Pejuang Literasi

Merawat Mimpi hingga Kini

Esai Perpustakaan Merawat Mimpi hingga Kini

Menemukan Sebuah Mimpi

Tahun-tahun terakhir di kampus adalah tahun penuh kebimbangan bagi seorang Leyla. Bukan perkara sulitnya menemui dosen pembimbing skripsi. Bukan pula tentang target rampung kuliah dalam delapan semester. Baginya, urusan akademik adalah hal menyenangkan. Jadi, tidak ada yang sulit jika dilakukan dengan riang gembira.

Anak perempuan sulung itu dipenuhi kebimbangan terhadap masa depannya. Lebih tepatnya pilihan karier yang kelak akan ditekuninya. Sebenarnya, sudah sejak Aliyah, ia telah menikmati uang hasil jerih payah sendiri. Meski tidak banyak. Mengajar Bahasa Inggris di sebuah kursus tak jauh dari rumah serta sesekali menulis di media. Dua aktivitas yang tentu saja sangat bisa ditekuni pasca lulus kuliah. Menjadi guru sekaligus penulis. Atau hanya memilih salah satunya.

Namun entah mengapa, hatinya merasa masih ada yang ingin dicari. Sesuatu yang belum terdefinisikan. Sesuatu yang membuatnya gelisah. Sesuatu yang ingin ia lakukan. Sesuatu yang akan mengukir sejarah bagi keberadaan dirinya. Sesuatu yang ingin ia persembahkan.

Di dalam bus kampus yang membawa rombongan mahasiswa KKN, Leyla membuka sebuah majalah remaja. Ia sengaja membeli majalah tersebut sebagai teman perjalanan. Jarak Palembang-Baturaja ditempuh sekitar empat jam. Waktu yang sayang jika hanya digunakan untuk tidur atau ngobrol. Selama sebulan ia akan melakukan pengabdian masyarakat melalui program KKN di salah satu desa di daerah Baturaja.

Dua halaman berwarna majalah itu menulis tentang Rumah Dunia yang didirikan oleh penulis legendaris Gola Gong. Tertera foto-foto berbagai kegiatan di Rumah Dunia. Termasuk juga foto pendiri dan beberapa relawan di sana. Ada rak yang dipenuhi buku. Juga buku-buku yang bertebaran di banyak tempat di Rumah Dunia.

“Ya, ini. Ini yang aku inginkan,” Leyla berkata pada dirinya. Matanya berbinar. Wajahnya sumringah.

“Ya… Ya, aku menemukannya.” Lagi-lagi ia menyakinkan diri. Mengangguk-anggukkan kepala. Menangkupkan kedua tangannya ke depan muka.

Sejak hari itu, Leyla menulis satu mimpi di kepala dan hatinya. Ia akan membangun sebuah rumah baca. Sebuah dunia yang akan ia ciptakan dipenuhi buku-buku. Bahkan untuk mimpinya itu, ia pernah meminta pada Allah agar dijodohkan dengan seseorang yang juga mencintai buku.

Teruslah bermimpi, sebab Tuhan akan memeluk mimpimu, ujar seorang penulis. Dan Leyla mempercayainya. Ia hanya mengenal lelaki itu sebelum akad nikah. Jangankan mengetahui calon suaminya itu suka membaca atau tidak. Karakter dan sifatnya saja belum sepenuhnya Leyla pahami. Tapi baiklah, biarkan takdir menjalankan rencananya.

Setelah resmi berstatus sebagai istri, Leyla harus pindah domisili. Sepertiga barang yang dibawanya pindah adalah buku bacaan. Sepertiga lagi berupa catatan kuliah, diktat, kumpulan makalah, berkas organisasi, sertifikat, serta surat-surat berharga lainnya. Barulah sepertiga lagi adalah kebutuhan pribadi.

Karena belum memiliki rak khusus, puluhan buku yang dikumpulkan Lelya semasa kuliah diletakkan di lemari pakaian paling bawah. Beberapa buku ditumpuk di dekat tempat tidur.

Mimpi tentang rumah baca terus ia jaga. Meski bulan berganti tahun belum ada tanda mimpi menjadi nyata.

Orangtua Leyla bukanlah dari kalangan akademisi yang dekat dengan aktivitas literasi. Ayahnya hanya pedagang di pasar tradisional. Sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Tidak ada buku lain di rumahnya kecuali buku pelajaran sekolah. Itu pun dibeli karena diwajibkan oleh guru.

Mungkin satu-satunya aktivitas membaca yang pernah disaksikan Leyla adalah melihat ayahnya membaca koran. Ayah membeli koran untuk menghilangkan kejenuhan saat tidak ada pembeli. Dengan harga seribu rupiah tidak terlalu memberatkan Ayah untuk mengeluarkan uang. Dan biasanya koran akan dibawa di sore hari saat Ayah pulang dari pasar.

Leyla mencintai buku untuk pertama kalinya ketika kelas 3 Ibtidaiyah. Saat sebuah buku Ensiklopedi Ruang Angkasa ia temukan di antara buku-buku berdebu di rak perpustakaan sekolah. Ia menyaksikan gambar alam semesta yang membentang luas di dua halaman buku. Gelap langit hitam dihiasi berbagai bintang berkelip serta jutaan benda langit.

“Wooowww…,” ujar gadis kecil itu berdecak kagum.

Kini, ia punya alasan lebih kuat dari sekadar ingin melihat keindahan langit saat membaca sebuah buku. Ia memiliki daftar panjang manfaat membaca buku baginya. Alasan yang juga ingin ia sampaikan ke banyak orang di sekitarnya.

Rumahku Perpustakaanku

Memasuki tahun keempat pernikahan, keluarga kecil Leyla telah dianugerahi dua orang putra. Kian bersyukur karena mereka telah menempati rumah sendiri. Sebelumnya masih harus tinggal bersama orangtua suami.
Sebuah rak khusus buku juga sudah menghiasi ruang keluarga. Isinya telah penuh oleh buku-buku milik Leyla dan suami. Juga beberapa buku yang mereka beli untuk buah hatinya.

“Besok belajar ngaji ke sini, ya. Sore, sesudah ashar,” ujar sang suami pada dua orang anak tetangga yang pamit pulang.

Sejatinya sang suami ingin mengajar anak mereka membaca al-Qur’an. Ketika datang anak tetangga maka terpikir juga untuk mengajak mereka belajar bersama. Leyla yang mendengar rencana suaminya turut terbetik untuk mewujudkan mimpi.

Esoknya, ketika dua orang anak tetangga datang, mereka tak hanya belajar mengaji tetapi juga diajak membaca buku. Lebih tepatnya dibacakan buku.

“Kalau besok-besok mau lihat buku-buku lagi, boleh. Ajak juga teman-teman yang lain baca buku di sini, ya.” Kali ini Leyla yang berpesan pada dua bocah itu.

Dua anak. Lima anak. Sepuluh hingga cukup ramai memenuhi ruang depan rumah Leyla oleh anak-anak. Agar tidak tercampur dengan buku orang dewasa, dibelilah rak kayu yang biasa untuk rak sepatu untuk tempat buku anak. Tidak di ruang keluarga, melainkan ruang tamu dijadikan tempat memajang buku serta ruang baca.

Pada Desember 2017, Leyla meresmikan nama Rumah Baca Al-Ghazi. Sebuah acara peresmian dirancang. Selain mengundang anak-anak sekitar rumah. Juga turut diundang orangtua mereka. Diskusi pengasuhan anak serta beragam lomba diadakan. Intinya, Leyla ingin membangun pemahaman yang sama dengan para tetangga bahwa aktivitas membaca itu penting dan memberi banyak manfaat.

Para tetangga menyambut antusias kehadiran Rumah Baca. Setidaknya itu dibuktikan dengan anjuran para orangtua terhadap anaknya ketika mengantar ngaji.

“Bacalah buku dulu,” kata seorang ibu pada anaknya meski ia sendiri belum pernah mampir ke rumah baca yang tak lain ruang depan rumah Leyla.

Bagi anak-anak yang sudah sekolah, kehadiran Rumah Baca Al-Ghazi cukup membantu mereka mencari referensi untuk tugas sekolah. Maklum di desa ini sangat kurang akses terhadap bahan bacaan. Ada perpustakaan di kantor desa tetapi nyaris tidak terawat. Mungkin karena tidak ada petugas khusus yang mengurus Perpusdes. Lalu bila anak-anak itu ingin ke perpustakaan kabupaten, butuh perjalanan sekitar satu jam menggunakan motor. Tetapi ini pun mustahil ditempuh karena jalan yang dilalui jalan provinsi dengan lalu-lalang kendaraan antar kota.

Maka Leyla berpikir untuk memenuhi kebutuhan akses bacaan mereka. Jika hanya mengandalkan buku yang ada, tentu saja sangat tidak memungkinkan. Terlebih buku koleksi Leyla lebih banyak buku untuk konsumsi dewasa. Buku anak hanya ada beberapa yang dibeli setelah ia memiliki anak. Leyla pun mulai mencari donasi buku. Lewat media sosial, Leyla berburu buku. Giveaway, lomba, challange atau apalah namanya terpenting ia mendapat tambahan koleksi untuk rumah baca Al-Ghazi.

Bukan tanpa alasan Lelya membidik anak-anak sebagai anggota rumah baca. Sebab, anak-anak relatif lebih mudah diajak. Rasa penasaran pada anak bisa dimanfaatkan untuk menanamkan kecintaan membaca. Anak-anak juga mudah berkumpul, misalnya diadakan kegiatan menggambar, bernyanyi, atau bermain bersama.

Alhamdulillah perlahan koleksi rumah baca kian bertambah. Variasi buku bacaan anak seperti buku cerita, ensikolopedi, buku agama, buku pelajaran, buku pengetahuan, novel, majalah, sudah tersedia. Berharap buku-buku tersebut bisa semakin lengkap. Namun tantangan selanjutnya hadir.

“Bunda, bukunya koyak.”

“Bunda, bukunya lepas sampulnya.”

“Bunda, bukunya rusak.”

“Bunda, bukunya dicoret.”

Dan masih banyak lagi aduan dari anak-anak. Bukan tidak diberi pemahaman tentang menjaga buku. Sudah berkali-kali. Kadang Leyla hampir menangis saat melihat anak-anak menjadikan buku sebagai mainan yang dilempar-lempar.

Aturan yang dibuat seolah berlalu begitu saja. Dalam kondisi tenang, Leyla bisa memahami perilaku anak-anak tersebut.

Bagi mereka buku bukanlah benda istimewa hingga butuh perlakuan khusus. Satu-satunya buku bacaan yang selama ini mereka temui adalah buku paket yang dipinjamkan dari sekolah. Seperti banyak buku paket, kesan menakutkan yang diingat oleh anak. Sebab, di buku paket inilah bertumpuk PR dari guru.

Tentu saja sangat berbeda dengan Leyla yang menjadikan buku jauh lebih berharga dari benda apapun. Semua koleksi bukunya disampul plastik rapi. Tidak ada coretan kecuali nama pemilik. Tidak ada halaman yang terlipat, koyak atau kotor. Leyla begitu menyayangi buku-bukunya.

Air mata Leyla mulai turun satu persatu. Ia tak mampu bersuara lagi. Tatapannya sayu melihat rak buku berantakan. Buku bertebaran di sepanjang ruang depan. Kertas sobekan buku juga menyampah. Kejadian yang bukan sekali.

Hingga kini Leyla mengurus rumah bacanya hanya berdua dengan suami. Bentuk ‘nepotisme’ yang terpaksa ia lakukan. Sebagai donatur, suami Leyla suka menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku guna menambah koleksi. Sesekali di saat libur kerja, ia turun tangan memperbaiki buku-buku yang rusak. Atau juga turut merapikan buku ke raknya. Termasuk juga membuat beberapa kegiatan untuk anggota rumah baca. Itu semua sudah lebih dari dukungan yang luar biasa. Mengingat kesibukan kerja suami yang nyaris tidak ada jeda.

Gagasan untuk merekrut relawan juga sering kali menjadi tema obrolan di meja makan pasangan suami-istri ini. Setelah merancang konsepnya, mulailah Leyla mengajak beberapa remaja sekitar untuk terlibat. Dua-tiga orang mau ikut. Dua, tiga bulan mundur. Ada lagi yang aktif. Dua, tiga kegiatan menghilang. Dengan berbagai alasan.

Terkadang rasa lelah membisikkan kata menyerah. Ya, Leyla merasa lelah jika harus selalu sendiri. Urusan domestik dengan lima orang anak yang semuanya belum bisa mandiri. Ditambah kesibukan mengajar dan urusan administrasi sekolah. Belum lagi amanah di organisasi serta keinginan untuk tetap meluangkan waktu buat menulis. Semua harus dilakukan dengan porsinya masing-masing.

“Apa aku harus menyerah? Setelah melangkah sejauh ini?” Pertanyaan yang kerap menghantui.

Tidak!

Leyla tidak ingin menyerah. Ia paham, dirinya lelah. Bahkan teramat lelah. Tetapi menyerah bukan solusi. Jika ia berhenti di titik ini maka tidak akan bisa memulai dari awal lagi. Jika ia berhenti, tetap akan ada kelelahan lainnya yang mengisi harinya.

Lelah? Bukankah memang tugas manusia berlelah-lelah di dunia untuk kemudian mengambil hasilnya di akhirat? Maka sekali lagi Leyla memperbaharui niat, menyuburkan kembali semangat. Ia akan tersenyum dalam saat menyaksikan anaknya usia 3 tahun duduk asyik ‘membaca’ buku. Atau mendengar si sulung berceloteh mengisahkan ulang cerita dari buku yang baru dibacanya.

Lain waktu, ada seorang gadis kecil duduk sendirian di depan pintu rumahnya. Ia tidak memanggil untuk bermain. Melainkan sibuk mengamati bermacam gambar di buku yang berserakan di teras.

Di beberapa kali kesempatan, seorang ibu dengan anaknya khusus datang ke rumah Leyla untuk meminjam buku. Butuh kantong yang cukup besar untuk membawa beberapa buku yang dipinjam si ibu. Nyatanya, dua minggu kemudian si ibu datang lagi untuk mengembalikan buku sekaligus meminjam yang lain.

Betapa banyak kebahagiaan yang silih berganti hadir. Menumbuhkan kecintaan itu sulit. Tetapi Leyla ingin percaya bahwa akan ada masanya benih cinta itu tumbuh. Lebih dari sekadar mau membaca, anak-anak desanya akan menjadi para pencinta buku. Para pembelajar sejati yang menjadikan aktivitas membaca adalah kebutuhan jiwa.

“Kita boleh tinggal di desa. Tapi kita akan berkarya mendunia,” itulah mimpi yang selalu Lelya teriakkan ke anak-anak, adik-adik, serta para tetangga sekitar kediamannya.

Leyla tidak tahu kapan ia akan bertemu dengan orang yang sevisi dengannya. Hingga mau mewakafkan diri bagi kemajuan literasi di desa ini. Tapi Leyla percaya, generasi itu akan lahir. Sebab, ia akan terus merawat mimpinya, kini dan nanti.

Biografi Tokoh dan Penulis

Umi Laila Sari, lahir di Tanjung Enim pada 12 Maret 1984. Besar di Kota Palembang, namun setelah menikah hijrah ke desa Sungai Rengit Kabupaten Banyuasin. Aktivitas kesehariannya adalah pendidik di KB IT Qudwah serta ibu dari lima putra. Tahun 2019, sekolah yang dipimpinnya mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional dalam program Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku.

Menyukai dunia literasi yang dibuktikannya dengan aktif menulis di berbagai media serta menerbitkan beberapa buku. Alumni Fakultas Dakwah IAIN Raden Fatah ini bergabung dengan Forum Lingkar Pena serta mengelola Rumah Baca Al-Ghazi. Pernah terpilih sebagai pengunjung perpustakaan terbaik di Perpustakaan Provinsi Sumsel.
Tokoh di kisah ini adalah kisah pribadinya dengan semua suka duka mengelola rumah baca Al-Ghazi sejak tahun 2017 hingga sekarang.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *