Pejuang Literasi

Taufik Hidayat: Pejuang Literasi dari Kota Tape

Namanya memang tidak semasyhur para tokoh pejuang literasi angkatan tua semacam Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Toer, serta tidak seterkenal esais terkemuka semacam Goenawan Muhammad dan pewarta senior Jawa Pos yaitu Dahlan Iskan yang kiprahnya tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi, kiprah Taufik Hidayat layak ditulis sebagai prasasti untuk mengapresiasi pengabdiannya dalam dunia literasi.

Taufik Hidayat yang akrab disapa Mas Taufik adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Semua kakaknya memiliki aktivitas yang berbeda. Ada yang kompeten di bidang entrepreneurship, dan ada yang kompeten di bidang desain Vektor. Sedangkan ia sendiri hari ini kompeten dalam dunia literasi.

Tapi sebelumnya, Taufik adalah anak muda yang memiliki tekad kuat dalam mengadu nasib di Sumatera Barat, yaitu di daerah Padang. Sejak tahun 2007 ia memulai hidupnya di perantauan. Di perantauan inilah Taufik terbentuk menjadi sosok yang cinta literasi. Mulanya ia mulai suka membaca buku, itupun dilatarbelakangi oleh temannya yang bernama Michael Tawalujan yang memiliki kebiasaan baca buku setiap sehabis kerja. Dari situlah Taufik ikut serta mengoleksi dan suka membaca buku. Bisa dibilang ini saat awal dari kecintaannya terhadap buku dan literasi. Sebab Taufik bukan tipikal anak muda yang senang literasi saat masih SMA.

Di perantauan, Taufik juga menemukan belahan hatinya. Tidak habis pikir olehnya ketika melihat Sumatera Barat yang kental akan budaya dan adat istiadat mampu menerima Taufik yang seorang pemuda Jawa. Inilah hebatnya dia. Mungkin, kecerdasannya dalam bersikap dan kepiawaiannya serta integritas yang melekat pada dirinya telah meluluhkan orang-orang di sekitarnya. Dan bukan tidak mungkin itulah kenapa dia diterima saat meminang gadis Minangkabau. Padahal, untuk meminang gadis di tanah Minang itu harus jelas sukunya. Tidakkah cukup Buya Hamka dengan novelnya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” menggambarkan kondisi kokohnya tradisi Minang dalam hal perjodohan? Ya, Zainudin tokoh utama dalam novel tersebut gagal mendapatkan belahan jiwanya yaitu Hayati. Karena Zainudin dianggap tidak memiliki ikatan suku di tanah Minang, dan cintanya berakhir kandas. Tapi tidak pada Taufik. Ia malah dibaiat menjadi salah satu anggota suku yaitu suku Melayu. Maka dari inilah ia berhasil meminang gadis dari suku Kampay. Itu semua berkat sikap dan integritas yang Taufik miliki.

Pada tahun 2012 Taufik pulang ke kampung halamannya, yaitu kota Tape (Bondowoso). Kehidupan yang masih terbilang tidak mapan membuat hidup Taufik bertahan secara nomaden. Ia berpindah-pindah dari kontrakan yang satu ke yang lainnya. Itu mengiringi kisah cintanya bersama istri dan anak gadisnya.

Dua tahun dari kepulangannya dari Sumatera Barat, Taufik memilih untuk mendaftar sebagai mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Islam ternama di kotanya. Walaupun sudah memiliki seorang istri dan anak, Taufik tidak patah arang untuk tetap belajar, dan kesempatan menjadi mahasiswa itu benar-benar ia maksimalkan untuk belajar dan menyalurkan kegemarannya dalam dunia literasi.

Aktivitas ekonominya yang dilakukan dengan jualan aksesoris keliling tak membuatnya absen untuk membaca buku dan belajar serta mengerjakan tugas kuliah. Entahlah apa karena Taufik telah biasa menghadapi kerasnya hidup sehingga biasa melakukan aktivitas sepadat itu. Dari hasil jualannya itu hati Taufik tergerak mengumpulkan sedikit uangnya untuk membeli buku. Bukan tanpa sebab, semua itu dilatarbelakangi keresahannya terhadap kondisi literasi yang sangat minim di daerahnya. Jangankan taman baca, perpustakaan milik daerah dan kampusnya pun kurang secara kapasitas ketersediaan buku.

Kecintaannya kepada literasi semakin menguat. Buku yang menjadi kebutuhan di kampusnya serta yang telah lama menjadi teman hidupnya kian ia kumpulkan. Ia semakin giat bekerja dan mengumpulkan uang untuk membeli buku lebih banyak lagi.
Dunia kampus telah banyak membentuknya menjadi pribadi yang lebih baik. Ia banyak kenal teman-teman di kampusnya, dan mulai berorganisasi. Dari sinilah ia terfikir untuk mengorganisir orang-orang untuk sevisi dalam membangun literasi di kotanya.

Dari aktivitas organisasi yang ia ikuti itu, Taufik kemudian dikenalkan oleh temannya kepada seorang bernama Bambang Norsena. Kekaguman Taufik kepada Bambang Norsena tersebut mulai tumbuh karena Taufik merasa Bambang Norsena adalah tokoh yang berhasil mengembangkan dunia literasi. Pasalnya, Bambang Norsena memiliki D’Museum Café, di mana cafe yang unik ini tidak hanya menyediakan aneka minuman dan makanan untuk sekadar diseduh dan dimakan, tapi juga menyediakan buku bacaan serta koleksi luar biasa yang dimuseumkan.

Taufik pulang ke Bondowoso hanya berbekal ketakjuban kepada Bambang Norsena yang baru ia kenal. Dalam hatinya semakin menggebu-gebu untuk berjuang dalam dunia literasi. Ia semakin giat bekerja. Tapi hidup nomaden belum bisa ia akhiri. Ia masih tinggal di rumah kontrakan. Barangkali, itu dikarenakan sebagian rejekinya ia sisihkan untuk membeli buku dan buku.

Gerobak Kopi Literasi

Di tahun 2016 Taufik Hidayat mencoba membuka usaha jualan kopi di pinggir jalan. Ini bukan satu-satunya usaha yang ia miliki. Di tahun ini ia selain jualan aksesoris keliling, ia juga menjadi distributor Roti Jordan, barangkali semua itu sebagai tambahan pendapatan sehari-hari untuk kebutuhan keluarganya. Tapi, teringat kembali kepada usaha warung kopi pakai gerobak di pinggir jalan itu, rupanya bukan murni bisnis yang diharapkan besar laba atau hasil jualannya, melainkan ini adalah salah satu strategi perjuangan si “anak bungsu” itu di kota kelahirannya (Bondowoso).
Gerobak kecil dengan perlengkapan ala kadarnya serta pegawai yang berlatar seorang mahasiswa menjadi teman baik bagi Taufik dalam mengurusi warung kopinya itu.

Selain menyediakan kopi pilihan khas Gunung Ijen dan Gunung Raung serta wifi yang ngetren diburu kala itu, di warung kopi milik “mujahid literasi” ini juga menyediakan rak yang berisi buku bacaan. Walaupun kala itu buku yang tersedia hanya kurang lebih sekitar 100 buku, tapi bagi Taufik ini adalah jihad. Dan setiap langkah perjuangan untuk kebaikan tidak akan pernah sia-sia. Barangkali prinsip inilah yang selalu meneguhkan hatinya hingga bertekad membuka media juang yang ia sebut sebagai “Gerobak Kopi Literasi”.

Apapun itu, yang namanya perjuangan memang ada suka ataupun dukanya. Dalam perjalanan Gerobak Kopi Literasi milik Taufik pun mengalami pasang surut. Pernah suatu ketika Taufik hampir mengalami kebangkrutan. Ia hampir jatuh pailit. Itu semua terjadi saat Taufik terlalu fokus dan asik mengurusi Gerobak Kopi Literasi-nya. Mungkin ia terlalu senang melihat ramainya pengunjung setiap malamnya hingga lupa pada usaha-usahanya yang lain. Gonjang ganjing kebangkrutan ada di depan mata, tapi itu semua teratasi saat ia benar-benar menyadari kesalahan itu.

Itulah Taufik Hidayat. Ia bukan hanya cerdas dan piawai membaca keadaan, tapi ketekunannya patut diacungi jempol. Ia mulai kembali sadar bahwa usahanya yang lain itulah yang membawa perjuangan Taufik hingga bisa membuat Gerobak Kopi Literasi.

Kemudian ia mengevaluasi kerja dan sisihan waktu untuk perjuangannya yang harus terus berkembang. Setiap pagi Taufik Hidayat keliling desa-desa hingga paling pelosok sekalipun untuk jualan aksesoris. Biasanya jam 12.00 sudah ada di kontrakannya. Melanjutkan kerjanya, Taufik sehabis keliling itu lanjut mendistribusikan Roti Jordan ke pelanggan yang memesan lewat online atau pelanggannya yang biasa langsung ia antar ke rumahnya, dan aktivitasnya itu baru selesai sore hari.

Saat malam tiba, barulah Taufik bersama mahasiswa yang ikut berjuang dengannya itu menyiapkan Gerobak Kopi Literasi-nya. Aktivitas semacam itu setiap hari dilakukan oleh Taufik dengan istiqomah.

Gerobak Kopi Literasi milik Taufik Hidayat selalu ramai pengunjung. Tapi tambah ramai pengunjung bukan malah banyak yang baca buku. Dari sekian banyak pengunjung hanya sebagian kecil yang baca buku. Bahkan sering tidak ada yang baca buku sama sekali selain Taufik Hidayat sendiri dengan teman seperjuangannya itu.

Dari fenomena itu Taufik mulai banyak mikir bahwa tujuan utama ia membuka Gerobak Kopi Literasi itu untuk kemajuan minat baca dan berkembangnya literasi di Bondowoso. Bukan sekadar jualan kopi dan menyediakan wifi untuk main game. Ini tantangan tersendiri bagi seorang pejuang literasi macam Taufik Hidayat yang teritorial juangnya di daerah adem dengan masyarakat yang minim minat berliterasinya. Bahkan mirisnya di kota ini toko buku hanya satu. Itupun kecil bukan toko buku mainstream macam Gramedia dan Togamas. Mungkin direktur toko buku terkenal itu masih banyak pertimbangan untuk masuk di Bondowoso. Ya, memang karena kondisi sosio-kulturnya yang minim minat baca dan berliterasi. Bayangkan, kenyataan itu yang harus dihadapi Taufik Hidayat.

Dengan gelombang cobaan yang bertubi-tubi, Gerobak Kopi Literasi Taufik ini bertahan hingga tahun 2018. Di tahun ini pula kemudian Taufik pindah tempat tinggal, yaitu di salah satu desa yang tidak jauh dari Kota Bondowoso. Ia kemudian tinggal di sana bersama keluarga kecilnya tersebut.

Di tahun 2018, tepatnya bulan November, Taufik Hidayat berhasil mendapat gelar sarjananya dengan nilai Cumlaude di STAI At-Taqwa Bondowoso. Ia memang bukan wisudawan terbaik. Tapi skripsinya yang berjudul “Modernisasi Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran Azyumardi Azra” tercatat sebagai skripsi terbaik saat itu.

Kondisi rumah dengan tempat Gerobak Kopi Literasi yang terbilang jauh membuat aktivitas ini mulai sedikit berkurang. Bukan hanya faktor jauhnya lokasi bukanya, tapi 2018 di Bondowoso ngetren nongkrong di cafe. Sehingga pengunjung mulai sepi dan pada akhirnya Taufik Hidayat memilih untuk menutup Gerobak Kopi Literasinya itu. Tapi tidak dengan semangat perjuangan literasinya. Berhenti di Gerobak Kopi Literasi, Taufik Hidayat kemudian jualan buku.

Dalam nalar batinnya ia berjualan sambil mengoleksi buku. Hingga pada akhirnya jualan itu terbilang kurang lancar sehingga koleksi buku Taufik pun semakin banyak hingga angka 3000 buku di rumahnya. Buku itu tertata rapi. Kadang ada mahasiswa yang sekadar datang untuk membeli buku ketika musim skripsi, dan Taufik Hidayat masih teguh dalam hatinya untuk terus berjuang dalam dunia literasi di Bondowoso, yaitu kabupaten yang kondisi masyarakatnya minim minat baca dan lemah literasinya. Tapi semenjak hadirnya dia, barangkali bisa disebut mampu memberi sumbangsih dalam membangun semangat berliterasi.

Library Cafe

Perjuangan yang baik ialah perjuangan yang konsisten (istiqomah), sabar dan gigih pendirian. Sepertinya sifat itulah yang pantas dimiliki seorang pejuang. Dengan keyakinan yang penuh, Soekarno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, serta H. Agus Salim dan deretan pahlawan lainnya memiliki sifat sebagaimana tertulis di atas.

Perjuangan memang senantiasa harus melompat mencari satu titik seribu ruang keberhasilan cita dan tujuannya. Misal Pramoedya Ananta Toer yang harus rela diasingkan ke Pulau Buru. Seorang Tan Malaka yang dibuang hingga ke luar negeri, tentu bukan hal yang mudah. Semua itu butuh sifat gigih untuk tetap memperjuangkan cita-citanya, sehingga pengasingan dan pembuangan itu bukanlah sebuah hambatan yang pokok untuk menghentikan tekadnya. Tapi semua itu adalah lompatan yang tidak akan sedikitpun menggugurkan niat dan gigihnya pendirian seorang pejuang.

Barang tentu, Taufik Hidayat si pejuang literasi dari ujung timur Pulau Jawa ini pun memilik kriteria pejuang sebagaimana tertulis di atas. Konsistensi dalam memperjuangkan literasi serta gigihnya menghadapi cobaan dan ujian yang menerpa, serta tekadnya yang kuat adalah bukti bahwa ia layak disebut pejuang.

Taufik Hidayat sehabis menutup Gerobak Kopi Literasi-nya, ia memilih menfasilitasi anak-anak yang membutuhkan buku selain koleksinya yang banyak. Ia juga mengkoordinir para pemuda yang dia bimbing untuk suka membaca dan menulis untuk suka mengoleksi buku. Ia membantu memesankan buku walaupun si pemuda tadi itu tidak tau kalau Taufik-lah yang menanggung pembayaran untuk 50 persennya. Bagi pemuda binaannya itu Taufik dianggap menjual buku murah, padahal tidak. Semua itu bagian dari kiprah Taufik Hidayat untuk memupuk semangat baca dan mengoleksi buku.

Taufik Hidayat makin hari makin jadi saja. Semangat juangnya terus berkobar, koleksi bukunya semakin hari semakin besar. Di rumah yang baru ia tempati itu sudah tidak asing pemandangan buku-buku yang tersusun rapi. Siapapun yang bertandang ke rumah Taufik pasti akan merasa masuk ke perpustakaan. Semua itu karena rumahnya yang dipenuhi oleh buku-buku.

Perihal rumah Taufik yang baru, halaman depannya yang terdapat taman kecil lengkap dengan kolam ikan dan hiasan yang lengkap dengan air mancur, sedangkan terdapat garasi kosong berada tepat sisi kanan rumahnya. Di garasi kosong inilah isi otak Taufik tertuang dan tumpah. Sehingga dari semula garasi kosong itu hanya terbiarkan begitu saja, dan Taufik belum punya mobil, sehingga Taufik menyulapnya menjadi sebuah cafe. Letaknya bakal cukup strategis dan mudah dijangkau karena posisi rumahnya yang dipinggir jalan.

Cafe yang dibuat oleh pejuang literasi macam Taufik ini tentu akan beda dengan cafe atau kedai yang dibuat oleh Jody dan Ben dalam film “Filosofi Kopi”. Film yang pertama kali dirilis pada 9 April 2015 itu menggambarkan perjuangan sepasang sahabat yang bersama-sama dalam menghadapi beratnya hidup. Tapi pada intinya di film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko itu terdapat adegan Jody dan Ben mendirikan kedai yang menu favoritnya berada pada kopi. Ya, kopi saja. Jauh berbeda dengan Taufik Hidayat ini. Tangan dinginnya mengubah garasi kosong itu menjadi café atau kedai yang desainnya adalah perpustakaan. Sehingga menu utamanya bukan hanya terletak pada kopi atau minuman yang tersedia saja, tapi banyaknya buku di cafe tersebut menjadi menu utama yang bisa dinikmati bagi setiap pengunjungnya.

Mungkin karena Taufik termotivasi dengan temannya yang bernama Bambang Norsena dengan D’museum Café-nya, sehingga dia pun mendirikan cafe dengan perpustakaan di dalamnya, dan cafe ini diberi nama “Library Cafe”, yaitu satu-satunya cafe perpustakaan yang ada di Bondowoso. Bukan kaleng-kaleng, buku-buku yang disediakan sekitar 3500 lebih. Koleksi buku Library Cafe milik Taufik pun beragam, mulai dari buku-buku untuk mahasiswa dan pelajar serta novel juga komik. Pokoknya lumayan lengkaplah.

Dari “Library Cafe” inilah Taufik semakin dikenal sebagai pejuang literasi di kabupaten. Pada awalnya hanya mahasiswa dan pelajar saja yang berkunjung ke Library Cafe. Lalu, seiring berjalannya waktu pengunjung semakin beragam. Pengunjungnya dari berbagai kalangan dan berbagai latar belakang. Tua, muda, pejabat dan bahkan buruh turut berkunjung ke cafe unik milik Taufik.

Walaupun pada awalnya sering sepi pengunjung. Tapi yang namanya perjuangan tidak akan menghianati hasil. Sehingga sampai hari ini Library Cafe sering dikunjungi.
Library Cafe juga memiliki kegiatan sosial yang titik tujuannya adalah pengembangan literasi di desa-desa atau pelosok kampung. Kegiatan itu diberi nama program “Surau Baca”. Kegiatan ini dimulai sejak Agustus 2020. Setiap target surau baca ini dikawal sejak pendirian hingga pengelolaannya. Taufik Hidayat dengan Library Cafe miliknya mendonasikan 200 buku (anak-anak) di setiap satu surau. Donasi itu ia dapatkan dari para penjual buku se-Indonesia yang menjadi langganan Taufik belanja buku.

Berlatarbelakang Covid-19, inisiasi program Surau Baca ini lahir dan ditujukan agar budaya membaca di tengah pandemi tetap lestari. Lagi untuk mengisi kekosongan jam sekolah yang masih Daring (dalam jaringan), sehingga anak-anak bisa mengisi kekosongannya dengan membaca buku, tidak hanya dengan bermain.

Hari ini baru saja terealisasi tiga kali atau terealisasi di tiga tempat. Sedangkan target dari Taufik Hidayat adalah 100 Surau Baca. Semua itu ia dengan mantap meyakini akan mencapai targetnya. Itu bukti kegigihan Taufik sang Pejuang Literasi di Kota Tape.

Penerbit Licensi

Bukan lagi mungkin, tapi ini kenyataan yang harus diakui sebagai satu-satunya penerbit di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Sehingga ini menjadi bagian penting dan berharga dalam catatan juang Taufik Hidayat. Mimpinya yang besar membumikan literasi di Bondowoso benar-benar ia bangun rapi hingga akarnya. Mengapa demikian? Kita bisa telaah secara teliti capaian perjuangan Taufik dalam dunia literasi. Saat ini sudah banyak yang mengakui keberadaan Library Cafe-nya itu, yang tiap hari semakin ramai pengunjung. Jika diibaratkan pohon, Library Cafe adalah batangnya, sedangkan tulisan-tulisan Taufik Adalah ranting dan daunnya. Penerbit Licensi adalah akarnya, dan semangat berliterasi adalah buahnya.

Kini lengkap sudah. Si pejuang literasi memiliki wadah untuk berkreasi mulai dari taman baca hingga penerbit. Barangkali Taufik tidak menyangka akan sejauh ini. Tapi garis tangan dan perjuangan telah membawanya sejauh ini. Kini Taufik Hidayat bukan hanya si penjual aksesoris dan distributor roti saja. Tapi, ia adalah pejuang literasi Founder Library Cafe dan Direktur Penerbit Licensi.

2020 adalah catatan gemilang untuk Taufik. Ia berhasil menulis sekitar 18 buku ilmiah, ia berhasil membidani Library Cafe sekaligus membidani Penerbit Licensi. Harapannya memang itu bisa menjadi wadah menambah wawasan dengan membaca dan sebagai wadah untuk para penulis yang ada di Kabupaten Bondowoso.

Melalui capaiannya itu, Taufik semakin mengagumkan saja. Penulis selaku masyarakat Bondowoso merasa sangat terbantu dan benar-benar merasakan dampak dari perjuangan Taufik Hidayat ini. Sehingga besar harapannya Library Cafe dan Penerbit Licensi terus berkembang dan mampu menjadi aktor utama dalam membangun semangat literasi di Kabupaten Bondowoso ini.

Dengan wadah yang telah tersedia ini Taufik membuat program yang diberi nama “Nyalep Kacer” yaitu program yang digunakan untuk mengadakan seminar, kongkow dan simposium serta launching dan beda buku.

Terkhusus untuk penerbit milik Taufik ini rupanya disambut dengan luar biasa oleh masyarakat Bondowoso. Taufik dengan segala perjuangannya telah menggali potensi literasi di tanah kelahirannya. Sehingga Taufik berhasil menguak banyaknya tulisan-tulisan yang layak dibukukan untuk diterbitkan yang lahir dari buah tangan masyarakat Bondowoso. Capaian ini bukan lahir dari tidurnya yang nyenyak, tapi lahir dari tekad dan kegigihan yang kuat.

Kalau boleh penulis ingin tutup tulisan ini dengan ucapan jazakumullah ahsanal jaza, terimakasih saya ucapkan kepada Taufik Hidayat yang dengan sabar berjuang tanpa lelah untuk majunya literasi di “Kota Tape” ini. Selain itu saya ingin ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada penyelenggara lomba menulis yang bertemakan “Kisah Pejuang Literasi”, karena dengan ini saya bisa menumpahkan isi hati tentang kisah seorang pejuang literasi dari “Kota Tape” ini.

Semoga apa yang telah dicapai oleh Taufik Hidayat terus berkembang dan berkhidmat tanpa batas untuk kemajuan literasi di Bondowoso.

Salam Literasi!!!

 

BIOGRAFI TOKOH

Nama : Taufik Hidayat
TTL : Bondowoso, 21 Desember 1986
Domisili : Bondowoso
Pendidikan Terakhir : Strata 1 Pendidikan Agama Islam
Organisasi/Jabaan : PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Karya/Prestasi : Menulis 12 buku di tahun 2020, (Modernisasi Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran Azyumardi Azra, Dialog Teologis Kristen-Islam; Mewujudkan Relasi Damai Antar Umat Beragama, Sejarah Filsafat Yunani; dari Masa Pra-Socrates Hingga Zaman Keemasan, Nietzsche; Warta Kematian Tuhan, Filsafat Islam Klasik; Sejarah, Filosof, dan Pemikirannya, Socrates; Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Sang Filsuf, A History of Greek Philosophy, Nietzsche; Goot Ist Tot, Sejarah Filsafat Islam; dari Al-Kindi Hingga Ibnu Rusyd, Socrates and Socratic Dialogue, Modernisasi Pendidikan Islam Menurut Azyumardi Azra, Tan Malaka; Bapak Republik Yang Dilupakan Sejarah Bangsa)
E-mail : th40037@gmail.com
Facebook : Taufik Hidayat
Instagram : taufik_real_8621

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Abduh
TTL : Bondowoso, 16 Mei 1994
Domisili : Dusun Tengginah Desa Sumber Jeruk RT/RW 014/003,
Kecamatan Jambesari Darus Sholah, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur
Pendidikan Terakhir : S1
Organisasi/Jabaan : Sekretaris Bidang Hukum dan Ham DPD KNPI Bondowoso
Karya/Prestasi : Peraih Juara Terbaik Satu dalam Lomba Menulis Essai Kritik DPRD Kabupaten Bondowoso.
E-mail : abduhpmii@gmail.com
Facebook : Abdullah Bashir
Instagram : @abduhbashir

Related Posts

3 thoughts on “Taufik Hidayat: Pejuang Literasi dari Kota Tape

  1. Ping-balik: viagra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *