Bilik Pustaka

Perpustakaan Desa: Bagimana Agar Ramai?

Sudah menjadi rahasia umum jika Negara Indonesia memiliki daya baca yang rendah. Menurut data dari World’s Most Literate Nations (WMLN) yang dilakukan oleh CCSU (Central Connecticut State University) pada tahun 2016 lalu menunjukan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Peringkat dua dari bawah. Sebenarnya, peringkat ini sedikit membuat saya menggelengkan kepala heran. Bukankah dengan kemajuan teknologi sekarang ini, masyarakat akan lebih mudah dalam menggalakkan literasi?

Setelah saya mencari tahu, ternyata menurut Muhammad Syarif Bando selaku Kepala Perpustakaan Nasional RI dalam webinar Literasi Dalam Membangun Ekonomi Masyarakat, mengatakan jika opini tersebut tidak salah karena memang ketersediaan buku memanglah sangat sedikit. Ketersediaan buku tidak sebanding dengan jumlah populasi bangsa Indonesia yang sangat banyak. Dan saya yakin, tidak hanya beliau yang berpikir seperti itu. Karena selain jumlah koleksi buku yang masih minim, harga buku yang mahal membuat orang-orang malas berurusan dengan buku. Lalu, bagaimana kita menyiasatinya? Tentu dengan menambah fasilitas buku-buku di perpustakaan serta menarik minat oarng-orang agar berkunjung ke perpustakaan.

Perpustakaan yang sering saya lihat dan orang-orang artikan adalah sebuah tempat yang menyimpan berbagai macam buku. Dan entah megapa, definisi tersebut membuat perpustakaan jarang dikunjungi. Padahal, kegunaan sebuah perpustakaan lebih dari tempat penyimpanan buku. Menurut Undang-Undang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007 bab I KetentuanUmum Pasal 3, perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Dengan fungsi sebanyak itu, seharusnya sebuah perpustakaan layak mendapatkan kunjungan dari berbagai elemen masyarakat. Sehingga, dibangunlah perpustakaan desa guna memenuhi pembangungan di sekitar masyarakat pedesaan.

Sampai di sini, seharusnya masalah sudah selesai. Dengan dibangunnya perpustakaan desa, masyarakat pedesaan akan merasakan dampak dari sebuah perpustakaan. Sayangnya, yang terjadi di lapangan tidak semudah itu. Perpustakaan desa tak seramai perpustakaan kota.

Selayaknya orang pedesaan, mereka memiliki pekerjaan yang berbanding terbalik dengan masyarakat perkotaan. Jika orang kota sudah terbiasa dengan segala pembaharuan tata kota dan dapat menikmati fasilitas dengan maksimal, berbeda dengan masyarakat desa. Daripada mengunjungi sebuah temoat yang beisi tumpukan buku, mereka lebih memilih untuk mengurus ladang, kebun, hewan ternak, atau kerajinan tangan mereka. Untuk menyambung hidup di kemudian hari.

Selain itu, tak sedikit dari mereka yang sebenarnya masih buta huruf. Beberapa dari mereka mengaku tak pernah sekolah sehingga tak mengenal huruf. Kalaupun bisa, mereka masih membaca dengan terbata-bata. Sehingga bagi mereka sangat sulit untuk membaca suatu buku yang terdiri dari ribuan huruf. Lagipula, mereka berpikir jika perpustakaan lebih identik dengan kaum terpelajar, kaum akademisi yang sedang menuntut ilmu. Bukan mereka yang hanya tamatan sekolah dasar.

Bagi anak remaja, ada beberapa alasan yang ternyata membuat mereka enggan untuk menginjakkan kaki dalam sebuah perpustakaan. Beberapa dari mereka ada yang menganggap tumpukan buku tersebut kurang menarik darpiada segenggam ponsel pintar yang sudah mereka miliki. Tapi itu hanya beberapa anak yang memiliki ponsel pintar. Bagi sebagian lain, mereka harus membantu pekerjaan orang tua mereka sehingga tak memiliki waktu untuk sekedar berkunjung.

Lantas, bagimana cara kita untuk menarik minat mereka?

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Sederhana saja, mulai dari anak-anak mereka. Anak-anak tertarik pada sebuah dongeng. Dan pemustaka tersebut atau pegiat literasi disekitarnya boleh saja mengadakan sebuah dongeng. Akan lebih bagus lagi jika dongeng tersebut ada dalami perpustakaan desa tersebut sehingga jika anak-anak itu penasaran bisa langsung meminjamnya dari perpustakaan desa. Dari sanalah kunjungan-kunjungan berikutnya bisa tercipta.

Atau bisa memberikan sebuah solusi yang bersumber dari buku perpustakaan desa. saya gambarkan ilustrasinya. Semisal anda adalah pegiat literasi tersebut dan bertemu dengan sekumpulan ibu-ibu pegiat usaha keripik tempe. Anda bercerita bahwa ada cara bagaimana mengolah tempe menjadi keripik tempe dengan waktu yang lebih hemat. Pastinya, ibu-ibu tersebut penasaran dan bertanya bagaimana anda bisa mengetahuinya. Darisana anda bisa menuntun ibu-ibu tersebut untuk mengunjungi serta memperkenalkan perpustakaan desa lebih dalam.

Terlebih dalam kondisi pandemi seperti ini, kita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tak bisa beraktifitas dengan leluasa. Orang-orang juga tak bisa lebih sering berkunjung ke perpustakaan desa. salah satu terobosan yang sempat terpikirkan oleh saya adalah perpustakaan keliling. Jika tak memungkinkan, bisa memanfaatkan teknologi dengan cara membuat sebuah komunitas dalam aplikasi pengirim pesan.

Demikian dari saya, semoga dapat menjadi referensi bagi kita semua. Salam literasi!

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Eiko Muharum Susanti. Tempat lahir Magetan dan sekarang berusia 16 tahun. Penulis masih menginjak bangku SMA di kota kelahirannya, SMAN 1 Magetan, Jika ingin berkontak dengan penulis, bisa melalui e-mail [email protected] atau akun instagram : @eikomhrm.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *