serapan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan yang terdokumentasi dengan baik dan rapi, dapat diwariskan kepada anak cucu di kemudian hari secara turun temurun. Pada akhirnya, nilai-nilai luhur yang bersumber dari kearifan lokal tersebut, tidak hilang terkikis oleh kejamnya zaman. Dan salah bentuk dokumentasi yang baik dan rapi, adalah dengan diterbitkannya buku-buku sebagai sumber ilmu pengetahuan warga desa dan yang tidak kalah pentingnya, adalah tempat untuk menyimpan aset yang tidak ternilai harganya yaitu perpustakaan.

Dari desalah gerbang pengetahuan diawali yaitu sejak berdirinya desa adat terlebih dahulu, sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka. Maka kedaulatan literasi yang bersumber pada kearifan lokal diserahkan kembali dari Negara ke Desa. Karena, dari desalah lahirnya suatu pranata sosial, yang merupakan warisan dari nenek moyang kita. Dikarenakan nenek moyang kita, tidak mewariskan sumber pengetahuan dalam bentuk karya tulis, maka dari desalah kita mulai membangun kembali mindset tentang literasi warga desa.

Dengan segala upaya marilah kita menciptakan sumber pengetahuan, yang tentunya disinkronisasikan dengan teknologi informasi yang up to date. Sekecil apapun pengetahuan harus di dokumentasikan dengan baik dan rapi. Salah satu wujud nyata dari pendokumentasian pengetahuan yang baik dan rapi, diterbitkannya buku-buku. Karena dengan buku, dapat mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge) yang diperlukan bagi pembacanya, dan memberikan referensi yang luas terkait informasi apa saja yang dibutuhkan bagi pembacanya.

Apabila sudah dicetak buku-buku yang mencakup semua aspek kehidupan warga desa, yang terdiri dari aspek : ideologi (agama/negara), politik, ekonomi, sosial, budaya, sastra, filsafat, astronomi, geografi, pertahanan, keamanan, kedokteran, arsitektur, kelautan, flora dan fauna, teknologi informasi, dan masih banyak aspek lainnya, selanjutnya tugas kita adalah mengumpulkan sumber pengetahuan ini, dalam suatu wadah atau tempat yang dapat di akses oleh semua warga desa, melalui sebuah perpustakaan.

Menurut UU Perpustakaan pada Bab I pasal 1 menyatakan Perpustakaan adalah institusi yang mengumpulkan pengetahuan tercetak dan terekam, mengelolanya dengan cara khusus guna memenuhi kebutuhan intelektualitas para penggunanya melalui cara interaksi pengetahuan. Dalam arti tradisional , perpustakaan adalah sebuah koleksi buku dan majalah.

Walaupun dapat diartikan sebagai koleksi pribadi perseorangan, namun perpustakaan lebih umum dikenal sebagai sebagai sebuah koleksi besar yang dibiayai dan dioperasikan oleh sebuah kota atau institusi, dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang rata-rata tidak mampu membeli sekian banyak buku atas biaya sendiri. Tetapi, dengan koleksi dan penemuan media baru selain buku untuk menyimpan informasi, banyak perpustakaan kini juga merupakan tempat penyimpanan dan/atau akses ke map, cetak atau hasil seni lainnya, mikrofilm, mikrofiche, tape audio, LP, tape video dan DVD, dan menyediakan fasilitas umum untuk mengakses gudang data CD-ROM dan internet. Perpustakaan juga dapat diartikan sebagai kumpulan informasi yang bersifat ilmu pengetahuan, hiburan, rekreasi, dan ibadah yang merupakan kebutuhan hakiki manusia. Oleh karena itu, perpustakaan modern telah didefinisikan kembali sebagai tempat untuk mengakses informasi dalam format apapun, apakah informasi itu disimpan dalam gedung perpustakaan tersebut atau tidak. Dalam perpustakaan modern ini selain kumpulan buku tercetak, sebagian buku dan koleksinya ada dalam perpustakaan digital (dalam bentuk data yang bisa diakses lewat jaringan komputer).

Adapun tujuan Negara menurut pembukaan UUD 1945, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang di dalamnya terdapat warga desa yang berhak mengakses semua informasi dan ilmu pengetahuan di wilayah pedesaan. Pemerintah Desa/Kalurahan harus hadir sebagai Negara, yang berkewajiban untuk memenuhi hak-hak warga desanya, diantaranya adalah dalam mewujudkan kedaulatan literasi di wilayah pedesaan.

Dukungan Pemerintah Desa/Kalurahan dapat berupa kebijakan Peraturan Desa/Kalurahan, dan dukungan pengalokasian Dana Desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Dalam hal ini Pemerintahan Desa/Kalurahan yang terdiri dari Pemerintah Desa/Kalurahan, dengan Lurah Desa/Kalurahan sebagai pemimpin beserta pamong desanya dan Badan Permusyawaratan Desa/Kalurahan (BPD/Bamuskal), yang dipimpin Ketua BPD/Bamuskal beserta anggotanya.

Terkait dengan kebijakan membuat Peraturan Desa/Kalurahan bisa diinisiasi oleh Pemerintah Desa/Kalurahan maupun atas inisiasi oleh BPD/Bamuskal, sedangkan untuk Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan RAPBDes dibuat oleh Pemerintah Desa/Kalurahan dan dimintakan persetujuan kepada BPD/Bamuskal. Setelah mendapatkan persetujuan dari BPD/Bamuskal keputusan bersama ditetapkan menjadi APBDes.

APBDes yang sudah ditetapkan tadi, sumber dananya berasal dari Pemerintah Pusat yaitu dari APBN dan berasal dari Pemerintah Daerah yaitu APBD. Dana yang berasal dari APBN disebut Dana Desa (DD) sedangkan dana yang berasal dari APBD di sebut Alokasi Dana Desa (ADD).

Dana Desa (DD)
Dana Desa adalah dana APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan diprioritaskan untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Tujuan Dana Desa adalah:

  • Meningkatkan pelayanan publik di desa
  • Mengentaskan kemiskinan
  • Memajukan perekonomian desa
  • Mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa
  • Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Besaran alokasi anggaran yang peruntukan langsung ke desa ditentukan oleh 10% dari dan diluar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.

Dana Desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan berdasarkan:

  • Jumlah penduduk
  • Angka kemiskinan
  • Luas wilayah
  • Tingkat kesulitan geografis.

Alokasi Dana Desa (ADD)
Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).

Untuk besaran Alokasi Dana Desa (ADD) sendiri diatur dalam pasal 96 ayat 1 dan 2 PP 47 tahun 2015 perubahan atas PP 43 tahun 2014 sebagai peraturan pelaksana UU Desa yang berbunyi sebagai berikut: Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengalokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk ADD setiap tahun anggaran.

ADD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Sedangkan penggunaan ADD diatur oleh Kabupaten/Kota yang tentunya di masing-masing Kabupaten/Kota tidak akan sama tergantung dari prioritas Kabupaten/Kota tersebut.

Kemajuan Literasi Di Wilayah Pedesaan
Standar Nasional Perpustakaan Desa/Kelurahan dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan Desa/ Kelurahan meliputi :

A. Standar Nasional Koleksi Perpustakaan Desa

  1.  Jumlah koleksi
    Perpustakaan memiliki jumlah koleksi paling sedikit 1.000 judul.
  2. Kemutakhiran koleksi
    Perpustakaan memiliki koleksi terbaru (lima tahun terakhir) paling sedikit 10% dari jumlah koleksi.
  3. Jenis koleksi
    Perpustakaan memiliki jenis koleksi anak, koleksi remaja, koleksi dewasa, koleksi referensi, surat kabar dan majalah.
    Koleksi perpustakaan terdiri dari berbagai disiplin ilmu sesuai kebutuhan masyarakat.
  4. Koleksi referensi
    Koleksi referensi paling sedikit terdiri dari Ensiklopedia, dan kamus.
  5. Pengolahan bahan perpustakaan
    Pengolahan bahan perpustakaan dilakukan dengan sederhana. Proses pengolahan bahan perpustakaan dilakukan melalui pencatatan dalam buku induk, deskripsi bibliografis, dan klasifikasi.
  6. Perawatan Koleksi
    Pengendalian kondisi ruangan (cahaya kelembaban). Untuk mengendalikan kondisi ruangan, perpustakaan menjaga kebersihan.
    Perbaikan bahan perpustakaan. Perpustakaan melakukan perbaikan bahan pustaka yang sudah rusak secara sederhana.
  7. Pinjaman per eksemplar (turnover stock)
    Frekuensi peminjaman koleksi paling sedikit 0,125 per eksemplar per tahun (jumlah transaksi pinjaman dibagi dengan jumlah seluruh koleksi perpustakaan).
  8. Koleksi per kapita
    Jumlah koleksi perpustakaan desa paling sedikit 1000 judul. Jumlah penambahan judul koleksi perpustakaan desa per tahun 0,2 per kapita.
  9. Pengadaan bahan perpustakaan
    Perpustakaaan Desa/Kelurahan mengalokasikan anggaran pengadaan bahan perpustakaan paling sedikit 40% dari total anggaran perpustakaan.

B. Standar Nasional Sarana dan Prasarana Perpustakaan Desa

  1. Lokasi/lahan
    Lokasi perpustakaan berada di lokasi yang strategis dan mudah dijangkau masyarakat, dan
    Lahan perpustakaan di bawah kepemilikan dan/atau kekuasaan pemerintah desa dengan status hukum yang jelas.
  2. Gedung
    Luas bangunan gedung perpustakaan paling sedikit 56 m2 dan bersifat permanen yang memungkinkan pengembangan fisik secara berkelanjutan, dan gedung perpustakaan memenuhi standar keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan.
  3. Ruang perpustakaan
    Ruang perpustakaan paling sedikit memiliki area koleksi, baca, dan staf yang di tata secara efektif dan efisien.
  4. Sarana perpustakaan
    Setiap perpustakaan wajib memiliki sarana penyimpanan koleksi, pelayanan perpustakaan, dan sarana kerja, dan
    Setiap perpustakaan memiliki sarana akses layanan perpustakaan dan informasi minimal berupa katalog.

C. Standar Nasional Pelayanan Perpustakaan Desa

  1. 1. Jam buka
    Jam buka perpustakaan paling seddikit 6 (enam) jam per hari.
  2. Jenis pelayanan
    Jenis pelayanan paling sedikit layanan baca di tempat, sirkulasi, referensi , dan penelusuran informasi.
  3. Pola pelayanan
    Pola pelayanan mengutamakan kebutuhan dan kepuasan pemustaka dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi serta layanan perpusstakaan keliling atau pengembangan layanan ekstensi.

D. Standar Nasional Tenaga Perpustakaan Desa

  1. 1. Jumlah tenaga
    Perpustakaan memiliki tenaga paling sedikit 2 orang.
  2. Kualifikasi kepala perpustakaan
    Kepala perpustakaan paling rendah berlatar belakang pendidikan SLTA atau sederajat ditambah pendidikan dan pelatihan (diklat) perpustakaan.
  3. Kualifikasi staf perpustakaan
    Staf perpustakaan paling rendah berlatar belakang pendidikan SLTA atau sederajat.
  4. Pembinaan tenaga pengelola perpustakaan
    Pembinaan tenaga pengelola perpustakaan dengan cara mengikuti seminar, bimbingan teknis (bimtek), dan workshop kepustakawanan.

E. Standar Nasional Penyelenggaraan Perpustakaan Desa

  1. Perpustakaan dibentuk oleh Pemerintah Desa/Kelurahan berdasarkan Keputusan Kepala Desa/Kelurahan.
  2. Perpustakaan memiliki koleksi, tenaga, sarana, dan prasarana, serta sumber pendanaan.
  3. Organisasi
    Perpustakaan Desa/Kelurahan merupakan satuan organisasi perpustakaan yang dipimpin oleh seorang Kepala Perpustakaan.
    Struktur organisasi perpustakaan paling seddikit terdiri dari :
  • Kepala Perpustakaan,
  • Pelayanan Teknis, dan
  • Pelayanan Pemustaka.

F. Standar Nasional Pengelolaan Perpustakaan Desa

  1. Perencanaan
    Perencanaan perpustakaan dilakukan berdasarkan karakteristik, fungsi, dan tujuan perpustakaan serta dilakukan secara berkesinambungan.
    Perpustakaan menyusun rencana kerja tahuna dan program kerja bulanan.
  2.  Pelaksanaan
    Pelaksanaan perpustakaan dilakukan secara mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel.
    Pelaksanaan perpustakaan memiliki prosedur yang baku.
  3. Pengawasan
    Pengawasan perpustakaan meliputi supervisi, evaluasi, dan pelaporan.
    Supervisi dilakukan oleh pimpinan perpustakaan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efisisensi, efektivitas, dan akuntabilitas perpustakaan.
  4. Pelaporan
    Pelaporan dilakukan oleh pimpinan perpustakaan secara berkala disampaikan kepada pemerintah desa.
    Pelaporan berfungsi sebagai bahan evaluasi sesuai dengan indikator kinerja.
  5. Penganggaran Penyelenggaraan Perpustakaan
    Perpustakaan menyusun rencana penganggaran secara berkesinambungan.
    Pemanfaatan anggaran perpustakaan diperuntukan minimal untuk 3 komponen utama yaitu koleksi, pelayanan, dan tenaga perpustakaan.
    Anggaran perpustakaan desa secara rutin bersumber dari anggaran desa, anggaran perpustakaan kelurahan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bealanja Daerah dan dapat diperoleh dari sumber lain yang tidak mengikat.
    Kepala Perpustakaan bertanggungjawab dalam pengusulan, pengelolaan, dan penggunaan anggaran.

Beberapa hal tentang standar nasional pepustakaan desa/kelurahan sebagaimana dijelaskan dalam peraturan diatas adalah kondisi sangat ideal sebuah manajemen pengelolaan perpustakaan desa/kelurahan. Tetapi, apabila di terapkan di masing-masing desa/kelurahan di Indonesia belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi riil yang dihadapi oleh Pemerintah Desa/Kalurahan. Banyak problema yang dihadapi oleh masing-masing desa/kelurahan mulai dari sarana dan prasarana, koleksi (bahan perpustakaan), pustakawan, dan pemustaka.

Menurut UU No.43/2007 tentang Perpustakaan, bahwa yang disebut pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Sedangkan yang disebut dengan pemustaka adalah pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.

Problema tertinggi rerata nasional adalah faktor pemustakanya. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa situasi kondisi saat ini, minat baca warga desa menurun drastis. Berikut 5 (lima) hal penyebab yang mungkin bisa kita renungkan dari rendahnya minat baca di Indonesia saat ini (Fransisca Desfourina), antara lain:

  1. Lingkungan sekitar
    Lingkungan hidup di sekitar kita merupakan faktor penting dalam kehidupan, karena secara tidak langsung lingkungan sekitarlah yang membentuk kebiasaan kita. Lingkungan keluarga misalnya, lingkungan ini adalah lingkungan yang paling dekat dengan kita. Jika lingkungan di keluarga kita saja sudah tidak membudayakan kebiasaan membaca, atau bahkan membeli bukupun tidak diperbolehkan jika begitu dari mana benih-benih minat membaca dapat tumbuh.
  2. Generasi serba instan
    Semakin lama generasi kita menginginkan segala sesuatunya serba cepat dan mulai tidak menghargai proses. Padahal membaca sebuah buku baik dari yang tipis sampai tebal, semuanya membutuhkan proses membaca. Tiap halaman per halaman dan bab per bab harus kita lalui dan nikmati.
  3. Gadget
    Generasi milineal sudah mengenal gadget.Gadget jaman sekarang memang multifungsi, bisa untuk menonton televisi, bisa untuk foto-foto, dan yang pasti bisa untuk bermain games sebagai sarana hiburan. Hanya dengan satu gadget kita bisa melakukan banyak ha, sekaligus melupakan banyak hal termasuk melupakan membaca buku.
  4. Game online dan social media
    Kalau sudah ditahap kecanduan yang tidak baik, kedua tangan mereka setiap harinya sibuk untuk bermain, jadi jangankan untuk menyentuh buku untuk membaca, untuk makan ataupun bersosialisasi sengan sesamanya pun terkadang mereka hampir lupa.
  5. Diri sendiri
    Diri kita sendiri adalah faktor terpenting dalam melakukan suatu hal. Jika dalam diri sendiri saja kita tidak memiliki ketertarikan dalam membaca buku, menyentuh atau mendengar judul buku saja mungkin rasanya sudah malas dan mengantuk.Maka dari itu, bibit-bibit minat baca sudah seharusnya ditanamkan sedari kita kecil.

Sekarang sudah mengerti kan mengapa minat baca di Indonesi memprihatinkan?
Jadi, mulai sekarang mari para orang tua sejak dini mulai menanamkan benih-benih membaca buku dengan mengajarkan anak-anaknya untuk berkenalan dan menyukai buku.

Kebangkitan literasi di wilayah pedesaan ternyata di pengaruhi oleh faktor warga desanya sendiri terutama dalam lingkungan terkecilnya yaitu keluarga. Apakah di dalam suatu keluarga sudah mengajarkan dan menanamkan benih-benih untuk membaca semua karya tulis baik karya cetak (buku), karya grafis (majalah), karya rekaman ( kaset, piringan hitam ataupun video), dan microfilm (elektronik dan bahan digital lainnya).

Membangun kedaulatan literasi di wilayah pedesaan dimulai dari : Pertama, mendobrak mindset (pola pikir) keluarga di pedesaan. Mengapa saya menggunakan kata “mendobrak” tidak sekedar merubah mindset,karena di perlukan tindakan “sedikit” memaksa untuk merubah budaya (pola pikir) warga desa terhadap lietrasasi. Dari yang tadinya malas membaca, sedikit demi sedikit kita rubah dengan pola senang membaca. Dimulai dengan membaca buku-buku cerita anak/dongeng yang tipis-tipis dan bergambar, kemudian bertahap membaca majalah, dilanjut buku ensiklopedia maupun buku pengetahuan lainnya sesuai kesukaan anak dalam keluarga tersebut. Dimulai dari “sedikit” keterpaksaan pada anak-anak, terus diberi contoh berulang-ulang oleh orang tuanya, maka lama-kelamaan anak-anak akan merasa terbiasa membaca.

Di sini diperlukan kerja sama dalam keluarga warga desa dan secara kontinyu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap minat baca anak. Kedua, mulai naik ketingkat RT/ Padukuhan. Harus ada tokoh yang menginisiasi berdirinya pojok baca/ruang baca warga desa. Dan mengajak stakeholder (pemangku kepentingan) antara lain Pak Dukuh, Pak RT, Pokgiat LPMD Padukuhan, pengurus PKK, pengurus Karang Taruna, pengurusTakmir masjid/musholla untuk duduk bersama dalam sebuah forum FGD (Focus Group Discussion ) Padukuhan/RT tentang pentingnya mendobrak (“tidak sekedar” merubah) budaya membaca warga desa. Kemudian hasil pembahasannya dituangkan dalam rumusan usulan dari Padukuhan, yang akan di follow-up ketika Musyawarah tingkat Padukuhan (disebut Musduk/Musdus) menjadi rencana program kerja Padukuhan tahunan.

Ketiga, setelah Musdus dinaikkan ke forum yang lebih tinggi yaitu Musyawarah Desa/Kalurahan ( disebut Musdes/Muskal). Rencana Kerja Padukuhan, pada tingkat Desa/Kalurahan masuk Daftar Usulan Program (DUP) Pedukuhan. Selanjutnya dari DUP Padukuhan tersebut selanjutnya ditetapkan menjadi DUP Desa dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (disebut Musrenbangdes). Akhirnya DUP Desa ditetapkan menjadi RKPDes melalui forum Musdes.

Setelah menjadi dokumen RKPDes selanjutnya Pemerintah Desa/Kalurahan dan BPD/Bamuskal, melakukan sidang membahas RAPBDes yang bersumber dari RKPDes. Dan finalisasinya adalah ditetapkannya RAPBDes menjadi APBDes. Dengan ketok palunya BPD/Bamuskal dan Pemerintah Desa/Kalurahan terhadap ABPDes tahunan maka program kerja pojok baca/taman baca warga desa, dapat didanai oleh APDes yang bersumber dari Dana Desa (DD).

Keempat, Pemerintah Desa/Kalurahan dan BPD/Bamuskal perlu membuat regulasi melalui Peraturan Desa tentang Perpustakaan Desa dan Ruang Baca Warga Desa untuk mengintervensi warga desa agar merealisasikan program kerja membudayakan minat baca warga desa. Tidak kalah penting, adalah sinergitas antara Pemerintah Desa/Kalurahan, BPD/Bamuskal dan para pegiat literasi/lembaga desa budaya untuk sepakat dan berpihak kepada warga desa terutama dalam hal mensupport dana yang berasal DD maupun dari CSR BUMN atau pihak swasta yang peduli dengan kegiatan pojok baca/taman baca warga desa.

Sinergitas ketiga lembaga desa ini, perlu menyamakan persepsi tentang urgenitas literasi warga desa, setelah menyamakan persepsi selanjutnya perlu memfasilitasi dan mengawal program literasi warga desa menjadi rencana program kerja desa selama periode lurah/kepala desa tertentu, dengan memasukkan kedalam dokumen perencanaan desa melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) lima tahunan.

Kelima, peran lembaga desa budaya atau pegiat literasi, untuk istiqomah (terus menerus) mengkampanyekan pentingnya budaya membaca pada warga desa, terutama pelajar dan mahasiswa. Secara berkala mengadakan pendidikan dan pelatihan kepustakawanan, serta pendidikan dan pelatihan jurnalistik. Bekerja sama dengan Kundha Kabudayaan, secara insidentil mengadakan lomba-lomba, misalnya lomba pidato dwi bahasa, lomba baca puisi/geguritan, lomba menulis cerpen/cerkak, lomba menulis esai/opini , lomba resensi/bedah buku, lomba macapat, dan lain sebagainya. Untuk membudayakan minat baca dan menulis membutuhkan proses yang berkesinambungan dari semua pemangku kepentingan dalam semua kegiatan literasi warga desanya.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (buddia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Bentuk lain dari bahasa Inggris yaitu culture dan bahasa Latin cultura.Mendobrak budaya membaca warga desa dengan merubah pola pikir warga desa itu sendiri (ada “sedikit” intervensi) bukanlah pekerjaan yang enteng seperti membalikkan telapak tangan, tetapi butuh kerja keras yang kontinyu dan berkesinambungan.

Dengan keikhlasan, kesadaran, kepedulian semua stake holder yang ada, membuat warga desa semakin berdaulat. Sudah saatnya, warga desa menjadi aktor perubahan di wilayahnya sendiri. Posisi tawar warga desa dalam menentukan arah kebijakan Pemerintah Desa, dimulai mendengarkan suara dari akar rumput warga desa, kemudian di dukung dengan kebijakan dan alokasi dana desa. Dengan membaca pengetahuan, maka warga desa semakin pandai, dan semakin besar peluang untuk berkarya dan berkarya membangun desanya sendiri.

Sudah saatnya warga desa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Inilah demokrasi yang sebenarnya. Dengan demikian persoalan-persoalan yang dihadapi warga desa terkait kearifan lokal berskala desa, akan diselesaikan sendiri di wilayah desa masing-masing. Dengan kualitas warga desa yang mampu mendobrak mindset lierasi di wilayah desanya masing-masing akan mengurai persoalan-persoalan besar warga desa, seperti persoalan kemiskinan, persoalan pendidikan, persoalan kesehatan, persoalan ketahanan pangan dan lain sebagainya.

Penutup

Menjawab beberapa pertanyaan pada awal tulisan ini. Membangun kedaulatan literasi di wilayah pedesaan sangatlah urgent untuk dilakukan saat ini, seiring menurunnya minat baca warga desa disebabkan oleh pengaruh gaya hidup warga desa terutama pada segmentasi pelajar dan mahasiswa.

Bilamana mendesak diperlukan suatu dobrakan yaitu gerakan mendobrak mindset literasi di mulai dengan “sedikit” memaksa. “Sedikit” memaksa terkadang diperlukan dalam hal yang positif , misalnya adanya intervensi dalam hal tertentu, baik yang harus dilakukan oleh Pemerintah Desa/Kalurahan maupun oleh kedua orang tua dalam masing-masing keluarga. Sejak adanya UU No.6 tahun 2014 sudah saatnya desa berdaulat termasuk warga desa didalamnya, dan kehidupan sosial budaya warga desa harus dikembalikan pada marwahnya.

Di tambah lagi, adanya UU No. 12 tahun 2013 tentang Keistimewaan DIY. Menjadikan urusan sosial budaya yang berdasarkan kearifan lokal berskala desa semakin tinggi porsinya untuk diberikan fasilitasi, baik berupa program kerja maupun support untuk pendanaannya karena ada Dana Desa dan Dana Keistimewaan. Sudah saatnya, warga desa menjadi aktor sekaligus agen perubahan (agent of change) dalam pembangunan di desanya masing-masing. Partisipasi warga desa yang terkawal mulai perencanaan program dari bawah (bottom up) sampai Pemdes (top up), menandakan bahwa demokrasi sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Proses-proses musyawarah sebagai ciri dari demokrasi, mulai musdus, musrenbangdes dan musdes selalu mengajak keikutsertaan secara aktif dari warga desa, pada sisi lain dukungan dan kerja sama dengan Pemerintah Desa/Kalurahan melalui kebijakan Peraturan Desa yang mengikat warga desa, juga merealisasikan program literasi warga desa ke dalam dokumen perencanaan baik jangka pendek maupun jangka menengah, melalui RPJMDes, RKPDes, RAPBDes dan APBDes pertanda bahwa saat ini desa sudah berdaulat, menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

REFERENSI:

  • Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014, Bahasa dan Sastra dalam Kesunyian, Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Menulis Kebahasaan dan Kesastraan Bagi Remaja DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • www.jogloabang.com. ”UU 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta” Diunduh 02 Januari 2021, pukul 22.35.
  • www.jogloabang.com. “UU 6 tahun 2014 tentang Desa” Diunduh 02 Januari 2021, pukul 22.58.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line diakses melalui https: //kbbi.web.id/membangun.html, 02 Januari 2021, pukul 23.07.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line diakses melalui https: //typooline.com/kbbi/kedaulatan, 02 Januari 2021, pukul 23.11.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line diakses melalui https: //Lektur.id /kbbi/literasi, 02 Januari 2021, pukul 23.22.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line diakses melalui https: //kbbi.web.id/desa.html, 02 Januari 2021, pukul 23.25.
  • www.jogloabang.com.”UU 47 tahun 2007 tentang Perpustakaan” Diunduh 02 Januari 2021, pukul 23.43.
  • www.hukumonline.com. “PP 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 6 tahun 2014 tentang Desa” Diunduh 03 Januari 2021, pukul 00.15.
  • www.jogloabang.com. “Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan Desa” Diunduh 03 Januari 2021, pukul 0.23.
  • www.gramedia.com. “ 5 Penyebab Kurangnya Minat Baca Di indonesia” Diunduh 03 Januari 2021. Pukul 0.30.
  • www.kemenkeu.go.id. “ Buku Saku Dana Desa” Diunduh 03 Januari 2021. Pukul 0.50.
  • www.bpkp.go.id. “ Pengertian,Tujuan dan Peran Perpustakaan ” Diunduh 03 Januari 2021. Pukul 8.20.
  • www.peraturan.bpk.go.id. “ PP No.47 tahun 2015” Diunduh 03 Januari 2021. Pukul 15.10.
  • Sebagian isi dari tulisan esai ini adalah ide atau pendapat pribadi penulis.

BIODATA

Nama : Junaedi,S.E.
TTL : Pemalang, 06-01-1974
Domisili : Gedangan RT 02 Panggungharjo Sewon Bantul DIY
Pendidikan terakhir : S1
Jabatan : Karyawan BUMDes

Karya :

  1.  Cahaya Jum’at, dengan judul “Pentingnya Transmisi Keilmuan Dalam Islam”, dimuat dalam Tribun Jogja, Jum’at Pahing, 27-11-2020
  2. Mutiara Jum’at, dengan judul : “Money Politics Dilarang Dalam Islam “, dimuat Kedaulatan Rakyat, Jum’at wage, 4-12-2020
  3. Mutiara Jum’at, dengan judul :” Muhasabatun Nafsi di Hari Ibu”, dimuat ddi Kedaulatan Rakyat, Jum’at Pon, 18-12-2020

WA : 088225045416
Email : junaedi.imfat974@gmail.com
FB: Junaedi Imfat
Ig : imfatjunaedi

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *