Pejuang Literasi

Perjalanan Literasiku Bersama My Zaujiy

Selepas adzan Isya malam itu kami beranjak meninggalkan Jakarta. Sepanjang jalan terasa lengang dan dingin angin malam seakan menusuk hingga tulang. Sejenak beristirahat mencoba menikmati pekatnya malam di sebuah rest area dan membuang jauh pandang sambil melayangkan angan bagaimana aku nanti.

Lampu yang menggantung di muka gapura sebuah pedukuhan, kala itu sang “jago berjengger merah” baru saja terjaga dari lelapnya yang ditemani Candra separuh. Hamparan sawah ladang malam itu tak menampakan keindahannya. Ya, hanya pekat yang kutatap, meski di kejauhan ada titik-titik cahaya sinar lampu dari ladang bawang.

“Duh, bagus sekali, yah, ada lampu-lampunya!” komentar bunda yang juga mengamati.

Bunda, terlebih aku, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan tinggal dan menetap di desa. Dahulu aku hanya membayangkan bahwa hamparan sawah ladang adalah tempat yang indah, bagai di surga dengan semilir angin dan bersihnya udara saat kami hirup bersama kedamaian menyertainya. Meninggalkan bisingnya hiruk-pikuk dan gaduhnya asap knalpot kota besar, meniggalkan keramaian Mall atau dentuman mesin-mesin pabrik yang menyemat serta meninggalkan sahabat, kerabat dan handai taulan yang dengan setia menyertai segala aktifitas saat di Jakarta.

Aku memulai pagi dini hariku dengan menatap ujung jalan yang begitu panjang, hingga akhirnya mobil yang kami naiki berhenti di depan sebuah rumah joglo yang begitu klasik aku menyebutnya. Suara derit pintu menggugahku dari mimpi perjalanan panjang dan ini adalah awal dari perjalanan hidupku yang baru.

Aku dan suamiku sebelumnya memang bekerja di Jakarta, karena memang aku lahir dan besar di sana. Sedangkan suami seorang perantau yang bekerja di Jakarta karena sebuah keadaan. Orangtua dari suamiku meminta agar kami tinggal menetap dan mengikuti pendaftaran calon perangkat desa di desanya dan ternyata harapan mertua terwujud.

Hening malam diiringi suara jangkrik atau burung malam. Si jengger merah pun sudah terlelap diperaduannya. Aku dan khayalanku berkelana apa yang harus aku lakukan di sini. Beberapa hari berlalu, jenuh mulai merayapiku dan gundahku membuncah.

***

Sejak kecil aku dipanggil Oja. Bundaku bilang saat itu pada kakakku, “Oja, Orangnya jujur amat, biar nanti jadi orang yang jujur”. Dan ternyata aku memang sulit berbohong, pasti ketahuan, makanya aku takut berbohong karena malu kalau nanti terbongkar, sampai akhirnya teman-teman mengejekku si culun yang jujur. Pada akhirnya saat pertama kali aku bekerja, atasanku yang sekaligus dosenku di kampus berkata, “Nak, adakalanya kita harus berbohong demi kebaikan dan keselamatan kita. Kamu tak akan mengatakan yang sejujurnya tentang rahasia perusahaan, kan, Nak, kepada orang lain?”. Masih terbayang saat dulu beliau menasehatiku, Prof. Dr. Peter Salim, M.A.

Aku anak kedua dengan satu kakak dan dua adik. Aku terlahir dengan keterbatasan penglihatan. Dokter bilang, retinaku tipis dan lensa mataku tidak sensitif menangkap cahaya, sehingga bola mataku menjadi lebih lonjong. Lain halnya dengan saudaraku yang lainnya, mereka cantik, bermata jeli dan penglihatan yang tajam. Namun aku menyadari bahwa Allah SWT menciptakan makhluk-Nya dengan sempurna.

Bunda bilang, saat kecil dulu aku anak yang riang dan gemar bernyanyi, waktu itu bapakku senang membelikan aku kaset lagu anak-anak, dan aku bisa menyanyikan. Padahal aku bercita-cita menjadi seorang Polwan atau tentara, karena bapakku bilang tubuhku tegap dan jika berjalan terlihat gagah. Aku anak perempuan yang tak pernah senang bermain boneka atau mainan anak perempuan pada umumnya, aku lebih senang bermain mobil-mobilan, tembak-tembakan atau permainan anak laki-laki lainnya.

***

Pagi yang cerah menyapa kami, suasana di rumah begitu membahagiakan karena aku sedang berlatih bernyanyi. Siang nanti di sekolah ada penilaian seni suara. Teman-teman di kelasku akan tampil menyanyikan lagu yang mereka sukai, dan aku tengah berlatih lagu “Desaku” bersama bunda. Saat pulang dari sekolah, bundaku serasa tak sabar menanti kedatanganku, sontak beliau bertanya, “Bagus, ga, tadi nyanyinya? Dapat nilai berapa dari Bu Guru?”.

“Aku dapat nilai delapan, nilai tertinggi karena aku menghayati saat menyanyikannya. Mak, nanti kalau sudah besar nanti, aku mau tinggal di desa, yah, Mak. Desa kan indah, yah, Mak. Ada sawah, gunung, sungai juga pohon-pohon dan bunga-bunga yang bagus sekali di sana”. Begitu celotehku pada bunda, yang saat kecil kupanggil Mama. Mungkin di sudut hati terdalam bunda mengaminkannya. Oleh karenanya aku tinggal di desa saat ini bersama suamiku, ladang amalku menuju surga-Nya kelak.

Ketika duduk di bangku Kelas V SD, saat pertama kali aku memakai kacamata, karena orangtuaku menilai aku sudah bisa menggunakannya dengan baik dan sejak saat itu aku dijuluki sebagai “Si Kutu Buku”. Karena kacamataku tebal, sehingga mereka menilaiku gemar membaca.

Kali ini bapak sudah tak pernah lagi membelikan aku kaset lagu-lagu, tetapi lebih sering membawakan buku.

***

Menatap selaksa biru yang berpedar dan memecah gundahku dengan air mata. Kala itu jenuhku tak terbendung lagi, aku ingin keluar dari rasa ini dan hingga akhirnya suamiku mencarikan komunitas dari teman-teman di Jakarta yang berada di Pemalang. Desa kami terlampau jauh untuk mencari komunitas di Kabupaten Tegal, sehingga suami memutuskan tuk bergabung dengan teman-teman di Pemalang yang jarak tempuhnya tidak lebih dari 30 menit dari desa kami. Seperti mendapat asupan baru yang segar, seperti menemukan oase di padang pasir dan seperti bertemu dengan sahabat-sahabat di Jakarta, aku mulai nyaman dengan komunitas dan kegiatan yang kujalani.

Kami berdua, ya, kami masih berdua meski sudah hampir 10 tahun kami menikah. Sesekali kami masih lebih sering ke Jakarta untuk menyelesaikan beberapa urusan dan atau sekedar mengunjungi orangtua, saudara dan sahabat di sana dan kembali ke desa dengan membawa oleh-oleh buku koleksi pribadi kami, yang kami bawa bertahap untuk santapan mata anak-anak di rumah kami atau masyarakat yang membutuhkannya.

***

Dahulu saat aku masih bekerja di sebuah penerbit buku, di sela-sela waktu istirahatku, kuluangkan waktu untuk menulis. Entah mengapa kegiatan itu menjadi terbiasa, yang sebelumnya saat masih praktek kerja lapangan dari kampus pun melakukan hal yang sama. Lembaran demi lembaran aku kumpulkan, meski entah kapan dapat kubaca lagi dan hal itu menjadi kebiasaan yang tersembunyi yang tak pernah kuberitahu walau orangtuaku. Kesemuanya tertulis dan dikumpulkan, entah lembaran atau dalam buku diari.

“Air got mulai luber, nih, siap-siap banjir”, begitu salah seorang tetangga kami yang baru saja pulang dari tempat kerjanya meski matahari belum terlalu meninggi. Kontrakan kami berada di daerah yang rawan banjir. Yah, maklumlah selain lebih dekat dengan tempat kerja kami juga harganya yang masih terjangkau dengan isi kantong kami.

Bersyukur kami mengontrak kamar yang ada lotengnya, sehingga barang-barang kami aman di atas. Banjir besar melanda Jakarta tahun 2012 tak terelakkan lagi dan berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Sampai akhirnya kami baru tersadar ada kardus berisi buku yang sudah lama tidak kami buka. Dan ternyata suamiku menemukan isi kardus itu penuh dengan rayap, karena lembab dan tak pernah kami buka lagi. Isi kardus itu adalah lembaran-lembaran dan buku diari yang aku simpan bertahun-tahun tanpa pernah dibaca oleh orang lain sebelumnya.

“Tadi satu kardus isi buku sudah kubuang, Bu. Isinya ada rayapnya, kamu pasti ga suka, kan?”, suamiku berkata dengan nada bercanda.

“Kok langsung dibuang? Ga diplih-pilih dulu?” jawabku penuh sesal.

“Daripada rayapnya kemana-mana, Bu…”, suamiku membela diri.

“Tapi kan, isinya…”, sesalku semakin memuncak.

Lembaran-lembaran dan tulisan itu adalah kumpulan tulisan dari perasaan, kejadian, pengalaman atau kegiatan yang aku rangkai menjadi prosa atau puisi, karena saat menulis dan mengkoleksinya hobi menulis memang sudah ada meski tidak tahu bagaimana cara mengembangkan dan mengenalkannya pada penerbit. Koleksi cerpen dan bengkel cerpen yang ikut musnah bersama rayap itu, yang hanya menyisakan kenangan tak terbilang.

***

Awal Agustus 2018, setahun sudah kami menetap di desa, ada anak-anak dan orangtua yang menginginkan aku mengajarkan mereka membaca dan menulis. Sejak saat itu kebersamaan kami menjadi berkelanjutan, hingga akhirnya mereka senang dengan koleksi buku-buku kami. Semua itu menjadi awal dari kami berdua berliterasi bersama anak-anak.

Desa kami jauh dari kota, jauh dari toko buku terlebih perpustakaan daerah. Namun anak-anak sudah mulai senang membaca dan rasa ingin tahu yang tinggi tentang isi buku mendorong kami untuk membuat sebuat taman baca masyarakat. Keinginan kembali untuk menulis mulai tumbuh dan berkembang, meski masih banyak harus belajar dan terus belajar.

***

Aktifitas pagi di desa, hamparan sawah ladang dan panorama alam, hasil karya sang pencipta menjadi bagian dari rangkaian kata yang mengular. Hari yang dinantikan anak-anak telah tiba, karena hari ini kami akan pergi ke alun-alun Pemalang.

“Mau apa yah kita ke sana?” tanyaku pada mereka yang sudah tak sabar lagi untuk lekas berangkat.

Ya, kami bersama anak-anak taman baca akan mengunjungi pameran buku sambil bermain di alun-alun. Wajah polos anak-anak itu penuh suka cita. Sejak lepas Maghrib kemarin sore, hatinya gundah menanti pagi segera tiba. Ada yang sulit tidur semalaman karena khawatir kesiangan, ada juga yang sibuk menyiapkan bekal apa yang akan dibawa besok dan ada pula yang memikirkan buku apa yang akan mereka lihat, baca atau mungkin mereka beli.

Mobil kol, yang biasa dipakai untuk mengangkut hasil pertanian, hari ini berubah fungsi untuk mengangkut kami menuju Alun-Alun Pemalang lewati jalan kampung yang tak mungkin dijumpai polisi, karena hanya itu kendaraan yang bisa kami pakai.

***

Petualangan baru mereka kali ini tak menyisakan segaris kesedihan apalagi tangisan. Tak banyak bekal rupiah yang mereka punya, tempat nasi wadah makan siang mereka telah kosong, botol minum yang mereka bawa tak setetes pun yang tersisa dan tawa mereka tak tertahankan. Menyisakan jejak cerita yang tak pernah bosan mereka ceritakan kembali ke orangtua mereka, kepada teman-teman di sekolah, Bapak dan Ibu Guru, bahkan bersama teman seperjalanan pun mereka begitu riang menceritakannya kembali. Aku dan my zaujiy tak akan pernah mengubur petualangan ini dalam angan namun akan terus membersamai. Terima kasih my zaujiy yang telah membiarkan aku bersama gembira mereka dan riangmu.

Budaya membaca di desa kami masihlah sangat minim, terlebih tak ada fasilitas kemudahan bagi mereka, atau keinginan untuk membeli sebuah buku dianggap sangatlah mahal. Kami berharap ini adalah awal mereka untuk mengenal arti penting sebuah buku dan keinginan untuk tahu isinya menjelajahi kata demi kata. Kami sadar bahwa hal itu tidaklah mudah dan kami memerlukan banyak fasilitas untuk menumbuhkan itu. Kami biarkan tangan-tangan dermawan yang dapat membantu kami mewujudkan mimpi kami dan doa-doa sahabat sekalian yang kami nantikan.

Biodata Tokoh dan Penulis

Siti Khodijah, lahir di Jakarta. Lulusan Akademi Sekretaris dan Manajemen. Alamat tinggal: Dukuh Kebandingan, Desa Kendayakan, Kec, Warureja, Kab. Tegal. Ibu rumah tangga yang senang berkegiatan di Syarif Education. Relawan dan pengelola Taman Baca Saroja. Memiliki motto, “Buku adalah sahabat setia, meski usang raganya, namun tetap memberi manfaat. Semangat literasi!”.

Related Posts

2 thoughts on “Perjalanan Literasiku Bersama My Zaujiy

    1. Tirta Buana Media berkata:

      Terimakasih kak atas komentarnya. Semoga literasi kita semakin maju terus. Salam sukses selalu!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *