Bilik Pustaka

Revitalisasi Budaya Literasi dalam Representasi Tahap Awal Perjuangan untuk Meningkatkan Pertahanan Bangsa

Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyandang sebagai negara dengan pertumbuhan penduduknya sangat pesat sehingga menjadi negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia yang mana memiliki sekitar 270 juta jiwa penduduk, dan pertumbuhan ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2001-2010. Penduduk bangsa Indonesia terbagi-bagi di setiap kepulauan Indonesia, maka tidak heran apabila masih ada saja masyarakat yang tinggal di daerah yang akses atau jangkauannya sulit. Masyarakat dengan akses sulit ini yang kebanyakan memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini biasanya diakibatkan oleh masyarakatnya yang tidak tersentuh dunia luar maupun masyarakat yang hanya memilih menetap di desa tersebut, juga terkadang tidak tersedianya sarana pendidikan di desa tersebut ditambah pola pikir masyarakat yang hanya berorientasi pada hidup untuk mendapat uang dan berumahtangga.

Menurut laporan dari Programme for International Student Assessment (PISA) dari 65 negara yang juga berpartisipasi Indonesia menempati peringkat 57 dengan skor 493 dan merupakan skor dibawah rata-rata OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) dan merupakan peringkat minat baca masyarakat Indonesia, PISA juga menyebutkan bahwa budaya literasi Indonesia merupakan yang terburuk kedua yaitu dengan peringkat 64 dari 65 negara. Data statistik UNESCO pada tahun 2015 menyebutkan perbandingan minat baca masyarakat Indonesia sangat miris yaitu 0,001. Data ini menunjukkan secara jelas bahwa dalam 1.000 penduduknya, yang memiliki minat baca hanyalah satu orang. Maka, masalah literasi rendah ini tidak hanya terjadi pada daerah perdesaan namun sama halnya pada daerah perkotaan yang memiliki fasilitas memadai sekalipun.

Adapun tingkat baca masyarakat yang paling tinggi ditempati oleh provinsi D.K.I Jakarta lalu disusul oleh D.I. Yogyakarta dengan kisaran angka 50-an, angka ini pun belum bisa dikatakan bahwa melek baca tinggi melainkan masuk dalam kelompok sedang, dan provinsi yang tercatat sebagai kategori melek baca sangat rendah yaitu papua. Keadaan inilah yang harus benar-benar diperhatikan oleh negara, karena meningkatkan budaya literasi ke arah yang lebih baik akan menunjang generasi penerus bangsa untuk mampu berasaing secara global, juga untuk menjadi tonggak pertahanan negara agar tidak tergerus oleh warga negara asing.

Kunci agar revitalisasi literasi ini bisa terwujud yaitu dengan pemahaman mengenai apa itu litersi dulu, namun pada faktanya bukan hanya dari masyarakat biasa yang belum mengerti apa itu literasi tetapi juga pejabat dan birokrat pendidikan ada yang masih minim pemahaman mengenai literasi.

Lalu, pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan melakukan upaya dalam memperbaiki angka rendah literasi dengan menggalakan satu program yang disebut dengan Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan salah satu wujud dari GLN ini yaitu Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS inilah yang melibatkan semua tingkat pemangku jabatan dibidang pendidikan, mulai dari tingkat Pusat sampai pada satuan pendidikan. Namun, pada dasarnya GLN belum terwujud secara baik dikarenakan terhambat oleh beberapa hal. Untuk itu diperlukan beberapa motode yang mempersaranai gerakan ini.

Literasi Sebagai Sebuah Gerakan

Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam pengertiannya mengartikan Literasi sebagai suatu kemampuan menulis dan membaca. Namun secara lebih pula dinyatakan bahwa hal ini tidak terbatas pada kemampuan menulis dan membaca saja, akan tetapi literasi juga merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi. Jadi dengan demikian Literasi sebagai suatu Proses Manusia dalam menyeleksi apa yang di bacanya dan mengolah apa yang patut dijadikan sebagai tulisan. Seiring perkembangannya Literasi tidak hanya tetuju pada makna tunggal saja namun juga muncul berbagai bidang seperti literasi komputer, literasi ekonomi, literasi moral dan masih banyak lagi. Hal ini muncul karena literasi sendiri bisa dikatakan sebagai suatu penyebutan untuk berfikir kritis, dan melek teknologi informasi dan komunikasi. Jadi, kata atau penyebutan literasi itu tergantung pada bidang nya misal saja literasi ekonomi yang berfikir tentang ekonomi, literasi moral yang mencakup pembahasan tentang moral.

Literasi menurut Lod Welford adalah inti atau jantungnya kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil dalam seolah dan sesudahnya. Pada dasarnya konsep literasi bukan hanya terfokus pada tujuan tunggalnya membaca dan menulis, tetapi juga bagaimana cara membaca, bagaimana meningkatkan gemar membaca, pemahaman bahwa membaca itu penting, bagaimana cara menemukan mode terbaik saat membaca agar tidak bosan, sampai kepada hal lebih spesifik lainnya seperti bagaimana menganalisis bacaan, mengambil kesimpulan, hingga menyeleksi bacaan tersebut. Semua itu adalah cara untuk membiasakan diri menjadi orang yang melek baca, melek teknologi, informasi dan komunikasi serta berfikir kritis. Ini merupakan sebuah tantangan bagi pemerintah untuk bagaimana caranya membuat budaya literasi dapat berjalan karena mengingat lagi bahwa setiap orang memiliki sifat dan latar belakang yang berbeda, perbedaan latar belakang inilah tantangan yang sangat besar karena bagaimanapun semua harus mendapatkan literasi secara merata dan memadai.

Gerakan Literasi Nasional dicanangkan sebagai bentuk upaya pemerintah dalam menunjang revitalisasi budaya literasi, salah satu yang menjadi konsentran pada program ini adalah Gerakan Literasi Sekolah yang melibatkan seluruh lapisan pendidikan, sasaran utamanya sendiri yaitu pelajar dari seluruh lapisan yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Namun, program GLS ini terbilang masih rendah pada pelaksanaannya, faktor penyebabnya yaitu anggaran dana yang difokuskan untuk membeli buku pelajaran terlebih dahulu, yang akhirnya pengadaan buku non-pelajaran sangat minim. Lalu diakibatan juga karena kurangnya pemahaman gerakan literasi oleh pemangku kebijakan yang berperan untuk menyukseskan gerakan ini, kebanyakan juga pengelola sekolah yang hanya pasrah dengan program ini tanpa mau memahami gerakan literasi ini, sehingga kinerja dilapangan pun hanya kepada tujuan membaca dan menulis tanpa ada pengajaran tersendiri tentang kosistensi ataupun metode membaca dan menulis juga cenderung sangat jarang sekali diajarkan untuk menyeleksi bacaan akibatnya akumulasi berfikir kritis rendah, selain itu peran perpustakaan di sekolah juga rendah dalam menyukseskan program ini dan mirisnya lagi saat jumlah siswa yang datang keperpustakaan untuk sekedar tidur lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang datang untuk belajar.

Latar belakang dan sifat setiap siswa yang berbeda-beda, pola pikir yang tidak sama ini yang harus dicari jalan keluarnya karena ketika siswa itu belum menemukan mode belajar yang cocok untuknya maka tidak akan ada sinergi terhadap apa yang dipelajarinya. Akses pada masyarakat di daerah terpencil (perdesaan) tidak memadai, inilah faktor yang sering terjadi pada masyarakat perdesaan selain kurangnya kesadaran atau pola pikir orang tua di perdesaan yang kebanyakan jarang berorientasi pada pendidikan.

Melihat program literasi di negara Amerika Serikat dimana upaya pengembangan budaya literasi tidak hanya menumbuhkan minat baca dan menulis dalam linkungan sekolah namun orang tua di rumah juga harus berperan aktif untuk menumbuhkan minat baca dan pelatihan menulis, bahkan pada jenjang Sekolah Dasar dilakukan praktik nyata menulis surat kepada presiden. Wujud dari praktik ini yaitu seorang siswa Sekolah Dasar di Amerika sudah mampu untuk menuliskan pandangan mereka mengenai perbudakan. Ini merupakan cara efektif untuk meningkatkan literasi siswa.

Membangun Kesadaran Literasi

Indonesia merupakan negara dengan banyak pulau dan tak jarang penduduknya pun menyebar hingga pelosok-pelosok kecil bahkan kadang akses jalan untuk masuk sulit dijangkau. Kebanyakan di desa terpinggirkan inilah yang minim akan budaya literasi. Sekolah di daerah perdesaan juga terbentuk dengan ala kadarnya dengan tenaga pengajar yang merangkap untuk beberapa pelajaran juga tenaga pengajar yang tidak memiliki kesesuaian antara pelajaran yang di pegang dan pendidikan yang ditempuh. Peran perpustakaan di wilayah desa pun cenderung rendah dan kadang di wilayah perdesaan tidak memiliki perpustakaan.

Membangun kesadaran budaya literasi sangatlah penting terutama di daerah perdesaan yang masyarakatnya minim akan pendidikan. langkah penting yang harus dilakukan yaitu mengoptimalkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan serta tenaga penggiat literasi sendiri. Dalam meningkatkan literasi masyarakat, pembangunan perpustakaan di desa memang harus di lakukan secara gencar agar desa-desa yang terpencil sekalipun tidak buta akan pengetahuan.

Umumnya salah satu yang membuat literasi masyarakat tidak berkembang atau tergolong rendah karena pembangunan perpustakan desa tidak dilaksanakan sedangkan mengingat lagi bahwa negara kita ini merupakan sebuah kepulauan yang luas yang terdiri dari pulau-pulau dan desa-desa dan jika tentu saja perpustakaan hanya terletak di daerah perkotaan masyarakat di daerah terpencil atau desa pinggiran akan sulit mengakses ilmu pengetahuan apalagi dengan jarak yang tidak dapat dijanhkau oleh perjalanan kaki atau tidak ada kendaraan umum. Kalau terjadi demikian desa yang terpinggirkan akan semakin terpinggrkan karena ditambah angka melek bacaan rendah. Untuk daerah yang tidak memiliki perpustakaan bisa dengan memanfaatkan perpustakaan keliling untuk desa tersebut, namun apabila akses untuk masuk desa tersebut sulit bisa dengan membawa utuk menyediakan buku yang dibutuhkan secara umum yang bisa di letakan di sekolah yang ada di desa tersebut, rumah ibadah yang juga biasanya di gunakan untuk tempat edukasi atau bisa meletaknya di rumah warga setempat.

Melakukan penyuluhan atau sosialisasi untuk memahamkan pentingnya menanamkan budaya literasi, ini sangat penting sekali karena tanpa adanya pemahaman maka sama saja pelaksanaan literasi akan sulit dilaksanakan. Orang dewasa adalah tujuan utama yang harus diberikan pemahaman, karena orang dewasa tersebut yang juga akan mendorong atau memberi dukungan kepada anaknya untuk mengembangkan budaya liiterasi. Tetapi yang menjadi masalah utama yaitu, orientasi pola pikir masyarakat perdesaan ini sangat rendah pada hal yang tertuju pada pendidikan dan terkadang untuk melakukan sosialisasi pun sulit untuk mengumpulkan masyarakatnya.

Kebanyakan dari mereka memang enggan untuk meninggalkan pekerjaan nya dan oleh karena itu tenaga penyuluh pun harus memilih waktu yang tepat untuk melaksanakan sosialisasi pada masyarakat. Orientasi masyarakat perdesaan yang hanya tertuju pada uang dan pekerjaan adalah akibat dari tingginya angka kemiskinan, dan betul saja jika mereka enggan untuk meninggalkan pekerjaan jika taruhannya adalah ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa antara ekonomi dan pendidikan saling berhubungan, jika sangat ekonomi rendah maka akan sulit juga bagi seseorang akan menempuh pendidikan. Namun dengan rendahnya ekonomi ini bisa jadikan alat untuk pemberian edukasi, misalnya saja sosialisasi yang di tawarkan untuk meningkatkan pengetahuan di bidang pertanian (apabila mayoritas masyarakat bercocok tanam) dan ini dilakukan dengan memberikan pemahaman metode yang baik dan menguntungkan dalam bercocok tanam dengan mengacu pada disiplin ilmu pengetahuan lalu disertai juga dengan bukti lapangan. Melalui ini akan tercipta kemungkinan orang tua untuk mendorong anaknya mengikuti kegiatan literasi dan orang tua sendiri juga akan tertarik untuk membaca hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan melalui minat inilah yang nantinya di harapkan menjadi sebuah kebiasaan.

Menyesuaikan menu bacaan sebagai langkah awal dalam merayu. Maksudnya yaitu untuk tahap awal kepada anak atau pelajar dengan menyesuaikan apa yang ia mampu dan tertarik di dalamnya. Misal ada seorang anak yang tertarik dengan olahraga maka literasi yang diajarkan pun mengenai literasi dan dari olahraga inilah yang nantinya dapat dihubungkan dengan yang lain. Jika seorang anak memiliki kecenderungan kearah sastra maka bahan bacaan awal yang diberikanpun berbentuk sastra. Selanjutnya yaitu menemukan mode yang sesuai terhadap masing-masing anak. Misal seorang anak yang lebih tertarik memahami dengan praktik atau dengan permainan atau dengan mengaitkan dengan cerita—cerita yang menarik. Selajutnya yaitu mengajarkan siswa bagaimana menemukan suatu gagasan untuk berfikir kritis, menganalisis, manarik kesimpulan sampai dengan mengemukakan pendapat atau ide. Kemudian selain menumbuhkan minat baca dan analisis bacaan seorang anak juga perlu ditanamkan kebiasaan menulis, kebiasaan menulis bisa di tanaman dengan menuliskan apa saja yang sdah di baca, dikritisi atau ide-ide yang didapat dari bacaan tersebut. lalu bisa di kembangkan dengan menulis apa yang telah ia baca.

Metode-metode ini sangat memiliki kelebihan karena memungkinkan akan keberhasilannya dikarenakan jika sarana dan prasarana memadai maka akan meningkatkan minat baca dan jika buku yang disediakan adalah buku secara umum yang dibutuhkan juga akan meningkatkan minat dalam program literasi ini. Namun kelemahan minimnya anggaran untuk program ini, karena setiap program yang ingin di jalankan tetapi alat untuk menjalankannya minim maka sama saja akan membuat program ini mandek.

Peluang metode literasi ini cukup tinggi karna memungkinkan untuk orang tua selaku pendorong internal kepada anak-anak nya untuk ikut atau mendukung anaknya mengikuti program literasi. Ancaman ini bisa dalam bentuk ketidakberhasilan menemukan mode tepat agar anak memiliki konsistensi membaca, menulis dan mengkritisi. Lalu ancaman yang bisa terjadi yaitu ketidakpercayaan orang tua karena orientasi yang tertuju pada ekonomi sangat tinggi dan memilih membuat anaknya bekerja dibandingkan menempuh pendidikan.

Menggerakan literasi ini sangat peting mengingat masyarakat juga perlu kekuatan untuk mengembangkan usaha ini berguna agar tidak lebih bayak pengusaha asing di Indonesia, jikalau masyarakat kita memiliki SDM yang mumpuni maka ini pun bisa menjadi daya saing di lapangan pekerjaan dan pasaran global. Tetapi apabila angka melek baca masyarakat rendah maka tidak akan menjamin masyarakat ini akan mampu menghadapi dunia luar. Jikalau mereka tetap memilih mejalani kehidupan sebagaimana desa namun tetap saja daya saing mereka tetap terkalahkan oleh yang lebih mupuni dan masalah inilah sebenarnya.

Jika angka melek pengetahuan masyarakat bagus maka seterpinggirkan apapun masyarakat itu tetap saja akan diakui oleh masyarakat luas karena mampu bersaing secara global. Karena pada dasarnya untuk bercocok tanam saja harus dibekali oleh pengetahuan serta kemampuan agar yang menhasilkan laba lebih dan hasil yang bagus dalam segi panen sehingga di desa terpencil manapun akan mampu bersaing dengan kerasnya dunia luar. “Jangan berharap untuk menjadi bangsa yang maju jika kualitas baca tidak diperbaiki”

Referensi:

  • Fitria. 2019. Perbandingan Algoritma Naïve Bayes Validasi 2 dan 3 pada Klasifikasi keluarga Miskin di Kabupaten Banjar. Barito Kuala : Jurnal Teknik Informatika Politeknik Hasnur, Vol. 5, No. 01.
  • Hidayah, Layli dkk. 2019. Revitalisasi Partisipasi Masyarakat Dalam Gerakan Literasi Nasional: Studi pada Program Kampung Literasi. Malang: Jurnal Bidang Pendidikan Dasar (JBPD), Vol. 3, No.1.
  • https://www.cnbcindonesia.com
  • Https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/ngm3g840
  • https://kbbi,kemendikbud.go.id
  • Anindyarini, Atikah dkk. 2019. Strategi Menghidupkan Budaya Literasi Melalui Dongeng. Surakarta: Jurnal Unisri.
  • Waspodo, Muktiono. 2019. Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi. Jakarta: Kemendikbud.

BIODATA PENULIS

Nama : Nurul Khasanah
TTL : Jamut, 23 Juli 2001
Domisili : Muara Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah
Pendidikan Terakhir : SMA/Sederajat (sekarang mahasiswi)

Pengalaman Organisasi :

  • LPM Analisa
  • Antasari Cendikia
  • KNRP

Kontak Person :

  • nkhasanah382@gmail.com
  • @nkhasanah_Bean (Wattpad)
  • Nurul Khasanah (FB)

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *