Bilik Pustaka

Perpustakaan untuk Kesejahteraan

Saat hujan rintik, saya sempat berkirim pesan dengan seorang perempuan Rajawana. Namanya Linda. Perempuan yang menurut saya tidak hanya sadar pikir tetapi sadar tindak dalam bermasyarakat, khususnya dalam memberikan edukasi kepada anak-anak. Lingkungan masyarakat sebagai salah satu lingkungan pendidikan perlu dibentuk situasi belajar, sehingga anak-anak merasa memiliki lingkungan yang sesuai dengan tumbuh kembangnya. Dia dengan bermodal tekad dan keyakinan mengumpulkan teman-temannya menyediakan diri menjadi relawan. Awalya mereka hanyalah kumpulan anak-anak yang saling nongkrong bareng di suatu tempat. Dari obrolan di tempat ngumpul itulah saling menyamakan pemikiran menjadi relawan dalam mendampingi anak-anak belajar.

Membangun perpustakaan merupakan langkah pertama yang dilakukan relawan. Mereka menggunakan bangunan milik bapak salah satu relawan sebagai perpustakaan yang meminjamkan secara geratis. Kemudian, melalui media sosial, para relawan mencari bantuan buku sebagai pengisi rak-rak di perpustakaan. Sesuai ekspektasi para relawan, di titik tertentu perpustakaan mampu menarik perhatian anak-anak. Mereka berdatangan, ada yang dipanggil ada juga yang datang karena kemauan sendiri. Orang dewasa juga datang sekedar melihat kegiatan yang dilakukan relawan dan anak-anak. Keadaan ini membuat para relawan semakin produktif mengerahkan kreasinya menemani anak-anak belajar.

Setelah itu, mulailah kegiatan disusun dan organisasi kepengurusan ditetapkan. Kegiatan inti di perpustakaan tentunya mengarahkan anak-anak menyukai baca tulis atau berliterasi. Kegiatan lainnya diajarkan soft skill yang tidak didapatkan anak-anak secara mendalam di sekolahan seperti mendongeng, menyanyi game seru dan lainnya yang diajarkan secara bergantian oleh relawan. Di luar ekspektasi para relawan, banyak buku berdatangan dari berbagai pihak seperti dari perpustakaan Daerah, dari TBM lain dan juga dari perorangan. Mereka juga tidak hanya memberikan buku, tetapi megajak anak belajar, seperti mendengarkan dongeng, atau memainkan game edukasi.

Namun sayangnya perpustakaan tidak memiliki daya tarik yang panjang di lingkungan Desa Rajawana. Spirit kegiatan berliterasi makin lama makin surut. Hal ini dimulai dari para relawan yang satu demi satu tidak aktif lagi mengelola perpustakaankarena masalah pribadi seperti berumah tangga atau mencari pekerjaan yang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan perpustakaan tidak menjamin keberlangsungan hidup mereka. Di titik tertentu para pengurusnya pamit dan mencari kehidupannya sendiri-sendiri, mencari pengalaman yang lain. Hal itu juga mengurangi daya tarik anak-anak yang menjadikan mereka juga pergi meninggalkan perpustakaan. Hingga akhirnya perpustakaan ditutup, kehilangan pengurus dan pengunjungnya.

Satu hal yang dilupakan dalam kegiatan berliterasi di perpustakaan yaitu terlalu difokuskan hanya aktivitas anak-anak tanpa memikirkan kesejahteraan bersama di dalamnya. Bagi orang dewasa, yang memang kehidupannya sudah jauh dari perpustakaan akan tetap memandang bahwa perpustakaan adalah barang antik, hanya dikonsumsi kalangan tertentu saja, seperti siswa dan para pengurusnya. Orang dewasa akan tetap bekerja di sawah atau kebun, ibu rumah tangga juga akan tetap di rumahnya. Jika mereka ke perpustakaan hanya sebagai pengamat, tanpa terlibat. Ketika perpus tutup pun pada akhirnya tidak ada yang ikut membantu entah dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan.

Linda sebagai pengurus menganggap bahwa kurangnya regenerasi relawan membuat keberlangsungan aktivitas di perpustakaan berhenti. Namun menurut saya, hal ini karena kegiatan yang dilakukan di perpustakaan kurang mengarah ke kesejahteraan orang di dalamnya. Untuk menuju ke kesejahteraan dalam berliterasi tentunya perpustakaan perlu bertujuan ke arah kemanfaatan jangka panjang, memasyarakat. Bentuk dari tindakan yang berjangka panjang adalah perlu adanya lomba dengan hadiah bergengsi seperti pemilihan duta perpustakaan dari kategori anak sampai dewasa. Tentunya hal ini perlu melibatkanseluruh lapisan masyarakat.

Pemerintah sebagai lembaga tinggi di masyarakat agar dengan kuasanya mewajibkan semua lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, selain itu perlu menganggarkan dana, karena membangun masyarakat tidak hanya butuh dengan pembangunan secara materi tapi membangun pola pikir yang bagus juga sangat penting. Para relawan selain mengatur kegiatan lomba juga perlu adanya penghargaan karyawan berprestasi agar mereka saling berlomba meningkatkan kualitas diri dalam mengembangkan perpustakaan. Dengan ada penganggaran dalam kegiatan berliterasi tentunya kesejahteraan orang-orang di dalamnya dihargai. Jika keadaan ini dilakukan secara berkelangsungan, maka bisa menjadi kampong literasi. Barang kali dari kegiatan ini akan mencetak orang-orang yang kritis dalam berkomentar mengingat banyaknya hoak yang merajalela di media sosial.

Hujan masih rintik ketika pembicaraanku via pesan berakhir, aku berdoa barangkali masih ada yang bisa diselamatkan da nada harapan seperti yang Linda harapkan meski kami memiliki sudut pandang dan tujuan yang berbeda. Namun keinginannya sama untuk kebaikan bersama.

Referensi:

  • Semua atau sebagian isitulisan esai ini adalah ide pribadi penulis.

BIODATA PENULIS

Irna Novia Damayanti. Lahir di Purbalingga, 14 September 1992. Beralamat di Rajawana Rt19/07 Kec. Karangmoncol Kab.Purbalingga. Seorang Santri di Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Aktif di Komunitas Sastra Santri Pondok Pena.

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *