Bilik Pustaka

Perpustakaan Desa sebagai Bentuk Upaya Peningkatan Performa Kehidupan Bangsa

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas beberapa pulau yang di dalamnya terdapat berbagai macam wilayah. Dari beberapa wilayah yang ada tentunya memunculkan beragam perbedaan, seperti adat istiadat, agama, bahasa, budaya, geografis, dan lain-lain. Keberagaman ini bukanlah suatu masalah yang menyebabkan perpecahan, tetapi justru menjadi potensi untuk bersatu. Kesatuan inilah nantinya yang menjadi integritas nasional. Tentunya untuk menyatukan berbagai keberagaman yang ada diperlukan suatu proses yang panjang salah satunya yaitu penyatuan. Satu dari sekian banyak keberagaman yang saat ini terus mengalami upaya penyatuan yaitu geografis, agama, bahasa, budaya, dan pendidikan. Proses penyatuan ini dapat dilakukan dengan cara membangun perpustakaan. Dengan adanya perpustakaan diharapkan setiap individu dapat melakukan kegiatan literasi terutama mengenai keberagaman atau hal penting lainnya, yang nantinya dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari.

Perkembangan perpustakaan telah banyak berkembang di wilayah perkotaan, tetapi mirisnya hal ini tidak sebanding dengan wilayah pedesaan. Oleh karena itu, sorotan tulisan kali ini mengenai pembangunan perpustakaan desa (Perpusdes). Perpustakaan inilah yang nantinya menjadi jendela ilmu dan cakrawala dunia bagi masyarakat pedesaan untuk mengetahui keberagaman yang nantinya akan berimbas kepada penyatuan berbagai keberagaman yang ada di Indonesia, serta untuk memperbarui ilmu yang telah bahkan yang belum mereka miliki sebelumnya.

Pendirian Perpustakaan Desa merupakan hal yang penting untuk dikembangkan di wilayah pedesaan. Hal ini juga dimuat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 3 Th. 2001 Tentang Perpusdes harus mencakup beberapa unsur: ketenagaan, anggaran, gedung dan perabot, koleksi, dan layanan perpustakaan. Tidak hanya itu peraturan mengenai pembentukan Perpustakaan Desa juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Pasal 5 ayat 2 “Setiap orang di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus”.

Mendirikan Perpustakaan Desa bukanlah suatu hal yang mudah. Salah satu tantangan dalam mendirikan Perpustakaan Desa adalah rendahnya minat baca di kalangan masyarakat pedesaan disebabkan latar belakang masyarakat desa yang kental dengan adat istiadat mereka, sehingga sulit untuk menerima perubahan. Selain itu, para pemuda desa juga memiliki minat baca yang rendah karena mereka lebih memprioritaskan pekerjaan daripada pendidikan. Dilansir dari katadata.com, rata-rata nasional indeks Alibaca (Aktivitas Literasi Membaca) Indonesia berada pada angka 37,32%, angka ini menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Berikut data yang telah dihimpun mengenai Alibaca Indonesia pada setiap provinsi.

Oleh karena rendahnya minat baca dan kesadaran akan literasi para pemuda pedesaan, maka situasi ini dapat menghambat perkembangan Indonesia ke depannya. Sebagaimana diketahui, untuk mencapai negara maju, diperlukan pemuda-pemudi yang haus akan ilmu pengetahuan sehingga dapat membangun negaranya dari sisi pendidikan dan pengetahuan. Selain itu, hal ini juga termasuk dalam permasalahan nasional yaitu mengenai pendidikan yang tidak merata di Indonesia, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Kebanyakan daerah 3T tersebut berada di desa, yang terletak jauh dari ibu kota provinsi. Dengan begitu, pembangunan perpustakaan desa ini juga diharapkan agar dapat meningkatkan tingkat literasi masyarakat desa tanpa memandang batas umur agar pendidikan dapat tersebar secara merata dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.

Berkaca pada keadaan saat ini, sebenarnya Indonesia sedang menuju arah golden age yang ditandai dengan bonus demografi yang tinggi. Bonus demografi adalah kondisi dimana jumlah usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif. Usia produktif berkisar antara 15 hingga 64 tahun. Bonus demografi dianggap hanya terjadi satu kali di setiap negara. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, jumlah penduduk usia produktif adalah sebesar 183 juta penduduk dari 267 juta penduduk Indonesia. Hal ini setara dengan 68,7% penduduk Indonesia adalah usia produktif. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2045. Perlu diketahui pula bahwa bonus demografi dapat mengubah tingkat perekonomian di sebuah negara, dari semula negara berkembang dapat menjadi negara maju. Oleh karena itu, pemerintah sangat berupaya dalam memaksimalkan hal ini, dan titik berat pemerintah yaitu memajukan intelektualitas para pemudanya yang nantinya akan menjalani roda kemajuan dalam masa golden age Indonesia.

Namun sayangnya, bonus demografi ini belum diimbangi dengan upaya penegakan tingkat literasi Indonesia. Usia produktif seharusnya adalah usia yang giat dalam memperbarui ilmu pengetahuan yang berkembang secara dinamis ini. Salah satu caranya adalah dengan literasi. Namun, hal ini justru berbalik dengan fakta, tingkat literasi nasional Indonesia tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah fasilitas literasi di Indonesia yang masih terbatas, yaitu perpustakaan. Perpustakaan yang menjadi tempat untuk membuka cakrawala dunia.

Selama ini, perpustakaan mendapat stigma negatif dari kebanyakan masyarakat. Mereka menganggap bahwa perpustakaan sebagai tempat yang membosankan. Hal ini disebabkan perpustakaan yang ada di Indonesia umumnya dalam suasana yang sunyi dan memiliki aturan ketat seperti tidak boleh berbicara dengan lawan pembaca. Hal ini tentu bagi sebagian orang tidak sesuai dengan karakternya. Jika kondisi ini dikaitkan dengan gaya belajar hal ini hanya menerapkan satu gaya belajar manusia, yaitu gaya belajar visual yang membutuhkan ketenangan saat melakukan literasi. Padahal faktanya tidak semua orang nyaman dengan situasi tersebut. Ada dari mereka yang lebih suka saling berdiskusi dan bertukar cerita agar wawasan mereka lebih luas, dan tentunya masih banyak lagi. Dari kondisi ini juga dapat dikaitkan gaya belajar yang berbeda-beda pada tiap individu.

Pada umumnya, terdapat tiga jenis gaya belajar yang umum dimiliki manusia, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik. Seseorang yang memiliki gaya belajar visual akan cenderung senang dengan komponen gambar, warna, dan foto. Mereka akan mempelajari sesuatu secara maksimal apabila disajikan hal-hal tersebut. Di samping itu, gaya belajar visual akan dapat belajar maksimal pada kondisi yang tenang, mereka tidak bisa belajar jika dalam suasana ramai. Media pembelajaran yang paling efektif digunakan untuk gaya belajar visual adalah poster, grafik, bagan, gambar, video, dan animasi belajar.

Sebaliknya, gaya belajar auditorial lebih mengutamakan indera pendengaran sebagai indera utama dalam pembelajaran. Hal yang menonjol dari gaya belajar auditorial adalah mereka tidak bisa maksimal belajar dalam suasana hening. Seseorang yang memiliki gaya belajar auditorial ini akan maksimal jika dengan mendengarkan musik. Media pembelajaran yang efektif untuk gaya belajar auditorial adalah musik, rekaman pembelajaran, dan video pembelajaran.

Selanjutnya, gaya belajar kinestetik merupakan gaya belajar yang lebih menonjolkan indera peraba sebagai alat utama dalam belajar. Seseorang yang memiliki gaya belajar kinestetik menyukai kontak langsung dengan objek yang dipelajari, mereka cenderung tidak menyukai bentuk diagram, grafik, apalagi bacaan panjang. Mereka akan belajar secara maksimal jika diiringi langsung dengan praktik di lapangan. Oleh karena itu, media pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar kinestetik adalah alat nyata, laboratorium, dan komputer.

Tentu yang kita ketahui, tidak hanya bermasalah dengan suasana perpustakaan yang berkaitan dengan gaya belajar saja. Namun, bagaimana dengan hak orang-orang penyandang disabilitas khususnya tuna netra yang dapat menghambat proses literasi. Menurut (Dahlan, 2018) penyandang tuna netra memiliki kemampuan untuk mengembangkan literasi. Oleh karena itu diperlukannya media penunjang literasi bagi penyandang tuna netra, seperti audio, atau buku yang menggunakan huruf braille.

Seperti layaknya orang pada umumnya, orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti tuna netra juga harus difasilitasi agar pendidikan dan wawasan antara orang normal dan orang disabilitas bukanlah suatu parameter kepintaran seseorang. Menurut (Nahlisa dan Christiani, 2015) orang yang mengalami tuna netra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali atau mereka yang masih memiliki sisa penglihatan namun tidak mampu menggunakan penglihatannya secara maksimal. Hal ini juga disebut disabilitas atau keterbatasan fisik. Faktanya, sebagian penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Selain itu, penyandang disabilitas terkadang hak dan fasilitasnya belum sepenuhnya terpenuhi. Namun, jangan disangka orang yang memiliki keterbatasan fisik juga akan mengalami keterbatasan pengetahuan. Justru dengan hal itu orang yang memiliki keterbatasan fisik memiliki motivasi hidup dan motivasi belajar yang lebih tinggi daripada orang normal.

Di Indonesia sendiri jumlah penyandang tuna netra pada tahun 2012 tercatat 3,5 juta penduduk sekaligus menempati peringkat kedua dengan jumlah tuna netra terbanyak di dunia (Wiyono dalam Oktaviani, 2019). Melihat banyaknya jumlah penyandang tuna netra di Indonesia, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama agar terpenuhinya hak-hak orang penyandang disabilitas terutama di wilayah pedesaan yaitu dengan cara membangun ruang tersendiri bagi mereka untuk mengakses pengetahuan dan informasi seluas-luasnya. Ruang sendiri yang dimaksud adalah ruang perpustakaan yang berisi kumpulan buku-buku dengan huruf braille dari segala bidang. Huruf Braille adalah salah satu media yang dapat membantu kaum tuna netra untuk membaca, yang diciptakan oleh Louis Braille pada tahun 1827. Dengan adanya ruang baca braille diharapkan ilmu dan pengetahuan akan terbagi secara merata dan hak-hak serta fasilitas penyandang disabilitas pun terpenuhi. Oleh karena itu, tidak ada lagi kata “orang tuna netra adalah orang yang tidak berilmu dan berpengetahuan sempit”.

Dari beberapa alasan diatas, memang diperlukan gagasan baru untuk membangun perpustakaan desa. Tentunya penggerak utama di dalamnya adalah pemuda-pemudi yang ada di desa, bahkan relawan pemuda yang memiliki pengalaman untuk terjun langsung dalam pembangunan perpusdes. Memanfaatkan pemuda untuk terjun langsung dalam hal ini diharapkan mereka dapat mengembangkan kreativitas dan inovasi mereka dalam membangun perpusdes sesuai tren perkembangan zaman. Dengan demikian, nantinya dapat menggugah minat masyarakat desa untuk berliterasi.

Untuk menggugah literasi masyarakat pedesaan agar dapat meningkatkan literasi Indonesia yaitu dengan membuat perpustakaan yang menarik. Sebagai pemuda yang kreatif dan inovatif, terdapat terobosan dalam desain dan tata kelola pembangunan perpusdes.

Adapun desain dari terobosan yang dimaksud adalah:

  1. Membuat perpustakaan yang dapat menampung 3 gaya belajar berbeda.
  2. Perpustakaan yang terdiri atas koleksi buku menggunakan huruf braille dan ruang khusus orang tuna netra.
  3. Membuat ruang digital agar dapat mengenal dunia digital, dan dapat mengakses e-journal.
  4. Membuat ruang kreatif.

Sebelum memasuki perpustakaan akan diadakan sosialisasi tertulis yang berupa skema pengaksesan perpustakaan di dekat pintu masuk. Kemudian pengunjung perpustakaan mengisi kuesioner guna menentukan kecenderungan gaya belajarnya, untuk penyandang tuna netra langsung diarahkan menuju ruang braille. Kuesioner yang diberikan berupa pertanyaan-pertanyaan singkat yang langsung menjurus dengan tipe gaya belajar.

Contoh kuesioner gaya belajar adalah sebagai berikut:

Kuesioner terdiri dari tiga puluh pertanyaan yang disusun untuk menganalisis kecenderungan gaya belajar seseorang. Pada setiap pertanyaan, opsi a menunjukkan kecenderungan gaya belajar visual, opsi b menunjukkan kecenderungan gaya belajar auditorial, dan opsi c menunjukkan kecenderungan gaya belajar kinestetik. Nantinya pengunjung akan mengisi kuesioner dan dianalisis oleh komputer. Hasil pengisian kuesioner muncul bersamaan dengan keluarnya Kartu Tanda Anggota (KTA) Perpusdes.

Setelah mendapatkan KTA perpustakaan desa, pengunjung perpustakaan dapat masuk ke perpustakaan desa dengan melewati lobi menuju ruang katalog umum yang berisi buku bacaan yang telah dikelompokkan sesuai kategorinya. Setelah menemukan sumber bacaan pengunjung diharapkan memasuki ruangan baca sesuai gaya belajar mereka, yaitu auditorial, visual, atau kinestetik. Berdasarkan karakter kecenderungan gaya belajar ini, maka desain ruangan untuk tiap gaya belajar itu berbeda.

Desain ruangan untuk gaya belajar visual haruslah penuh dengan ornamen-ornamen yang membuat mata tertarik melihatnya. Selain itu, ruangan untuk gaya belajar visual juga harus didesain setenang mungkin. Selanjutnya adalah desain ruangan untuk gaya belajar auditorial, haruslah didesain dengan memperdengarkan musik belajar, agar pengunjung merasa nyaman di dalamnya. Yang terakhir adalah desain ruangan yang memungkinkan pengunjung bergerak sebebas-bebasnya, karena seseorang yang bergaya belajar kinestetik tidak bisa diam untuk waktu yang lama. Untuk memisahkan ruangan antargaya belajar, digunakan kaca yang tebal agar tiap ruangan tetap kedap suara, tetapi pengunjung perpustakaan tidak merasa terkurung.

Berbeda dengan pengunjung yang hendak menjelajah dunia internet dan mengakses e-journal dapat langsung menuju ruang digital yang berisi komputer. Selain itu, bagi pengunjung yang ingin berdiskusi antarteman atau hendak menghasilkan suatu karya seperti melukis atau membuat hiasan dapat langsung menuju ruang kreatif. Pada ruang kreatif didesain dengan konsep lesehan senyaman mungkin agar pengunjung dapat menuangkan ide kreatif mereka masing-masing. Tidak lupa, di sekitaran dinding ruang kreatif juga terdapat lukisan atau hasil kreativitas pengunjung yang dapat dipamerkan.

Hal terakhir yang harus dilakukan sebelum meninggalkan lingkungan perpusdes adalah dengan mengisi kuesioner feedback layanan perpustakaan di dekat pintu keluar, yang nantinya sebagai bahan evaluasi kinerja perpusdes agar mutunya semakin meningkat. Setelah melakukan kegiatan literasi di dalam perpustakaan, pengunjung diharapkan mengisi feedback sebelum meninggalkan perpustakaan. Feedback ini bertujuan agar pengelola perpustakaan mengetahui apa yang dirasakan pengunjung, apakah mereka merasa nyaman atau tidak. Selain itu, feedback juga berisi evaluasi terkait kinerja perpustakaan desa agar melalui evaluasi tiap pengunjung , pengelola perpustaakaan dapat meningkatkan mutu perpustakaan desa.

Sistem perpustakaan seperti ini sangat relevan jika dilaksanakan dengan digitalisasi perpustakaan. Dengan digitalisasi ini, pemanfaatan perpustakaan bisa lebih mudah. Hal ini juga efek disebabkan oleh perubahan zaman, dimana era sekarang adalah era digitalisasi semua aspek kehidupan, tak terkecuali perpustakaan desa. Digitalisasi perpustakaan bisa dilakukan dengan komputer yang digunakan untuk menghimpun data pembaca, gaya belajar pembaca, feedback pembaca, katalog, e-journal, dan yang lainnya. Hal ini tentu sesuai dengan selera kaum-kaum milenial sekarang ini. Dengan mendesain perpusdes yang milenial seperti ini diharapkan perpusdes menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjungnya. Kemudian harapannya masyarakat pedesaan terutama pemudanya akan hobi literasi dan memanfaatkan ilmunya.

Tentunya desain perpustakaan seperti pada gambar sebelumnya tidak dilakukan secara cuma-cuma, tetapi dilandasi oleh berbagai pemikiran. Banyak orang merasa, bahwa mereka akan lebih banyak menyerap informasi apabila keadaan sekitarnya mendukung. Hal ini sangat berkorelasi antara gaya belajar dengan efektivitas membaca. Dengan mengetahui gaya belajar pada masing-masing individu, mereka akan mengetahui suasana seperti apa yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas membaca mereka. Dengan demikian, harapannya dapat membuka wawasan dan jendela ilmu mereka agar dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari.

Setelah mengetahui pentingnya gaya belajar, diharapkan sistem pendidikan di Indonesia, terutama yang menyangkut perpustakaan nasional pada umumnya dan perpustakaan desa pada khususnya akan berubah sesuai dengan gaya belajar seseorang. Karena terbukti bahwa seseorang dapat menyelesaikan permasalahan di dunia pendidikan, jika dalam keadaan yang sesuai dengan gaya belajarnya. Selain itu, adanya ruang digital diharapkan masyarakat pedesaan terutama pemuda menjadi tidak gagap teknologi. Disamping itu, adanya ruang kreatif berfungsi untuk meningkatkan kreativitas pemuda di desa yang harapannya juga dapat meningkatkan perekonomian mereka dari hasil buah pikir yang dihasilkan.

Namun, pembangunan ini tidak akan berjalan lancar tanpa adanya kesinambungan antara pemerintah, pemuda, dan masyarakat desa. Disebabkan pemerintah sebagai penggelontor dana pembangunan melalui dana desa dan pembuat regulasi agar masyarakat lebih tertib dan taat untuk mengunjungi perpustakan. Permasalahan sekarang ini adalah alokasi dana desa untuk membangun perpustakaan desa masih belum maksimal. Padahal alokasi dana desa pada tahun 2020 sebesar 960 juta rupiah. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan pembangunan perpustakaan di wilayah pedesaan yang sampai saat ini belum banyak perpustakaan di desa. Hal ini tentu saja membuat pemerintah perlu meningkatkan lagi program literasi di pedesaan agar masyarakat pedesaan bisa melakukan literasi dengan lancar.

Tentunya untuk membangun perpustakaan di wilayah desa tidak mudah. Bisa saja masyarakat sekitar menolak jika dibangun perpustakaan karena bagi mereka ini adalah suatu hal yang baru, dan pendidikan tidak sepenting pekerjaan. Kultur masyarakat desa cenderung tertutup dengan perubahan, sehingga mereka butuh waktu adaptasi yang lama untuk bisa menerima sesuatu yang baru dalam lingkungannya. Selain itu, juga harus digalakkan program penyuluhan pentingnya literasi demi kemajuan bangsa di lingkungan desa, literasi masyarakat desa bisa meningkat.

Selain menggugah kesadaran masyarakat desa untuk berliterasi, hal yang perlu dilakukan adalah menggugah semangat literasi para penyandang disabilitas, terutama tuna netra. Selama ini penyandang tuna netra dianggap sebagai individu yang bergantung pada orang lain dan tidak dapat melakukan hal produktif. Hal ini justru membuat mereka merasa terkucilkan. Melalui perpustakaan desa seperti ini, penyandang tuna netra dapat melakukan hal produktif seperti literasi. Sebelum bisa melakukan hal itu, penyandang tuna netra perlu diberi motivasi bahwa mereka bisa melakukan sesuatu. Harus ada dorongan secara mental bagi penyandang tuna netra agar mereka percaya diri dan tidak minder dengan keadaan mereka. Setelah itu, barulah mereka sadar bahwa mereka pun bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang normal.

Berkaca pada kondisi Indonesia yang seperti ini, maka perlu langkah konkret untuk mewujudkan Indonesia yang lebih cerdas dan lebih maju demi menyongsong era golden age. Banyaknya individu terutama pemuda yang gemar literasi akan melahirkan banyak individu-individu yang berkualitas guna mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga ketergantungan dengan negara asing dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Hal ini tentu saja akan bisa terwujud apabila terdapat kerja sama antara komponen masyarakat dan pemerintah. Masyarakat sebagai komponen utama penggerak literasi, sementara pemerintah sebagai penyedia regulasi dan sumber dana pembangunan. Apabila dua komponen ini saling bekerja sama maka, akan terwujud individu-individu yang memiliki sikap kritis dan haus akan ilmu pengetahuan, serta dapat meningkatkan indeks Alibaca Indonesia.

Daftar Pustaka:

  • Bondan, A. 2013. Pembangunan Perpustakaan Desa / Kelurahan dalam Rangka Peningkatan Kegemaran Membaca. Perencana Madya Perpustakaan Nasional RI., 20(2), 20–28.
  • Dahlan, F. A., 2018. Skripsi : “Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri terhadap Peningkatan Kemampuan Literasi Sains Siswa Tunanetra”. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.
  • Jurnal Bidan Diah. 2012. Macam-Macam Gaya Belajar : Karakteristik, Metode, dan Strategi Pembelajaran. http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/04/macam-macam-gaya-belajar-karakteristik.html , diakses pada 19 Januari 2021
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2019. Tingkat Literasi Indonesia Masih Rendah. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/27/tingkat-literasi-indonesia-masih-rendah, diakses pada 18 Januari 2021.
  • Kompas.com. 2020. Mendagri Imbau Dana Desa Digunakan untuk Banguan Perpustakaan. https://nasional.kompas.com/read/2020/02/25/20521161/mendagri-imbau-dana-desa-digunakan-untuk-bangun-perpustakaan?page=2, diakses pada 19 Januari 2021.
  • Mbangun Deso. Mengapa Daerah 3T. http://mbangundeso.com/mengapa-daerah-3t/, diakses pada 18 Januari 2021
  • Nahlisa, R. M., Rukiyah, Christiani, L. 2015. Buku Braile sebagai jembatan keterbatasan akses informasi siswa tunanetra sekolah luar biasa bagian a dria adi semarang. Jurnal Ilmu Perpustakaan. 4(2).
  • Oktaviani, P. D. 2019. Skripsi : ”Relasi Sosial pada Tunanetra”. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  • Ragil Kurniawan, M. 2017. Analisis Karakter Media Pembelajaran Berdasarkan Gaya Belajar Peserta Didik. JINoP (Jurnal Inovasi Pembelajaran), 3(1), 491. https://doi.org/10.22219/jinop.v3i1.4319.
  • Rifan Aditya. 2020. Pengertian Bonus Demografi, Manfaat, hingga Dampaknya. https://www.suara.com/tekno/2020/12/13/151144/pengertian-bonus-demografi-manfaat-hingga-dampaknya?page=all, diakses pada 18 Januari 2021
  • W. Purnomo. 2018. Aplikasi Gratis : Gaya Belajar Siswa. https://dutatama.blogspot.com/2018/10/aplikasi-gaya-versi-11.html, diakses pada 19 Januari 2021

BIODATA PENULIS

Nama : Diva Meisya Maulina Dewi
TTL : Malang, 25 Mei 2002
Domisili : Kota Malang
Pendidikan Terakhir : SLTA
Pengalaman Organisasi/Jabatan : Sekretaris I PCC SMAN 1 Malang
Karya/Prestasi :

  • Grand Finalist News Anchor National English Festival 2019
  • Peserta Olimpiade Sains Tingkat Kota Bidang Kimia Tahun 2019

E-mail : divameisya99@gmail.com
Facebook : divameisyamd
Instagram : @divamsy

Nama : Latif Setyabudi
TTL : Batu, 29 Desember 2001
Domisili : Kota Batu
Pendidikan Terakhir : SLTA
Pengalaman Organisasi/Jabatan : PMR / Koordinator Bakti Sosial
Karya/Prestasi :

  • Juara Umum 1 Tim PMR Lomba TEGAK Juara Umum 1 Tim PMR Lomba MEDICAL COMPETITION

E-mail : latifsetyabudi29@gmail.com
Instagram : @setyabudilatif

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *