Bilik Pustaka

Menerangi Jalan Sunyi Pegiat Literasi

Literasi menjadi komoditas intelektual yang seharusnya melahirkan banyak intelektual publik. Secara faktual, rendahnya literasi bukan hanya masalah masyarakat bisa membaca atau tidak, melainkan karena terminologi literasi masih dipandang sebatas menghapus buta aksara.

Sementara pegiat literasi masih meraba-raba akan kemana mereka melangkah, apakah sekadar menyediakan buku atau meramaikan pembaca di ruang baca perpustakaan desa atau taman baca, penting sekali mengidentifikasi literasi seperti apakah yang benar-benar dibutuhkan masyarakat untuk pulih dan sadar tentang realitas.

Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah, apakah masyarakat tidak membaca karena persoalan malas, apakah karena jauhnya perpustakaan desa dari jangkauan mereka, atau kebijakan ekonomi politik di desa yang sudah memudarkan core values dari pentingnya literasi untuk membuka kesadaran baru, bukan hanya agar masyarakat desa dapat beradaptasi dengan perubahan sosial budaya, namun juga memastikan masyarakat desa bukan hanya berakhir sebagai penonton dari eksekusi pelaksanaan kebijakan di daerah. Setidaknya pemikiran fundamental ini diperlukan agar pegiat literasi sadar betul bahwa hakikat literasi bukan hanya soal kemampuan membaca, namun juga kemampuan membaca realitas (dunia). Konsep belajar sudah bergeser sesuai konteks, kompleksitas, dan totalitasnya.

Kita pahami, kegiatan membaca membutuhkan kepekaan, sementara kegiatan menulis membutuhkan keberanian. Betul, apa yang kita lihat belum tentu benar. Namun selama tiga generasi apabila kemiskinan masih terus melekat dalam profil desa tersebut, maka kegiatan membaca dan menulis seharusnya memberikan kemampuan masyarakat desa untuk merespon kebijakan, melatih nurani bukan hanya menerima kondisi, namun juga “menghajar” kezaliman di desa, misalkan merajalelanya rentenir di desa, para pemburu rente yang kerap merusak ekosistem alam demi keuntungan sepihak, politik uang yang masih marak dalam pilkades (maupun pilkada), dan deviasi lainnya. Untuk sektor pendidikan formal, wajah perpustakaan masih sebatas tempat menyimpan buku, yang notabene kebanyakan buku yang “normatif”, minus sastra, ekonomi politik, dan transformasi masyarakat. Literasi dalam dunia pendidikan hanya berjalan dengan pendekatan proyek. Sebaliknya ketika anggaran proyek habis, maka mati pula kegiatan literasi.

Peristiwa banjir di Kalimantan Selatan, illegal logging, dan longsor adalah suatu yang tidak diperhitungan manusia secara cermat dan cerdas. Janganlah kepandaian digunakan untuk membodohi orang lain, apalagi dipergunakan untuk memperalat sebuah kebijakan demi kepentingan pemburu rente (SDA Indonesia yang melimpah menjadi sasaran empuk pemburu rente), termasuk korupsi di bidang SDA menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Bencana sekaligus menjadi momentum agar masyarakat sadar betul dengan kebijakan yang dipilih penguasa dan politisi serta keterlibatan pemburu rente yang kuat pengaruhnya bagi penguasa. Dari diskusi dengan Prof Ward Barenschot di LP3ES di akhir tahun 2020 dikatakan bahwa ada pengaruh besar dari pihak pengusaha terhadap eksistensi menang tidaknya calon kepala daerah dalam pilkada.

Sebagaimana dikutip dari https://www.jawapos.com/…/walhi-sebut-banjir-di-kalsel…/, Walhi menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan untuk usaha penambangan dan perkebunan yang tidak dilakukan dengan amdal yang baik telah menyebabkan rusaknya ekosistem. Berdasarkan catatan Walhi Kalimantan Selatan terdapat 814 lubang milik 157 perusahaan tambang batubara. Sebagian lubang masih berstatus aktif dan sebagian lagi ditinggalkan tanpa reklamasi. Kemudian dari 3,7 juta hektare total luas lahan di Kalimantan Selatan setidaknya 50 persen di antaranya sudah dikuasai oleh perizinan tambang dan kelapa sawit.

Pegiat literasi perlu memahami betul, bahwa masyarakat desa memerlukan input yang lebih dari sekadar mengerti dan memahami suatu hal. Fondasi yang perlu dikedepankan adalah mindset untuk menghidupkan kembali keberanian dalam meraih hak-haknya. Untuk itu, pegiat literasi bukanlah “one man show” ibarat superman yang dapat membabat habis musuhnya.

Jadilah Avengers yang saling membantu satu sama lain, membangun sistem dan skenario program yang saling menopang tanpa harus ketakutan kehilangan sumber daya manusia. Inilah imunitas yang akan menjadikan peran pegiat literasi berada dalam sistem/manajemen yang berjejaring dengan lembaga lainnya, seperti sekolah, dinas perpustakaan, perusahaan, dan komunitas literasi lainnya.

Saya masih ingat sekali ketika saya melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di salah satu kecamatan di kabupaten Lebak Provinsi Banten tahun 2006 silam, salah satu program yang harus kami lakukan adalah mendirikan taman bacaan di salah satu desa dari beberapa desa yang menjadi tempat tinggal kami selama PPL.

Ketika kami berhasil mendirikan TBM di desa tertentu, ternyata kami mendapat kabar selepas PPL usai, bahwa terjadi kecemburuan sosial antar desa di kecamatan tersebut. Hal ini menimbulkan kekisruhan sendiri, bahwa tidak semua hal baik, ditafsirkan baik juga. Oleh karenanya, pegiat literasi tidak hanya perlu cerdas, namun perlu pemahaman komprehensif/demografi di daerah, minimal bagaimana komunitas literasi antar desa dapat saling bersilaturahmi untuk menghindari kontestasi yang tidak perlu.

Pegiat literasi dapat mengintegrasikan program literasi dengan lembaga formal/nonformal yang sudah lebih dahulu ada, bahkan tidak perlu lagi membangun ruang tertentu untuk memulai program. Public school yang ada di Amerika, bahkan salah satunya menjadikan perpustakaannya dibuka untuk malam hari bagi masyarakat yang notabene bekerja dari pagi hingga sore. Artinya, kemampuan meramu input bagi pegiat literasi untuk menemukan cara yang efektif dan efisian lebih penting, untuk menghindari kekisruhan yang tadi saya katakan.

Program Literasi di Desa

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 terdapat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Jumlah tersebut terdiri atas 75.436 desa (74.517 desa dan 919 nagari di Sumatera Barat), kemudian 8.444 kelurahan serta 51 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT). Kondisi ini berseberangan dengan kenyataan bahwa jumlah perpustakaan di desa masih ada 1.201 perpustakaan dan 12.662 taman bacaan. Jumlah ini masih sangat minim, dibandingkan jumlah desa yang mencapai 83.931 desa/sederajat.

Dilihat dari komposisi penduduk, persentase pemuda di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan (57,83 persen berbanding 42,17 persen). Pada tahun 2020, hampir tidak ada pemuda yang tidak bisa membaca dan menulis. Sekitar satu dari empat pemuda tercatat sedang bersekolah, dengan angka partisipasi sekolah (APS) pada kelompok umur 16-18 tahun, 19-24 tahun dan 25-30 tahun masing- masing sebesar 72,72 persen, 25,56 persen dan 3,38 persen. Secara umum, menurut APS pemuda di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Goode (1963) dalam Marshan, dkk (2013) menurutnya menjadi hal yang normal jika orang yang tinggal di perdesaan cenderung lebih cepat menikah dibandingkan yang tinggal di perkotaan.

Secara faktual, pandemi Covid-19 yang sudah mewabah hampir setahun lebih memang berdampak pada desa. Namun desa terbantu guyuran Anggaran Dana Desa sebesar Rp72 triliun di Tahun 2021 yang diharapkan untuk mencapai tujuan-tujuan SDGs Desa dengan tetap memberikan keleluasaan kepada pemerintah desa yang disesuaikan dengan kondisi lokal masing masing desa. Untuk mencapai tujuan SDGs tersebut dibutuhkan input pengetahuan yang baik tentang penggunaan dana desa.

Terkait dampak pandemi Covid-19 yang melanda, ada tiga prioritas penggunaan dana desa Tahun 2021 berdasarkan Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 yaitu pertama pemulihan ekonomi nasional, kedua program prioritas nasional sesuai kewenangan desa, dan ketiga adaptasi kebiasaan baru desa. Untuk itu, menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang teknologi informasi menjadi sebuah keniscayaan.

Berdasarkan hasil evaluasi cepat LPEM dan Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI menunjukkan bahwa covid-19 lebih berdampak besar pada perekonomian di wilayah perkotaan dibandingkan di wilayah pedesaan. Di sisi lain, perekonomian pedesaan masih mengalami peningkatan aktivitas ekonomi saat pandemi covid-19. Di sisi lain, kekhawatiran berbagai pihak untuk membuka kembali sekolah yang dapat mengancam kesehatan peserta didik serta guru merupakan alasan utama proses belajar dari rumah terus menerus dilaksanakan. Kemugkinan terjadinya loss learning semakin besar dan angka putus sekolah juga ikut menurun. Maka, kebutuhan pegiat literasi untuk menjalankan protokol kesehatan demi terus mengeksistensikan komunitasnya perlu mendapat dukungan pula dari pemerintah/pemerintah daerah.

Bahkan, sejak tahun 2015, GIM (Gerakan Indonesia Membaca) dicanangkan dan mengalami pengembangan dari tahun ke tahun, secara berkesinambungan dan menjangkau daerah-daerah di pelosok Tanah Air, diperkuat dengan program rintisan Kampung Literasi dan bantuan fasilitas sarana Taman Bacaan Masyarakat (TBM) (Kemendikbud, 2017). Kebutuhan akan komunitas literasi semakin besar mengingat dalam data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan data angka anak putus sekolah di Indonesia pada 2019 berjumlah sekitar 4,3 juta siswa Indonesia putus sekolah di berbagai jenjang.

Keberadaan pegiat literasi dengan komunitasnya dapat menahan laju angka putus sekolah yang tidak terdeteksi di masa pandemi ini. Kelebihan hidup di desa, suasana komunikasi dibangun bukan secara online, melainkan dengan tatap muka. Konsumsi digital sebagai teknologi yang hadir sebagai alat untuk memudahkan penyelenggaraan desa.

Dampak lainnya yakni banyaknya pemuda yang bekerja di perdesaan merupakan salah satu konsekuensi dari masih tingginya angka kemiskinan serta lebih sekitar separuh bekerja rendahnya capaian pendidikan di perdesaan. Rendahnya angka partisipasi sekolah dan tingginya angka putus sekolah di perdesaan, secara langsung akan mendorong pemuda perdesaan untuk masuk ke dalam pasar kerja lebih dini. Kondisi tersebut menjadi semacam jalan tunggal yang cenderung membuat kapasitas pemuda di perdesaan lebih tertinggal dibandingkan dengan pemuda di perkotaan. Harapan ke depan, selain membangun perpustakaan di tingkat kabupaten/kota, ada pentingnya juga apatur desa perlu membantu adanya perpustakaan yang harus ada di tingkat ekcamatan dan perpustakaan mini di desa.

Beberapa Langkah Strategis

Pemerintah juga tidak tinggal diam, setelah meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah, melalui South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) melalui South East Asian Asian Quality Improvement for Teacher in Language (SEAQIL) menginisiasi program Klub Literasi Sekolah (KLS) guna mendongkrak kompetensi literasi siswa. Pembentukan KLS merupakan respons SEAQIL terhadap kebijakan Kemendikbud, yakni Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, dan penetapan Asesmen Nasional dengan literasi sebagai salah satu komponen penilaian. Hal ini dilakukan m mengingat indikator PISA 2018 terkait hal ini masih menempatkan Indonesia di kelompok bawah pemeringkatan.

Anggaran pendidikan yang selalu meningkat dari 409 T ditahun 2015 hingga 492 T di tahun 2019, menjadi political will pemerintah dalam pemerataan pembangunan. Persoalannya muncul tatkala hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 terjadi penurunan dibandingkan tahun 2015, yang menandakan menggambarkan betapa kualitas pendidikan berjalan mundur. Penilaian PISA dilakukan dengan menguji anak-anak berusia 15 tahun. Bahan yang diuji adalah Matematika, Sains, dan Kemampuan Membaca. Setiap negara memiliki jumlah sampel yang berbeda, OECD mengklaim ada 600.000 pelajar dari 72 negara yang diuji di PISA di seluruh dunia. Singkat kata, pengeluaran yang lebih tinggi untuk pendidikan tidak menjamin kinerja siswa yang lebih baik. Di antara ekonomi berpenghasilan tinggi, jumlah yang dihabiskan tentang pendidikan kurang penting daripada bagaimana sumber daya itu digunakan.

Sumber: Puspendik, Balitbang, Kemendikbud, dan PISA 2018, OECD (diolah oleh Asisten Deputi Pendidikan Menengah dan Keterampilan Bekerja, Kemenko PMK)

Pemeringkatan PISA 2018 secara resmi diliris OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) Selasa (3/12). Berikut perbandingan skor PISA Indonesia untuk periode 2015 dan 2018. Skor kemampuan membaca turun dari 397 poin ke 371 poin. Kemudian kemampuan matematikaturun dari 386 poin ke 379 poin. Lalu kemampuan sains turun dari 403 poin ke 396 poin. Akibat dari raihan itu, ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-72 menjadi ke-77.

Potret tersebut menunjukkan bahwa terjadi disparitas skor PISA DIY dan DKI dengan provinsi-provinsi lainnya yang cukup signifikan. DKI Jakarta dan Yogyakarta berada dalam IPM “tinggi”, yang jauh berbeda dengan banyak daerah di Indonesia yang perlu mengejar ketertinggalan dalam IPM. Ini mengartikan bahwa IPM berdampak signifikan dalam PISA.

Bila dibandingkan dengan siswa dari negara tetangga atau bahkan rata-rata negara OECD, kemampuan siswa kita masih jauh tertinggal. Skor PISA yang rendah akan berdampak pada rendahnya keahlian dasar calon tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan hasil historis PISA, peningkatan kualitas pendidikan sangat lambat. Dengan skor PISA banyak provinsi di Indonesia yang masih rendah diperlukan terobosan, agar dapat mengejar ketertinggalan terkhusus memicu peningkatan literasi di desa.

Ada beberapa langkah strategis yang patut dikedepankan bagi siapapun pegiat literasi, di antaranya:

Pertama, kesadaran kolektif pegiat literasi tidak cukup hanya menjalankan program berdasarkan pendekatan proyek. Dukungan pemerintah memang diperlukan, namun tanpa bantuan pemerintah pun, pegiat literasi sejati dapat berkolaborasi dengan lembaga yang sudah eksis, seperti sekolah, perpustakaan desa, bahkan CSR perusahaan yang memang belum eksis kegiatan program literasinya.

Kedua, tumbuh kembang tahapan literasi di desa harus dilakukan secara “keroyokan”, tidak dapat parsial. Keberadaan komunitas literasi diharapkan dapat mendukung pula misalkan di masa pandemi ini, bagaimana pegiat literasi dapat memunculkan program yang relevan terkhusus di desa yang tidak/belum menikmati akses internet maupun listrik.

Ketiga, mendorong keterlibatan program literasi antar desa berupa program peningkatan literasi dan numerasi yang berhubungan dengan kurikulum pendidikan. Ketika sekolah masih ditutup, bukan berarti belajar mengajar tidak dapat dilakukan secara total. Mengoptimalkan peran pegiat literasi akan menetralisir terjadinya loss learning siswa.

Peningkatan literasi desa bukan lagi soal prestasi individu atau prestise satu atau dua desa. Keberhasilan literasi di satu desa akan menular ke desa lainnya, untuk itu, menghindari kontestasi lebih baik. Ke depan, literasi di desa akan menopang meningkatnya status desa, dari desa tertinggal ke desa maju atau dari desa sangat tertinggal ke desa maju.

Kita berharap jalan pegiat literasi tidak lagi sunyi dan menjadi misteri yang hanya dikenal komunitasnya sendiri. Melalui penguatan literasi yang saling berkolaborasi dan menyentuh dunia pendidikan, pengembangan literasi akan menguatkan sendi-sendi pertumbuhan ekonomi di pedesaan yang diiringi dengan keberanian masyarakat untuk berinovasi dan menentang kezaliman yang merugikan masyarakat desa.

Daftar Pustaka:

  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/06/13/berapa-jumlah-desa-di-indonesia
  • https://www.jawapos.com/…/walhi-sebut-banjir-di-kalsel…/
  • https://www.medcom.id/ekonomi/makro/VNnlZjJk-riset-ui-desa-bisa-jadi-motor-penggerak-pemulihan-ekonomi-nasional
  • https://www.antaranews.com/berita/1318818/kemendes-dana-desa-bisa-digunakan-untuk-pembangunan-perpustakaan
  • Statistik Pemuda Indonesia 2020 (Bps Tahun 2020)

BIODATA DIRI

Nama KTP : Muhammad Ivan
TTL : Jakarta, 5 September 1981
Domisili : Depok, Jawa Barat
Pendidikan terakhir : S2 Ilmu Komunikasi UI
Pekerjaan : Analis Kebijakan , Kemenko PMK
Organisasi/Komunitas : PIP-Pusnas (Pegiat Inkubator Perpustakaan Nasional)
Karya : Inovasi Pustakawan Menuju Indonesia Baru (Perpusnas Press), dll
Email : ivansky5981@gmail.com
FB : https://www.facebook.com/muh.azhari
IG : @ivan5981muhammad
HP : 081318438205

Related Posts

One thought on “Menerangi Jalan Sunyi Pegiat Literasi

  1. Shinta Pratiwi berkata:

    Menjadi penggiat literasi perlu keberanian dan komitmen dalam diri untuk terus menerus menyerukan kepada khalayak umum bahwa literasi itu perlu ditingkatkan demi sumber daya manusia yang lebih bermutu, tidak hanya sekedar membaca saja, akan tetapi menulis, menganalisis dan mengelola data juga termasuk kedalam hal itu. Mungkin menjadi tantangan sekali apabila sifat malas masih dikedepankan, dan yaaa perlu direnungkan juga oleh masing-masing pihak bagaimana seharusnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *