Bilik Pustaka

Pemuda sebagai Penggerak Literasi dan Penangkal Hoaks

Pada era globalisasi sekarang ini, kemajuan teknologi informasi begitu pesat. Masyarakat sudah akrab dan terbiasa dengan penggunaan internet dan gawai. Tiada hari tanpa internet dan gawai. ‘Satu hari tanpa gawai bagaikan kehilangan kekasih atau seseorang yang disayangi’. Internet dan gawai sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat pada era digital sekarang ini, termasuk masyarakat di pedesaan. Internet bagaikan dua sisi mata pisau. Satu sisi dapat berdampak positif, jika digunakan untuk hal-hal positif. Di sisi lain dapat berdampak negatif, jika digunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Beragam informasi sangat mudah didapatkan melalui internet. Informasi yang beredar di media sosial atau portal-portal pemberitaan online lainnya ada yang sesuai dengan data dan fakta, ada juga yang tidak sesuai dengan data dan fakta atau hoaks.

Hoaks merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Dalam KBBI disebutkan bahwa hoaks adalah berita bohong. Hoaks atau berita bohong (dalam Bahasa Inggris disebut “hoax” atau “fake news”) merupakan rangkaian informasi yang sengaja dimanipulasi, tetapi “dijual” sebagai kebenaran (Silverman, 2015). Kebanyakan hoaks sengaja dibuat dan disebarluaskan untuk menyesatkan pikiran masyarakat atau membentuk opini yang sesuai dengan keinginan pembuatnya. Wardle dan Derakhshan (2017), mengutip dari The Council of Europe, mendefinisikan hoaks sebagai informasi yang sengaja dimodifikasi dan diterbitkan dengan maksud untuk menipu dan menyesatkan orang lain sehingga mereka memercayai kebohongan atau sebaliknya, meragukan fakta-fakta yang dapat diverifikasi.

Penyebaran hoaks yang sangat masif di media sosial bukan hanya terjadi dan meresahkan masyarakat di perkotaan saja, tetapi juga sudah merambah terjadi dan meresahkan masyarakat di pedesaan. Dikutip dari Rachmawati (kompas.com, 2020), pada tanggal 3 Maret 2020 lalu, seorang ibu rumah tangga (OER), warga desa di Kecamatan Tanggamus diamankan karena menyebarkan hoaks virus corona di Facebook pribadinya. OER menulis, “Awas di Kabupaten Pringsewu ada yang kena Corona, baru pulang dari Malaysia.” Keesokan harinya, 4 Maret 2020 ia mengunggah foto dengan dengan tulisan, “Hati hati virus corona sudah di Lampung.” Dua unggahan tersebut dibaca oleh lebih dari 4.000 warganet. Menurut kepolisian setempat, unggahan tersebut meresahkan warganet di Lampung. Tersangka OER mengaku menulis status itu karena panik dan ketakutan. Ia mendapat informasi dari saudaranya kalau di Pringsewu sudah ada orang yang terkena virus corona. Tersangka OER mendapatkan informasi tersebut saat ia mendaftar untuk menjadi TKW. Ia menyebarkan hoaks karena stress tidak jadi bekerja di Malaysia karena pandemi Covid-19. Itulah salah satu contoh kasus hoaks yang terjadi di daerah dari sekian banyak kasus hoaks yang terjadi di daerah di Indonesia.

Berita bohong atau hoaks dapat memengaruhi perilaku dan keadaan masyarakat. Masyarakat di pedesaan yang biasanya hidup tenang, damai, rukun, serta bersikap ramah, murah senyum, dan saling menghormati satu sama lain, kini sebagian masyarakat berubah menjadi mudah marah, saling hujat, saling fitnah, saling mencaci maki, saling membenci, saling bermusuhan satu sama lain. Sebagian masyarakat mudah terprovokasi oleh pemberitaan di media sosial yang belum jelas kebenarannya. Akibatnya, terjadilah perselisihan atau pertengkaran antar anggota masyarakat. Mereka memercayai informasi atau berita berdasarkan perasaan, emosional, atau mengikuti orang yang dianggapnya mempunyai pemikiran yang sama, tanpa landasan keilmuan. Atas dasar keyakinan pada pandangan atau pemikirannya, mereka tidak segan untuk berbagi informasi di media sosial yang belum jelas kebenarannya. Mereka merasa apa yang dilakukannya sudah benar tanpa mengecek dahulu data dan faktanya.

Pada era digital sekarang ini, pemuda sebagai generasi yang dianggap memiliki kecerdasan intelektual tinggi, serta pemikiran yang terbuka hendaknya menjadi promotor terdepan dalam menangkal tersebar luasnya hoaks di masyarakat, terutama di pedesaan. Pemuda Indonesia harus saling bergandengan tangan, serta berkomitmen dalam menangkal hoaks.

Permasalahan hoaks yang sudah merambah masyarakat di pedesaan ini tidak akan bisa diselesaikan oleh pemerintah saja, tetapi juga harus ada optimalisasi peran pemuda sebagai mesin penggerak utama gerakan literasi. Keberadaan pemuda sebagai penggerak dan perubah keadaan sangat memainkan posisi yang strategis. Strategis mengandung arti bahwa pemuda adalah kader penerus kepemimpinan nasional dan juga lokal (desa), pembaharu keadaan, pelopor pembangunan, serta penyemangat bagi kaum remaja dan anak-anak.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, dalam Pasal 1 Ayat (1) dijelaskan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Berdasarkan batasan usia tersebut, pemuda masuk kategori antara generasi Y (Milenial) dan generasi Z (Digital Native).

Adapun ciri umum generasi Y dan Z yang dikutip dari Akhmad Sudrajat (2014), antara lain:

  1. Rata-rata melek teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya. Gawai dan perangkat lainnya adalah suatu alat yang bermanfaat dibandingkan buku.
  2. Sosial dan multitasking. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai media sosial. Informasi pendidikan, game, hobi hingga media sosial yang booming seakan menjadi surga bagi generasi ini. Salah satu keunikan generasi Z adalah mereka cenderung menggunakan gaya multitasking, yakni melakukan beberapa pekerjaan sekaligus.
  3. Berpikir instan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serbacepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, pemuda diharapkan menjadi mesin penggerak utama gerakan literasi di pedesaan yang masih sangat rendah. Hal ini terbukti dari mudahnya masyarakat terprovokasi oleh berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Menurut KBBI Daring, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Literasi informasi dalam artikel ini adalah keterampilan masyarakat, terutama di pedesaan dalam mengolah dan menganalisis informasi, di tengah beredarnya berita bohong atau hoaks yang masif di media sosial atau media lainnya sehingga diperoleh informasi valid sesuai dengan data dan fakta.

Itulah beberapa alasan mengapa pemuda memiliki peran strategis sebagai mesin penggerak utama gerakan literasi untuk menangkal hoaks di masyarakat, terutama di pedesaan. Selanjutnya, perilaku dan tindakan apa yang harus dilakukan pemuda untuk menangkal hoaks, terutama di masyarakat pedesaan?

Pertama, Transfer Pengetahuan Mengenai Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Pemuda Indonesia yang dinilai sebagai generasi penerus dan agen perubahan hendaknya selalu meng-upgrade diri dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang bisa menguatkan karakter dan pengetahuannya. Dengan ilmu yang dimiliki diharapkan menjadi tameng penghalang ketika hendak berbuat negatif, seperti berbagi hoaks atau terprovokasi karena hoaks. Selain itu, pemuda yang sebagian besar melek teknologi, memiliki kecerdasan intelektual tinggi, serta pemikiran yang terbuka hendaknya memahami, minimal mengetahui Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Setelah mengetahui dan memahaminya, perlu ditindaklanjuti dengan transfer pengetahuan UU ITE terhadap masyarakat. Masyarakat di desa hendaknya diberi tahu atau pemahaman bahwa pelaku penyebar hoaks dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam Pasal 45A ayat (1) undang-undang itu disebutkan setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Transfer pengetahuan yang dilakukan oleh pemuda diharapkan dapat meningkatkan literasi masyarakat di pedesaan terhadap dampak penyebaran hoaks.

Kedua, Menjadi Filterasi informasi

Sebelum berbagi informasi di media sosial, kita hendaknya saring dulu informasi tersebut. Hoaks dapat diidentifikasi dari judul yang provokatif dan bombastis, keaslian foto diragukan, dan konten tidak sesuai fakta. Hoaks sering kali mencantumkan judul provokatif dan bombastis yang bertujuan untuk menarik perhatian, membangkitkan emosi pembaca, hingga tanpa membaca hingga selesai orang sudah “tidak tahan” untuk menyebarkan pada orang lain. Saat menerima informasi atau sebelum berbagi informasi, kita hendaknya mengecek dahulu isi konten tersebut. Apakah ada yang aneh atau tidak?

Terlebih lagi apabila ada isi informasi yang membangkitkan emosi, marah, gusar atau bahkan ketakutan serta mungkin berlawanan dengan berita atau informasi yang beredar di media arus utama. Selain itu, pastikan informasi ditulis oleh sumber resmi dan valid, serta memiliki reputasi keakuratan yang baik. Jika informasi berasal dari organisasi yang tidak dikenal, baca bagian profil untuk mengetahui lebih lanjut organisasi tersebut. Kurangnya bukti atau ketergantungan terhadap ahli-ahli yang tidak disebut namanya mengindikasikan informasi atau berita tersebut hoaks.

Pemuda diharapkan bisa menjadi filterasi informasi dengan cara yang bijak. Ketika memperoleh suatu informasi, hendaknya kita membaca dengan saksama berita yang ada. kemudian mengecek portal media dari berita yang diperoleh, serta mengecek kebenaran berita sebelum menyebarluaskannya. Begitulah peran bahasa yang tidak hanya sebagai sumber informasi positif. Jika disalahartikan, bahasa juga bisa menjadi alat penghancur karakter bangsa yang mematikan. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita yang mengaku sebagai pemuda Indonesia yang berkarakter untuk memberi tameng diri dengan pemahaman-pemahaman akan tujuan bahasa yang sebenarnya, demi mewujudkan masyarakat desa yang damai tanpa kebohongan.

Ketiga, Bijaksana, Cerdas, dan Beretika Menggunakan Media Sosial

Pemuda hendaknya memberikan contoh dan edukasi kepada anggota masyarakat lainnya, terutama di desa untuk membudayakan berinternet atau menggunakan media sosial secara bijaksana, cerdas, dan beretika. Kita hendaknya memahami bahwa bermedia sosial itu sangat subjektif. Apa yang kita pikirkan belum tentu sama dengan yang dipikirkan oleh orang lain. Menurut kita menarik, belum tentu menurut orang lain menarik.

Pemuda hendaknya memperbanyak kebaikan dengan menyampaikan informasi yang positif. Jika tidak bisa menyebarluaskan berita atau informasi yang baik, tahan diri untuk tidak membagikan berita bohong atau hoaks. Jika tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain, minimal jangan menyebarkan kepanikan kepada orang lain. Hindari menggunakan media sosial ketika emosi. Media sosial bersifat publik. Apa yang kita tuliskan pasti akan dibaca dan diketahui oleh orang banyak. Pemuda hendaknya menyampaikan tulisan secara santun dan menghargai perbedaan pendapat dalam tulisan.

Kebebasan dalam mengakses media sosial, bukan berarti kita juga bisa melakukan apa pun dengan bebas, termasuk menyalahgunakan fungsi dari bahasa sebagai penyalur informasi itu sendiri. Kebebasan berinternet selayaknya diimbangi dengan etika dalam penggunaannya, seperti menggali dan memperoleh informasi yang bermanfaat, menggunakan internet sebagai media untuk belajar sehingga pemuda lebih banyak menggunakan waktu berinternetnya untuk sesuatu yang positif.

Jika pemuda dapat bijaksana, cerdas, dan beretika dalam menggunakan media sosial, harapannya anggota masyarakat lainnya dapat mencontohnya sehingga tingkat literasi masyarakat, terutama di pedesaan dapat meningkat dan hoaks pun dapat dicegah atau minimal berkurang.

Kelima, Gunakan Teknologi untuk Hal-Hal yang Produktif

Hoaks tidak hanya dapat menghambat pembangunan mental masyarakat di perkotaan, tetapi juga dapat menghambat pembangunan mental masyarakat di pedesaan. Permusuhan dan perselisihan akibat hoaks dapat membuat kita ‘ketinggalan kereta’. Orang lain sudah bergerak cepat berinovasi di berbagai bidang, sementara kita hanya sibuk bergelut dengan ujaran kebencian dan berbagi hoaks.

Pemuda sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara yang baik hendaknya bisa melindungi diri dan masyarakat sekitar, terutama di desa agar tidak mudah mengonsumsi hoaks dan berhenti berbagi hoaks. Seluruh elemen masyarakat, terutama pemuda hendaknya memberikan contoh yang baik dengan memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang produktif dan tidak menyalahgunakannya untuk menyebarkan hoaks. Saatnya kita batasi diri kita dan gunakan ruang digital, ponsel, dan seluruh fasilitas yang dimiliki dengan baik untuk hal-hal yang produktif dan bermanfaat.

Sekarang ini, yang perlu kita lakukan adalah mengejar ketertinggalan kemajuan yang sudah diraih oleh masyarakat negara lain. Semua itu dapat dimulai dari pembangunan desa, baik pembangunan fisik maupun mental. Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa untuk menuju Indonesia maju, pembangunan harus dimulai dari pinggiran, dari kampung-kampung, dari pedesaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunawan dan Ari (2016: 1) dalam bukunya yang berjudul Membangun Indonesia dari Desa: Pemberdayaan Desa sebagai Kunci Kesuksesan Pembangunan Ekonomi untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara yang besar, kuat, dan hebat, haruslah dimulai dari desa

Keenam, Inovasi Bahan Bacaan untuk Taman Bacaan Masyarakat atau Sejenisnya

Kebanyakan taman bacaan masyarakat atau sejenisnya menyediakan koleksi literatur ilmiah dan buku-buku tanpa memperhitungkan gejala atau dinamika kekinian. Bahkan sebagian koleksi buku didominasi oleh buku-buku lama, baik dilihat dari tahun terbit maupun tampilan fisiknya. Masyarakat pada umumnya, termasuk di desa sedikit sekali yang hobi membaca, apalagi bukunya tebal-tebal.

Mereka berpikir lebih baik bersantai sambil mengobrol daripada pusing-pusing membaca buku yang tebal, dan belum tentu mengerti isinya. Berdasarkan hal tersebut, pemuda dapat bekerja sama dengan penerbit, penulis, pemerintah desa, atau instansi terkait lainnya untuk menyediakan koleksi buku yang beragam dan kekinian sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk membacanya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan literasi masyarakat desa.

Sekarang, sebagian anak-anak muda lebih menyukai komik daripada buku sejarah, padahal buku sejarah juga isinya menceritakan fakta. Oleh karena itu, taman bacaan harus menyediakan buku-buku bacaan ilmiah yang dikemas dengan menarik, tetapi tetap mengedepankan unsur fakta dan pengetahuan. Misalnya buku-buku sejarah yang dibuat dalam bentuk komik.

Selain komik, perlu juga dilengkapi dengan buku-buku fiksi dan nonfiksi yang berbasis digital. Selain dalam buku tercantum materi teks, ada juga pendalaman materi tertentu, seperti video proses terjadinya sesuatu atau animasi peristiwa alam, praktik berkebun dan beternak, dan sebagainya dalam bentuk barcode atau kode QR. Untuk melihat video atau animasi tersebut, kita cukup memindai kode QR pada buku menggunakan ponsel.

Ketujuh, Menyediakan Buku di Ruang atau Tempat-Tempat Tertentu

Pada kondisi normal, masyarakat di pedesaan, terutama para pemuda dan bapak-bapak biasanya senang berkumpul dan mengobrol sambil minum kopi. Kegiatan tersebut biasanya terjadi di pos ronda atau warung kopi. Sebelum pandemi Covid-19, ibu-ibu juga senang berkumpul di tempat arisan, teras kumpul, atau di tempat PAUD sambil menunggu anaknya selesai pelajaran sekolah. Berdasarkan hal tersebut, selain tugas pemerintah desa untuk menyediakan buku-buku literasi di masyarakat, kita sebagai pemuda penggerak literasi dapat bekerja sama dengan penerbit, pemerintah desa, dan instansi terkait lainnya untuk menyediakan buku-buku bacaan sesuai keperluan bapak-bapak dan ibu-bu di desa.

Buku yang dapat meningkatkan literasi bapak-bapak dan ibu-ibu, misalnya beragam inovasi mata pencaharian, psikologi, kebudayaan, peternakan, pertanian, parenting/merawat anak, pendidikan keluarga, home industry, tata rias, resep memasak, dan sebagainya. Mereka akan menjadi produktif dan kegiatannya bermanfaat ketika berada di warung kopi dan pos ronda atau berada di tempat arisan, teras kumpul, dan di tempat PAUD. Dengan tersedianya buku yang sesuai dengan keperluan bapak-bapak dan ibu-ibu diharapkan dapat meningkatkan nilai-nilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan; kualitas ekonomi masyarakat; kualitas pendidikan keluarga; dan menambah keharmonisan keluarga. Dengan literasi yang tinggi, hoaks dan dampaknya dapat dicegah atau minimal berkurang.

Kedelapan, Membentuk dan Mengoptimalkan Fungsi Forum dan Komunitas Literasi

Pemuda bisa berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah desa setempat atau instansi tertentu untuk membentuk Forum dan Komunitas Literasi. Siapa pun bisa bergabung di dalamnya, mulai pelajar, mahasiswa, maupun penyuka buku. Pengurus menentukan agenda-agenda yang menarik, misalnya Pekan Baca di mana setiap Sabtu atau Minggu komunitas menyelenggarakan kegiatan baca bersama di kelurahan atau di balai desa. Dengan kegiatan ini, warga di sekitar lokasi kegiatan akan tertarik dan ikut bersama-sama membaca buku-buku yang dibawa oleh komunitas.

Pemuda bisa juga mengoptimalkan fungsi Forum dan Komunitas Literasi yang sudah ada atau yang telah dibentuknya. Forum dan Komunitas Literasi tersebut tidak hanya dijadikan sebagai tempat untuk membaca, tetapi harus menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat di pedesaan. Strategi pembelajarannya menggunakan comprehensive learning yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya kegiatan menanam sayuran dari pembibitan hingga memanen. Hal ini diharapkan menjadi bekal pengetahuan di bidang pertanian. Pemuda juga dapat berinisiatif mengadakan kegiatan-kegiatan diskusi tentang hoaks dan dampaknya untuk meningkatkan literasi masyarakat di pedesaan.

Kesembilan, Menjadi Anggota Grup Diskusi Anti-Hoaks

Pemuda hendaknya dapat bergabung menjadi anggota grup anti hoaks di media sosial, seperti Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax dan Indonesian Hoax Busters. Dengan menjadi anggota grup tersebut, kita dapat mengetahui berita hoaks terbaru sehingga bisa mengingatkan keluarga, kerabat, teman, tetangga, dan anggota masyarakat lainnya agar tidak menyebarkannya. Kita juga dapat menanyakan kebenaran berita yang meragukan di grup tersebut.

Kita dapat berhenti menduga-duga, langsung percaya, atau malah membantu menyebarkan hoaks. Kita hendaknya membiasakan memeriksa terlebih dahulu kebenarannya, kemudian beritahukan kepada keluarga, kerabat, teman, tetangga, dan anggota masyarakat lainnya bahwa informasi tersebut benar atau salah. Dengan tindakan seperti ini, kita sebagai pemuda sudah berkontribusi terhadap kesehatan mental masyarakat dalam melawan hoaks melalui literasi.

Itulah beberapa perilaku dan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemuda sebagai penggerak literasi dan penangkal hoaks dalam rangka mewujudkan kedaulatan literasi di pedesaan. Pemuda masa kini adalah pemuda yang selalu berada di garda terdepan, pemompa semangat, pencerah pemikiran, dan pembakar api perjuangan untuk menuju masyarakat desa yang maju. Pemuda idaman adalah pemuda yang mampu mengubah dan menggerakkan masyarakat untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat demi mewujudkan masyarakat anti hoaks dan literat.

Pemuda harapan bangsa adalah pemuda yang mampu menggegerkan dunia dengan prestasi dan hal-hal positif, sesuai dengan kata mutiara Presiden pertama Indonesia Soekarno dahulu. “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Satu pemuda saja dapat memberikan perubahan, apalagi dengan sepuluh pemuda? Mulai sekarang, mari berlomba-lomba dalam kebaikan dan hal-hal produktif. Jadilah, pemuda yang inspiratif dan solutif! Jangan sampai ada hoaks di antara kita!

Daftar Pustaka:

  • Derakhshan, H. & Wardle, C. (2017). Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Council of Europe Report DGI (2017)09). Diakses dari https://rm.coe.int/informationdisorder-toward-an-interdisciplinary-framework-for-researc/168076277c
  • Gunawan dan Wulandari, Ari. (2016). Membangun Indonesia dari Desa: Pemberdayaan Desa sebagai Kunci Kesuksesan Pembangunan Ekonomi untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Yogyakarta: Media Pressindo.
  • Lampiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan
  • Rachmawati . 2020. 5 Kasus Hoaks Corona di Media Sosial, Libatkan Ibu Rumah Tangga hingga Fahira Idris. Diperoleh dari: https://regional.kompas.com/read/2020/03/12/06070061/5-kasus-hoaks-corona-di-media-sosial-libatkan-ibu-rumah-tangga-hingga-fahira?page=all. Diakses tanggal 20 Januari 2021.
  • Sebagian isi dari tulisan esai ini adalah ide atau pendapat pribadi penulis.
  • Silverman, Craig. (2015). Journalism: A Tow/Knight Report.”Lies, Damn Lies, and Viral Content”. Columbia Journalism Review (dalam bahasa Inggris).
  • Sudrajat, Akhmad. 2012. Generasi Z dan Implementasinya terhadap Pendidikan. Diperoleh dari: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/10/05/generasi-z-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan/. Diakses tanggal 20 Januari 2021.

Biografi Singkat Penulis

Nama : Yodi Kurniadi
Tempat, Tanggal Lahir : Garut, 20 Desember 1983
Domisili : Kp. Pangauban RT/RW 003/012 Desa Pangauban Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung 40971
Pendidikan Terakhir : S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Unindra PGRI Jakarta

Pengalaman Organisasi/Jabatan :

  • PT Sarana Pancakarya Nusa Bandung, Editor 2014-sekarang
  • CV Mitra Sarana Edukasi Bandung Editor 2013-2014
  • PT Indahjaya Adipratama Bandung Editor 2009-2012
  • Ia juga telah mengikuti berbagai pelatihan penulisan dan pengeditan buku yang diselenggarakan oleh Kemdikbud dan IKAPI.

Karya/Prestasi :

  • Juara Kelompok Terbaik III Lomba Penulisan Komik Pembelajaran SD/MI yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Judul komik “Mengungkap Pesan Misterius”
  • Pemenang 50 Esai Terpilih Program Nulis dari Rumah yang diselenggarakan oleh Direktorat Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan, Kementerian Pariwasata dan Ekonomi Kreatif.
  • Karya-karya yang dihasilkannya  100 judul buku berlegalitas SK Pusbuk/Puskurbuk yang telah dicetak dan tersebar di beberapa perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah di Indonesia.

Narahubung :
WA : 087825611212
Email: yodi.andrea1402@gmail.com
Facebook : Yodi Andrea
Instagram : mr.andreayodi

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *