Bilik Pustaka

Revitalisasi Paradigma “Nurani Literasi Desa” Di Kalangan Masyarakat Pedesaan Madura

Dana desa sudah melimpah ruah hampir rata di seluruh Indonesia. Tetapi, para pemerintah desa dan birokrasi masih belum sadar bahwa mereka memiliki tanggungjawab besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak semua desa di seluruh Indonesia bisa memaksimalkan dana desa untuk menggerakkan literasi di perpustakaan desa. Bahkan, mayoritas desa tidak memiliki sarana berupa perpustakaan. Salah satunya beberapa desa di Kepulauan Madura.

Problematika ini tentu harus direspon oleh beberapa pihak yang terlibat dalam pembangunan desa, khususnya dalam menyediakan fasilitas penunjang berupa perpustakaan di desa, taman baca masyarakat dan berbagai media literasi lainnya. Dari kalangan pemerintah desa, tokoh masyarakat dan pegiat literasi serta sarjana-sarjana di desa harus memikirkan agar sumber daya manusia menjadi semakin memiliki wawasan dan pengembangan keilmuan dan pengetahuan yang mumpuni.

Selain itu, religiusitas masyarakat pedesaan Madura masih sangat kental dengan budaya pesantren dan surau-surau yang masih berdiri tegak di tengah pandangan klasik masyarakat pedesaan, sehingga literasi desa masih lemah. Masyarakat desa selalu beranggapan bahwa buku menjadi sesuatu yang dikucilkan di kalangan masyarakat pedesaan Madura. Selain karena harga buku melambung dan sangat mahal sebab tidak sesuai dengan kebutuhan ditambah lagi kerja masyarakat desa yang mayoritas menjadi petani dan kuli bangunan. Akibatnya, banyak para orang tua mengeluhkan sarana buku kepada anak-anaknya.

Stereotip yang dibangun oleh kalangan masyarakat pedesaan di Madura bagaimana anaknya pintar dalam mengaji atau belajar agama saja. Sehingga perbedaan pola pikir ini menjadi salah satu faktor dalam memberdayakan dan merawat perpustakaan desa yang ada. Karakteristik kehidupan masyarakat desa dan kota ini tidak bisa dielakkan. Maka perlu memberikan advokasi kepada beberapa pihak yang peduli terhadap literasi agar “nurani desa” di kalangan masyarakat pedesaan di Madura menjadi lebih segar dengan perpaduan agama dan budaya.

Oleh sebab itu, dari kedua faktor lemahnya literasi desa tersebut para sarjana dan para penggerak literasi harus membangun pemahaman dan rekontruksi pemikiran bahwa anak-anak perlu juga diberikan nutrisi buku, tidak hanya dicekoki dengan pelajaran agama saja. Keduanya membutuhkan kerja sama agar pemerintah desa juga memfasilitasi Perpustakaan desa dan beberapa komponen pendukung lainnnya.

Sedangkan, para pegiat literasi harus memberikan pendampingan kepada kalangan pemuda dan anak-anak dengan mendirikan komunitas menulis dan membaca sehingga nurani literasi desa semakin kreatif, inovatif, dan progresif dengan melahirkan para penulis dari desa di kancah nasional hingga internasional, bahkan dari kalangan pemuda desa akan semakin berdaya sehingga membuka kran-kran pengetahuan melalui perpustakaan desa.

A. Pengelolaan Berdedikasi Perpustakaan Desa

Penulis sempat merintis Perpustakaan desa saat mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) di Desa Gung-gung, sebuah desa menengah yang terletak di perbatasan desa dan kota di Kabupaten Sumenep, Madura. Desa ini memang sangat potensial dalam bidang pertanian karena terdapat hamparan sawah yang sangat luas.

Menurut pengakuan Bapak Busar, salah satu pemerintah desa setempat mengatakan bahwa Perpustakaan di desa Gung-gung Sumenep sempat diberikan buku oleh teman-teman KKN dari Mahasiswa UGM Yogyakarta. Tetapi, pemerintah desa tidak memanfaatkan sumber daya berupa buku ini agar dikembangkan oleh para pemuda desa, padahal buku-buku yang ada merupakan buku yang bersinggungan dengan ilmu-ilmu terapan dan lainnya sehingga kalau dimanfaatkan dan dirawat dengan baik akan sangat bermanfaat kepada pemerintah desa dan masyarakat sekitar, terutama anak muda desa.

Buku yang dibiarkan terbengkalai dan hanya membisu ketika tidak ada orang yang membacanya membuat penulis merasa prihatin terhadap kondisi tersebut dan memberikan sumbangan buku secara suka rela untuk menambah koleksi buku di Perpustakaan desa tersebut sekaligus melaunching Perpustakaan desa kepada kalangan pemuda di desa tersebut. Karena sebagai mahasiswa, kebetulan penulis aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sehingga kepedulian terhadap dunia literasi di masyarakat juga sangat mendesak untuk dilakukan. Walaupun begitu, dengan bermodal suka rela sumbangan buku dari teman-teman KKN ini merupakan aplikasi nyata kepada sosial dan memberikan contoh kepada masyarakat (tanpa menggunakan dana desa) untuk benar-benar murni menghidupkan literasi di kalangan pemuda dan anak-anak.

Menurut pernyataan Lilik Rosida, Ketua Rumah Literasi Sumenep mengatakan bahwa semakin sering anak membaca maka akan semakin aktif otaknya. Tentu sebagai mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN di desa tersebut, penulis dalam kesehariannya berinteraksi dengan anak-anak yang sering bermain ke balai desa dan bahkan setiap pagi para orang tua mereka mengantarkan mereka masuk ke Sekolah Dasar (SD) terdekat. Semenjak ada informasi bahwa di Balai Desa ada buku, mereka sangat antusias dalam menanyakannya dan bahkan ingin membacanya selepas pulang sekolah. Alhamdulillah, betapa sangat sumringah penulis selepas mereka menikmati “suguhan literasi” yang sudah kami rintis sebelum berpamitan meninggalkan Desa Gung-gung.

Pengelolaan berdedikasi kepada perpustakaan desa harus menjadi agenda utama dalam memberikan dorongan kepada pihak yang terlibat dalam kesejahteraan desa. Pegiat literasi harus diberikan wadah dalam pengembangan perpustakaan desa terutama harus membekali pemuda desa menghadapi tantangan literasi di dunia digital. Perpustakaan desa hari tidak hanya bergerak di bidang pengadaan buku dan ruangan semata, tetapi harus mampu beradaptasi dengan perkembangan literasi yang sedang terjadi dengan tetap menyediakan ruang-ruangan sejuk pedesaan seperti taman baca yang berada di dekat pantai, gunung, atau bahkan bukit dengan suasana yang mempesona khas desa sehingga bisa memancing pemuda untuk menikmatinya.

Adaptasi literasi memang sangat diperlukan karena perpustakaan desa tidak hanya sebatas ruangan semata, harus ada kegiatan-kegiatan yang menunjang terhadap gerakan literasi di Indonesia seperti mendirikan komunitas menulis dan membaca, taman baca masyarakat atau perpustakaan desa harus keliling terhadap sekolah-sekolah yang ada di desa tersebut. Perpustakan desa harus menjadi representasi “surga desa” yang terejawantahkan dalam alam pedesaan yang khas.

B. Pentingnya Peran Perempuan dalam Memberdayakan Literasi Desa

Di Desa Grujugan, Gapura, Sumenep (tempat kelahiran penulis) memiliki seorang teman perempuan. Namanya Noer Hamima. Sebelum melanjutkan studi ke Pondok Pesantren Annnuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, ia sempat mendirikan sebuah komunitas tulis menulis dan membaca di sekolahnya. Sejak dari desa, Noer Hamima dua kali tulisannya di muat di majalah Horison kaki langit berupa puisi dan cerpen.

Ketika Noer Hamima melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Annuqayah dan kuliah di Kampus Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) ia juga aktif di Komunitas tulis menulis seperti Lembaga Pers Mahasiswa, aktif menjadi Kru Buletin di pondoknya. Bahkan, karyanya juga sering nangkring di koran Jawa Pos Radar Madura. Ia rela mendampingi beberapa kadernya dalam melanjutkan perjuangannnya di dunia literasi.

Kecintaan Noer Hamima dalam dunia literasi sejak di desanya harus menjadi inpirasi kepada semua pegiat literasi di Indonesia agar tidak melupakan kampung halamannya. Bahkan, Noer Hamima saat ini (mahasiswi yang sudah bergelar sarjana) masih membina komunitas tulis menulis dan membaca di sebuah dusun di desanya yang diberi nama Moncar Are (Terbit Matahari). Dalam hal ini, perempuan harus ikut andil ke dalam literasi di pedesaan karena emosional mereka dalam memajukan desa menjadi tonggak yang akan memacu kalangan anak-anak menuju pengetahuan dan pemberdayaan yang lebih kreatif, inovatif dan progresif.

Pendidikan perempuan desa memang harus diberdayakan semaksimal mungkin. Karenanya, perempuan yang sudah mendapatkan gelar sarjana seharusnya memang tidak apatis dalam menggerakan kegiatan-kegiatan literasi di pedesaan. Karena tidak bisa dipungkiri jika perempuan akan mampu menghidupkan nurani literasi desa sehingga lebih menjanjikan terhadap masa depan desa yang lebih bersahaja.

Contoh buku-buku tentang pertanian yang cocok untuk koleksi perpustakaan desa dan kelurahan

Noer Hamima memang dibesarkan di desanya dan pesantren terbesar di Sumenep yaitu Pesantren Annuqayah. Maka tidak salah jika pesantren adalah institusi pendidikan Islam asli Indonesia yang masih bertahan di tengah pertarungan kultur hari ini. Peran pesantren menjadi hal yang urgen dalam membentuk pemuda yang berkualitas dalam hal apapun. Hal ini tentu tidak lepas dari misi pesantren sebagai pendidikan umat secara umum, dengan cara mendidik para generasi muda untuk menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan berkualitas dalam vak apapun. Juga mendidik secara Islami yang tidak saja mampu untuk meloloskan dirinya dari kebodohan dan keprimitifan. Akan tetapi, bisa menjalankan misi amar ma’ruf nahi munkar.

C. Menanamkan Sadar Literasi di Kalangan Masyarakat Pedesaan Madura

Masyarakat Madura pedesaan yang masih belum sadar dalam literasi dan pentingnya merangkul buku di jantungnya dikarenakan mereka masih “menuhankan” pesantren sebagai salah satu pendidikan paling ampuh dalam mendidik anak-anaknya. Pengetahuan agama memang harus didapatkan dari kitab-kitab kuning dan Alquran. Walaupun, tidak bisa dipungkiri, senyatanya pengetahuan dan hikmah-hikmah tentang agama harus dikontekstualisasikan dalam bentuk sastra atau tulisan di majalah-majalah dan buletin bahkan di kanal kanal website. Sehingga, sastra yang dituliskan dalam bentuk buku bisa menjembatani pengetahuan agama mengalir di kalangan anak-anak dan para pemuda. Bahkan, sastra bisa menjadi pendidikan formal dan media pendidikan non formal.

Maka, peprustakaan desa harus memediasi dengan menyediakan buku-buku yang sesuai dengan karakteristik budaya desa tersebut seperti novel-novel anak dan remaja yang bertema tentang keislaman, kekeluargaan, gotong royong dan lain sebagainya. Sadar literasi di kalangan masyarakat pedesaan Madura memang harus dimulai dengan gagasan dalam penyediaan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan pola pikir masyarakat sehingga perpustakaan desa bisa juga diisi dengan kajian-kajian keislaman dan bernuansa sosial kebudayaan.

Oleh sebab itu, menghidupkan perpustakaan di kalangan masyarakat pedesaan dan merevitalisasi paradigma berpikirnya membutuhkan akulturasi budaya dan gerakan yang inovatif sehingga literasi di kalangan masyarakat pedesaan Madura benar-benar tersentuh. Salah satunya juga gerakan pemberdayaan perempuan desa dalam mengembangkan literasi. Semua hal tersebut bisa dilakukan jika semua pihak bisa saling mendukung dalam berdakwah di dunia literasi desa. Literasi dan buku di desa tidak lagi menjadi hal yang tabu.

• Samsul Ma’arif. 2015. The History Of Madura. Yogyakarta: Araska.
• Majalah Sastra Horison Kaki Langit Edisi Februari 2016.
• Nawaf Muhyi. 2015. Pemuda dan Empat Pilar Kebangsaan. Lumajang: Cendekia Publishing.
• Raedu Basha. 2020. Sastrawan Santri, Etnografi Sastra Pesantren. Semarang: ElSA Pres.
• Wawancara dengan Bapak Busar, Bendahara Desa Gunggung, Sumenep pada Ahad, 04 Agustus 2019.
• www.rumahliterasisumenep.org, Mahasiswa KKN Instika Launching Perpusdes Gung-gung
• https://www.Pojoksuramadu.com, Hanya 23 Desa yang mendapatkan pembinaan.

Abdul Warits, nama Pena dari Abd. Warits. Lahir di Grujugan Gapura Sumenep Madura, 07 Maret 1997. Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa, Pesantren Literasi dan Sastra di Guluk-Guluk Sumenep, Madura. Membina Komunitas Kelompok Baca dana Nulis (KUBA NUDISK) PP. Annuqayah Kusuma Bangsa Putri. Karyanya terkumpul dalam : Pesan Damai Aisyah, Maria, Xi king (Antologi Penyair Asean IAIN Purwokerto 2018), Requiem Tiada Henti, Gelombang Puisi Maritim, Seratus Puisi Qur’ani, Majalah Sastra Horison Kaki Langit, Seharusnya Kita Tak Saling Rindu, Puisi Akrostik FAM Publishing, Radar Madura, Kabar Madura, Harian Bhirawa, Analisa, Rumahliterasisumenep.org, Hidup dan Pilihan, Cahaya Santri, Multatuli Fest 2018, Sagara (Antologi Cerpen LPM Spirit UTM Bangkalan), Majalah Infitah, Inspirasi, Muara, Majalah Yasmin, Tafakkur, Buletin Jejak Jawa Barat, Buletin Sidogiri, Tifa Nusantara IV, Sundul Langit (Antologi Cerpen Pesma An-Najah Purwokerto) Yang berlari dalam kenangan (Persi: 2019) Kelulus (Persi: 2017). Pernah meraih juara I Lomba menulis Puisi Rakyat Sumbar 2017 dan Juara III Menulis Puisi Event Bumi FAM Publishing, Juara I Lomba menulis Esai Perdamaian CCSMora Nasional 2016, Juara III Lomba menulis Esai FORKOMMI UGM, menjadi Finalis dalam Lomba Esai Se-Madura di Universitas Trunojoyo Madura Bangkalan, Juara II Lomba Menulis Cerpen LPM Spirit UTM Bangkalan, Pemenang Harapan I Lomba Cipta Cerpen Remaja Balai Bahasa Jawa Timur 2019, Juara II Lomba Cipta Puisi Dinas Kepustakaan dan Kearsipan Kab. Sumenep 2019, Juara I Lomba Cipta Puisi Asean IAIN Purwokerto 2020. Pernah aktif di Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI), Lesehan Sastra Annuqayah (LSA) dan Istana Pers Jancukers (IPJ) Lubangsa, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fajar Instika dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Guluk-Guluk. No. Hp: 082332637632 (WA). Email : abd.warits07@gmail.com. Fb: Abdul Warits.

Related Posts

One thought on “Revitalisasi Paradigma “Nurani Literasi Desa” Di Kalangan Masyarakat Pedesaan Madura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *