Bilik Pustaka

Saatnya Ambil Peran!

Lickona mencoba mengidentifikasi 10 tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa. Kesepuluh tanda itu adalah:

  1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
  2. Membudayanya ketidakjujuran;
  3. Sikap fanatik terhadap kelompok/peer group;
  4. Rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru;
  5. Semakin kaburnya moral baik & perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, & seks bebas;
  6. Rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu & sebagai warga Negara;
  7. Menurunnya etos kerja & adanya rasa saling curiga; serta
  8. Kurangnya kepedulian di antara sesama.

Dari berbagai tanda-tanda di atas, sedikit banyak telah mewarnai negeri kita. Dalam republika.co.id rabu (10/04/2019), diungkapkan bahwa Krisis moral yang terjadi pada remaja saat ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Menurut peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, tingkat kenakalan remaja yang hamil dan melakukan upaya aborsi mencapai 58 persen. Data UNICEF tahun 2016 lalu menunjukkan bahwa kekerasan kepada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen. Belum lagi penyimpangan lain seperti narkoba, miras, berkata kasar dan membantah orangtua dan guru, serta bentuk penyimpangan lainnya.

Semakin mudahnya akses informasi yang tak terbatas serta keberadaan gadget saat ini dapat menjadi salah satu faktor yang bisa mempengaruhi krisis moral di lingkungan masyarakat khususnya pemuda saat ini. bagaimana tidak, jika tidak dibekali dengan pendidikan agama serta moral maka akan mudah bagi mereka untuk browsing hal-hal yang diinginkannya, tanpa membedakan mana yang baik dan yang tidak. Penggunaan gadget tanpa kontrol ini juga dapat mengurangi interaksi antara orangtua maupun dengan sesama teman.

Berbekal dari berbagai kenyataan di atas, maka perlu adanya suatu upaya maupun gerakan yang mampu menjadi sarana pembentukan dan perbaikan karakter. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menumbuhkan kecintaan membaca sejak dini. Bisa jadi karena kurangnya ilmu, kurangnya membaca, menjadi salah satu sebab banyaknya terjadi kebuntuan pikiran yang berakibat pada krisis karakter tersebut.

Dalam kominfo.go.id (10/10/2017), UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Lebih lanjut diungkapkan bahwa sebanyak 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Data ini sangat bertolak belakang, meski penggunaan gadget bisa mencapai berjam-jam setiap hari namun minat membaca buku rendah.

Padahal membaca memiliki peranan penting dalam membangun peradaban bangsa. “Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.” (Babara Tuchman). Adapun dalam Miji Lestari, Prembayun: (tanpa tahun), memaparkan manfaat membaca sebagai berikut. 1) Memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan; 2) Meningkatkan kemampuan imajinasi; 3) bisa menemukan hal baru yang berbeda dari biasanya; 4) Mampu mengubah sudut pandang; 5) Bisa menghilangkan stress dan beban pikiran; 6) Mengembangkan kreativitas; 7) Membaca merupakan gerbang perubahan; 8) Menguatkan kepribadian; 9) Mempertajam daya analisis; dan 10) Mengembangkan pola pikir.

Membaca memang memberikan banyak manfaat, namun masih rendah pemintanya. Dalam Kompas.com (10/09/2019), disebutkan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan begitu rendahnya minat baca kepada anak, yaitu: 1. Orangtua kurang menyadari bahwa membaca sejak dini itu penting. 2. Perputakaan Sekolah menyediakan buku yang kurang menarik bagi anak-anak. 3. Masyarakat kurang peduli untuk mendirikan taman bacaan. Dari faktor tersebut, terlihat bahwa taman baca memiliki peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan minat baca.

Di sinilah diperlukannya suatu perpustakaan desa atau taman baca masyarakat di berbagai desa di Indonesia. Hal ini karena tidak semua masyarakat memiliki buku dan mempunyai biaya untuk membelinya. Tidak semua daerah juga dapat mengakses buku dengan mudah. Selain itu, karena tidak sedikit yang belum menyadari akan pentingnya membaca.

Berkaca dari hal di atas, maka perlu bagi kita untuk berbuat sesuatu dan mengambil peran dalam upaya peningkatan minat baca ini. salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menjadi penggerak perpustakaan/taman baca di lingkungan kita. namun tentu bukan hal mudah dan bukan pula hal mustahil untuk dilakukan. Dalam perjalanan dan pelaksanaannya tentu akan banyak hambatan dan tantangan yang akan dijumpai. Sebut saja contohnya seperti perpustakaan Gampong Tutong di Aceh yang awalnya mendapat pertentangan dengan beberapa warga yang menganggap bahwa perpustakaan itu tidak ada gunanya. Namun lambat laun warga tersebut berbalik hati menjadi cinta dengan buku karena merasakan manfaatnya yang sangat luar biasa. Perpustakaan ini akhirnya mampu menjadi sarana edukasi bagi warga.

Contoh lain, seperti TBM Sigupai Membaco asal Aceh Barat Daya merintis perjuangannya dengan membuka lapak buku di tepian pantai dan tempat-tempat umum yang ramai dikunjungi. Begitu juga TBM Hamfara Library asal Tembilahan, Riau yang juga memiliki program buka lapak baca buku gratis di taman kota. Selain itu berkeliling sekolah membawa buku untuk dibaca gratis, serta program lainnya. Berbagai kegiatan dari taman baca ini, selain sangat bermanfaat bagi lingkungan, bisa menjadi amal jariyah kelak, bahkan mampu membuahkan berbagai prestasi.

Banyak contoh taman baca lainnya yang sangat menginspirasi dan mampu menjadi penggerak literasi di desa-desa. Untuk itu, sudah saatnya kita juga turut serta ambil peran dalam menebar virus cinta baca bagi sekitar. Jika bukan kita, lalu siapa lagi?

Referensi:

  • Lestari, Prembayun Miji. Tanpa Tahun. Bikin Kamu Tergila-gila Membaca. Yogyakarta: BOOK MAGZ Kelompok Pro-U Media.
  • Munawir, Said, dkk. 2020. Dari Desa Membangun Bangsa. Yogyakarta: Lokajaya Media.
  • https://republika.co.id/berita/ppqc8g349/krisis-moral-remaja-tanggung-jawab-siapa
  • https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media
  • https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/10/15225581/3-hal-ini-jadi-penyebab-rendahnya-minat-baca-anak-indonesia?page=all

BIODATA PENULIS

Fitri Yanti, lahir di Tangkit Baru pada tanggal 1 Mei 1987. Merupakan alumni S1 Pendidikan Fisika Universitas Jambi. Saat ini diamanahkan menjadi salah satu pendidik di SMAN IT Syech Walid Thaib Shaleh Indragiri. Sejak kuliah, memiliki kecintaan terhadap buku dan saat ini ingin berbagi dengan merintis rumah baca di lingkungannya. Selain itu memiliki kegemaran menulis walaupun masih dalam proses belajar.

Penulis dapat dihubungi melalui email fitriyantikm8@gmail.com, Instagram: @rumahbaca_maktabahqisthi.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *