Pejuang Literasi

Taman Baca Mumtaza; Sebuah Gerakan Literasi yang Sederhana

Alkisah, di satu daerah yang bukan antah berantah. Daerah yang terkenal akan lezatnya dodol serta dorokdok yang renyah. Satu wilayah yang udaranya masih teramat sejuk untuk dihirup, jalanan yang masih terbilang lengang dari kemacetan, dan tempat hunian orang-orang yang ramah bukan buatan.

Daerah ini seolah berada di lembah, dikelilingi beberapa gunung yang tampak indah. Lebatnya hutan, barisan pepohonan, bersanding harmoni dengan aroma wangi dari kebun-kebun kopi.

Belum lagi sumber air panas yang melulu mengepul membawa sulfur. Tempat diri merendam penat hingga terlipur, lalu bersama nyaman dia melebur.

Lebih lanjut, mari kita susuri jalan berkelOk-kelok ke Selatan. Berbelok kanan dan kiri, kemudian kiri dan kanan, bergantian. Mengikuti kontur lereng yang berbeda ketinggian.

Bersabarlah barang sebentar! Karena di ujungnya nanti, pada Samudra kita akan dipertemukan.

Nah, dengarlah kawan! Dengarkan suara deburnya yang luas nan terbentang! Takjubkan pada karangnya yang kokoh nan menjulang! Cermati pecahan kerang-kerang kecil, yang begitu elok berkilauan di atas pasir. Sehampar garis pantai yang membuat hati berdecak, sekaligus berdesir.

Dan kesemua indah itu tergabung dalam satu nama yang sama. Nama yang muasalnya berarti ‘tergores’ dalam bahasa Sunda, terluka lantaran duri pada semak dan belukar lebat. Kakarut, Gagarut, hingga tersimpul menjadi nama.

Garut, sang “Kota Intan”.

Benar, kawan! Daerah Garut memang indah tak terkira. Tak heran jika dia menarik wisata pendatang dari luar kota. Mereka ramai-ramai berdatangan kala liburan, bertransaksi, menumbuhkan ekonomi.

Mereka tumpah ruah berwisata, satu-dua berunjuk harta, lalu sedikit demi sedikit mengikis kearifan budaya.

Jangan! Kumohon, jangan!

Jangan sampai kota kecil ini terhanyut modernisasi dunia. Kesederhanaan kampung ini terlalu berharga, jika harus terpapar akan kebiasaan yang berbeda.

Batasilah handphone-handphone yang melenakan itu! Jauhkanlah game online yang menyuburkan egois itu! Enyahkanlah judi-judi yang katanya berizin itu! Tolak tegas narkoba-narkoba mencelakakan itu!

Biarkanlah kami hidup dengan lingkup bersahaja, biarkan kami mencukupkan diri bersama buku dan lembaran-lembarannya!

***

Alkisah, di satu daerah yang bukan antah berantah. Daerah yang tak jauh dari kantor-kantor dan sekolah. Berdirilah sepetak rumah, yang kecil, sederhana, namun sedikit berbeda sekaligus indah.

Definisi indah yang dimaksud di sini, mungkin sedikit berbeda dengan pemahaman orang kebanyakan. Karena rumah yang dimaksud tidaklah berlantai pualam, tidak pula berhias tanaman bermacam ragam, apalagi tinggi  bertingkat-tingkat bak gedung kantoran. Tidak, kawan!

Rumah tersebut hanyalah tipe tiga-enam, dengan tampak depan teramat biasa selayaknya hunian standar. Kanan-kiri, depan-belakang, rumah-rumah berderet serona seragam. Hanya saja, rumah yang ini agak istimewa, lantaran ada beda dibanding lainnya.

Lihat, lantai keramiknya memang sudah retak beberapa kotak. Yang ketika kita coba injak, terdengar suara gemeretak sesaat.

Lihat, cat dindingnya pun sudah lusuh setengah pucat. Ditambah coretan anak yang membuatnya bak kanvas terpajang luas. Ada gambar putri dan istana, gambar mobil dan pengendara, robot-robot, atau benang super panjang yang berputar kusut hingga semrawut.

Coreng? Memang.

Kusam? Tentu.

Namun di sana, di ruang paling depan berukuran tiga kali tiga, berdiri sebuah rak dengan buku-buku menumpuk di dalamnya.

Iya, buku!

Sang pemilik rumah, sengaja menjadikan ruang sederhana tersebut sebagai taman baca. Sebuah taman yang membuatnya berbeda dari hunian lainnya.

Pemiliknya bernama Adi Wahyudin. Seorang lelaki teramat biasa, yang mulai merantau ke Kota Garut sejak 2004 silam. Bekerja seperti orang-orang pada umumnya, berkegiatan ala kadarnya. Menulis satu-dua buku, sebagai jejak introspeksinya akan masa yang telah lalu.

Tidak! Usahlah memuji pribadi tersebut lebih lanjut! Jangan sampai tulisan ini membuatnya meninggi merasa jumawa. Karena bukankah dalam ‘pujian’, lima dari enam hurufnya adalah ‘ujian’?

Jadi, mari kita bercerita saja perihal taman baca yang didirikannya.

“Taman Baca Mumtaza”, itulah namanya.

***

“Taman Baca! Taman Baca Mumtaza! Ada di rumah Ziya! Datang, ya!” Teriak tiga orang anak perempuan, bergantian.

Mereka berjalan berkeliling perumahan, memberitahu semua orang.

Para tetangga melihat, lalu mengangguk dan memberi senyuman. Entahlah, tak banyak tetangga yang betulan datang.

“Taman Baca! Taman Baca Mumtaza! Ada di rumah Ziya! Datang, ya! Ada komik, buku anak, sama ensiklopedia juga ada!” Ucap Armida, salah satu dari tiga anak tersebut.

Seorang remaja tergelitik untuk bertanya.

“Eh, kalau novel ada juga, gak?” Tanyanya.

Armida menoleh pada Ziya, meminta jawaban. Yang diminta langsung mengangguk mengiyakan.

“A, ada. Abi punya novel-novel Tere Liye!” jawab Ziya.

Remaja itu tersenyum, bertutur janji akan berkunjung jika senggang.

Tiga orang anak itu menamai diri dengan sebutan ‘AsiMa’. Singkatan dari separuh suku kata dari nama mereka, yakni Armida, Silmy, dan Maziya. Ketiganya didaulat oleh Adi Wahyudin, abinya Ziya, menjadi para petugas taman baca.

Memang tak menyengaja, ketiga bersahabat itu mulanya hanya bertetangga. Lain hal antara Armida dan Maziya, keduanya memang terikat hubungan saudara. Saat ditawari menjadi petugas taman baca, anak-anak berusia 8-9 tahun itu langsung mengangguk setuju. Apalagi ketika dijanjikan akan mendapat fee dari setiap buku yang disewa.

Lumayan, bisa buat jajan, mungkin itu pikir mereka.

Alhasil, hampir saban sore, ketiganya asyik berkumpul di taman baca. Antusias melayani setiap kali ada tetangga yang berkunjung. Mereka bahkan berinisiatif sendiri membuat peraturan taman baca.

Gak boleh bawa makanan di area baca, gak boleh bikin ruangan berantakan, buku harus disetorkan ke petugas TBM, de el el, de es te. Bahkan tak segan menegur kala ada yang melanggar.

Adalah Silmy Widiastuti, anak yang usianya paling dewasa, terlihat rajin sekali membereskan buku. Selalu mengelap rak hingga mengkilap. Seolah tak hendak mengizinkan sebutir debu pun mendekat, apalagi hinggap. Tempat tinggalnya berada tepat di samping rumah Ziya, tak heran jika Ziya menganggapnya sahabat dekat.

Armida Istiqomatudiana, anak yang tak pernah ragu untuk mencoba. Dia dipercaya untuk meng-input data pada komputer, sekaligus menerima dan mengumpulkan uang sewa. Seribu untuk sewa komik atau buku anak, dua ribu untuk sewa novel tebal dan semacamnya. Sangat mudah, tinggal scan barcode dan isi nama saja.

Sewa itu berlaku untuk satu minggu, berbeda jika hendak membaca di tempat, gratis alias tanpa biaya. Armida tahu, toh setiap akhir bulan, uang sewa itu nanti dibagikan seluruhnya pada mereka bertiga, sebagai hasil jerih payah mengurusi taman baca. Rata-rata, masing-masing mendapat dua puluh ribu rupiah per bulan. Lumayan cukup untuk membeli makanan kesukaan.

Yang ketiga, Maziya Mufidah Mumtaza Ilmi. Anak introvert itu lebih sering terlena dengan buku-buku yang ada. Membaca satu-dua novel anak, ditambah beberapa komik seru serta lucu. Iya, Maziya memang suka sekali membaca meniru abinya.

Tetapi kan, nama taman baca itu sudah jelas-jelas diambil dari nama tengahnya, ‘Taman Baca Mumtaza’. Seharusnya Ziya tak pernah tergoda untuk membaca, terutama ketika tempat sempit itu sedang dipenuhi banyak pengunjung. Iya, kan?

“Ziya, tadi novel ‘Ayahku bukan Pembohong’-nya Tere Liye, dipinjem sama siapa?” tanya Armida.

“Eh.. em.. Sama siapa ya? Sama teh Nova bukan, ya?” Ziya malah balik bertanya.

Ragu, karena saat banyak pengunjung tadi, Ziya sedang mencuri-curi kesempatan mengkhatamkan komik KKPK di tangannya.

Armida pun hanya bisa menepuk jidatnya sembari menggelengkan kepala. Apa mau dikata, Ziya memang yang paling kecil di antara mereka bertiga.

***

Abinya Ziya, menaruh deretan lengkap novel Tere Liye di Taman Baca. Ditambah karya-karya Asma Nadia dan Andrea Hirata. Tak ketinggalan novel penggugah jiwanya Kang Abik alias Habiburrahman el Shirazy. Abinya Ziya menggilai buku itu semua.

Dan kau tahu? Konon katanya, buku jualah yang mempertautkan abinya Ziya dengan Ummi Whindy, istrinya.

Dahulu, sekitar empat atau lima belas tahun yang lalu. Keduanya memang seringkali bertukar buku. Ummi Whindy yang sejak di bangku kuliah, sudah gemar mengoleksi buku-buku bergenre motivasi.

Sebut saja buku ‘Burn Yourself’, ‘Setengah Isi Setengah Kosong’, ‘Fulfilling Life’, atau ‘From Zero to Hero’. Tak ketinggalan pula buku manajemen diri serta komunikasinya Dr. Ibrahim Elfiky. Kesemuanya itu telah menempa diri menjadi pribadi yang optimis dan tangguh. Sungguh sejalan dengan profesinya yang menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar.

Buku novel imajinasi, bertukar buku nonfiksi yang memotivasi. Kendati berbeda genre, keduanya saling mengagumi kelebihan masing-masing, berusaha memahami cara pandang masing-masing. Hingga terwujudnya ikatan pernikahan yang suci.

Sungguh dua hati yang saling melengkapi. Ehem..

Tak disangka, Maziya, anak pertama mereka, ternyata tampak suka pula pada buku. Selalu khusyu’ tatkala membaca buku-buku cerita. Hampir saban malam Ziya dibacakan dongeng sebelum tidur. Ceritanya beragam, mulai dari dongeng fantasi perihal Putri, sampai kisah imajinasi dengan tokoh utama Ziya sendiri.

Ah, Ziya kecil selalu riang setiap kali dibacakan cerita. Terlebih ketika Abinya bercerita dari laptop yang menyala. Karena itu artinya, cerita yang dibacakan adalah draft novel anak yang tengah dibuat sendiri. Dan dia sedang menguji kalimat per kalimatnya, dengan langsung memperdengarkannya pada Ziya.

Maka tak heran jika pada tahun 2014, buku pertamanya diterbitkan dengan judul “Ragam Cerita Bersama Ziya”. Disusul novel berjudul “Tiga Putri” dua tahun sesudahnya.

Di tahun yang sama, dia kemudian mendirikan Taman Baca Mumtaza. Alasannya sederhana. Hanya agar buku-buku mereka bisa bermanfaat bagi sesama. Membantu anak-anak tetangga menyelesaikan tugas dari sekolah, misalnya.

Terbukti di suatu malam, pernah pintu diketuk oleh seorang anak tetangga. Usut punya usut, ternyata segumpal cemas sedang dirasa. Anak itu harus secepatnya mencari referensi buku untuk tugas Bahasa Indonesia. Beruntung, keberadaan Taman Baca Mumtaza bisa membantunya.

Pula, ada yang pernah meminjam buku ensiklopedia untuk mengerjakan PR IPA. Ada yang pernah mencari-cari contoh novel Bahasa Sunda, ada juga pasangan muda yang mencari buku dongeng untuk anaknya.

Maklum, dahulu itu teknologi internet tak secanggih sekarang. Situs pencari belum marak seperti hari ini. Akses dunia maya, masih banyak yang dibatasi. Melindungi budaya lokal dari pengaruh globalisasi.

Namun sekarang, mempertahankan Taman Baca, di tengah gempuran gadget yang membabi buta, adalah hal yang sulit tak terkira.

Lihat! Kini tugas anak-anak begitu mudah terjawab oleh ‘Mbah’ Google. Berbagai tips dan trik, ilmu ini-itu, belanja itu-ini, semuanya mudah dilakukan hanya dengan gadget di tangan.

Dan lihat! Kini anak-anak tak lagi gemar bermain Gobak Sodor. Mereka tak suka lagi bermain Loncat Tali. Anak-anak itu lebih suka berkerumun di area wi-fi, bermain game online, tik-tokan, atau sibuk selfie-selfie dan bermedsos ria.

Efek negatifnya, anak-anak menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh hal-hal tercela. Bersikap individualis, egois, menganggap gadget adalah yang paling utama. Tak cukup, mereka pun acapkali abai pada peringatan orang tua. Acuh, menyanggah, bahkan membantah tatkala diminta pulang ke rumah.

Gadget telah membuat mereka terlena, mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan sesuai aplikasi yang dimainkan. Ada yang berkata kasar tanpa tahu arti yang sebenarnya, ada pula yang ringan tangan tanpa sadar bahwa itu akan mencelakakan.

Mereka membutuhkan bimbingan, mereka membutuhkan literasi yang mengarahkan.

Sayangnya, keberadaan Taman Baca Mumtaza (TBM) sendiri ibarat timbul dan tenggelam. Beberapa kali TBM mengadakan lomba menggambar atau mewarnai, hadiahnya buku dan alat tulis. Pengunjung ramai selama beberapa hari, untuk kemudian mereka lebih memilih gadgetnya kembali.

Abinya Ziya lalu mengubah aturan, menggratiskan semua buku yang dipinjam. Menambah koleksi dari berburu buku-buku obralan, serta memberi hadiah pengunjung yang paling rajin datang, dengan gantungan kunci dan bros lucu.

Anak-anak banyak yang datang, banyak pula yang meminjam. Sayangnya, setelah beberapa minggu, lagi-lagi pesona gadget merebut perhatian mereka kembali.

Tak patah arang, abinya Ziya memboyong buku-buku dari TBM ke sekolah tempat istrinya mengajar. Sebuah sekolah di pinggiran kota, di mana ada separuh muridnya yang belum juga bisa membaca.

Bukan! Bukan lantaran mereka malas ataupun enggan. Namun lebih karena terpaksa.

Rata-rata, orang tua mereka berprofesi sebagai kusir delman, pengayuh becak, buruh bangunan, ataupun menjadi badut di perempatan jalan. Notabene demi untuk makan sehari-hari saja mereka harus teramat keras membanting tulang.

Dan anak-anak mereka mau tak mau harus ikut membantu. Mencari makan adalah yang utama, belajar membaca urusan belakangan. Malah, ada pula dari mereka yang keluarganya terpecah, ayah-ibunya berpisah. Sedangkan mereka diurus hanya oleh neneknya yang sudah sepuh.

Dan dengan bayang trauma terpaut di kedua mata, bagaimanalah mereka bisa fokus belajar membaca?

Maka, tatkala buku-buku TBM dibawa ke kelas, anak-anak itu girang bukan kepalang. Memilih buku dengan gambar yang seru, berebut buku dengan warna yang paling beragam.

“Ayo, nak! Pilihlah sesuka kalian! Usah peduli dengan tulisan, tak perlu hirau dengan cerita. Karena sekali kalian berkawan dengan buku, dia akan selalu ada untuk menemani kalian! Dia akan setia menghantarkan pada apa yang kalian cita-citakan!” kata abinya Ziya, lantang.

***

Sekarang, Taman Baca Mumtaza sudah pindah ke rumah sebelah, membuat area membaca tak sesempit seperti sebelumnya. Diberi dua rak tambahan, sebuah seluncuran kecil, serta koleksi buku-buku anak yang asyik dan menambah pengetahuan.

Pengurusnya? Jangan tanya. Periode AsiMa sudah berlalu, berganti dengan era Zahdan, adiknya Ziya. Yang kendati usianya baru tujuh tahun, Zahdan terbukti menjadikan Taman Baca, bukan sebagai area baca belaka. Buku-buku itu kerap dibariskan bak kereta. Atau ditinggikan serona istana. Anak berponi itu tampaknya hendak mengelola taman baca dengan gayanya sendiri.

“Ahoy, kalian! Siapa yang mau main di Taman Baca Mumtaza? Nanti kita main Quiz. Yang menang, dapet hadiah permen!” Ucap Zahdan, lantang.

“Akuu!!” Jawab Byaz, antusias.

“Aku juga mau!” Jamil tak ketinggalan.

“Aku mau permen!” Kata Alde dan Nabil, hampir berbarengan.

Entahlah, apa yang telah dilakukan Taman Baca Mumtaza (TBM) ini, termasuk pada kategori memperjuangkan literasi ataukah tidak. Karena keberadaannya saja, nyaris tak banyak diketahui massa.

Akan tetapi, tidak apa! Dalam segala keterbatasannya, insyaallah TBM akan terus berdiri. Menyediakan buku bagi sesiapapun yang mencari. Mengajak berkawan dengan buku, bersahabat dengan ilmu.

Siapa tahu, akan tiba saat di mana orang-orang merasa bosan dengan handphone. Jenuh bermain game, lalu kembali berbondong-bondong mencintai buku. Dan saat itulah TBM akan menerima kunjungan mereka dengan tangan terbuka, sedemikian tulus untuk membantu.

Ya, siapa tahu?

 

 

BIOGRAFI SINGKAT TOKOH / PENULIS

Nama : ADI WAHYUDIN
Tempat, Tanggal Lahir : Cimahi, 10 Februari 1983
Domisili : Perum Griya Surya Indah No.74, Kel. Sukagalih, Kec.Tarogong Kidul, Garut 44151
Pendidikan Terakhir : S1 (ekonomi)
Jabatan : Operator PLTP

Karya Solo :
1. Ragam Cerita Bersama Ziya (LeutikaPrio, Desember 2014)
2. Tiga Putri (LeutikaPrio, Januari 2016)
3. Sembilu Berwarna Biru (LeutikaPrio, April 2017)
4. Empat Putri (LeutikaPrio, Januari 2018)
5. Alkisah Putri Mumtaza (LeutikaPrio, November 2018)
6. Perihal Nurla, Antara Fiksi dan Kisah Nyata (LeutikaPrio, November 2018)
7. Ragam Ceria Bersama Zahdan (LeutikaPrio, Mei 2019)
8. Alkisah Putri Armida (LeutikaPrio, Desember 2019)
9. Lorong Waktu di SMK 1 (LeutikaPrio, Februari 2020)
10. Bukan Sajak Bukan Puisi, Hanya Sehimpun Jejak Aksara Hati (LeutikaPrio, November 2020)

Karya Antologi :
1. Ya Allah, Izinkan Kami Menikah (Mahabbah, Januari 2017)
2. Sekali Hijrah Selamanya Istiqomah (Noktah, Oktober 2017)
3. Hapus Sedihmu Nikmati Hidupmu (Noktah, Mei 2018)
4. Sabar, Pertolongan Allah Begitu Nyata (Noktah, Juli 2018)
Kontak Whatsapp : 0857-2371-0177
Email : [email protected],
[email protected],
[email protected]
Facebook : https://www.facebook.com/adi.wahyudin.940/
IG : https://www.instagram.com/adiwahyudin77/
Website : www.Abiziya.blogspot.com
www.blogadiwahyudin.wordpress.com

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *